Part 2
"Ri, Kamu di mana? Papa baru saja sampai di rumah Lia, ke sini lah Nak. Papa rindu."
Papa yang sudah lebih lima tahun dikasih bonus kehidupan dari usia normal manusia. Menelponku setelah semua prosesi pemakaman mama selesai tanpa dihadiri olehnya.
"Ri lagi di Padang, Pa. Jauh ... Oh iya, apa kabar Lia?," Tanyaku basa-basi, berpura-pura tidak terjadi apa-apa, walau aku sendiri yakin papa juga mengetahui sesuatu. Saat kutahu dia menghilang setelah pemakaman. Aku mulai ikut mencurigai Papa atas kematian mama.
"Adikmu itu trauma, Ri. Dia masih terbayang mama, jadi ngak sampai hati lama-lama berada di dekat makamnya, papa suruh dia pulang duluan," Jelas papa tanpa kuminta.
"Pulang duluan tanpa pamitan, gitu maksudnya, Pa?" Sedikit bergetar aku mengucapkan kalimat itu.
"Lia papa suruh pulang, Lia itu dekat dengan mama, anak bungsu. Dia butuh ketenangan, kalau Lia berada di Bandung lebih lama, papa takut jiwanya terganggu, masih merasa mama ada di dunia. Harusnya Ri beri support sama Lia! Lagian Bertrand datang melamar ke rumah papa di Medan, minta menikahi Lia secepatnya." Papa menjelaskan tanpa kuminta.
Bertrand?
Ya, lelaki itu. Manusia urakan yang pernah kucintai setengah mati. Bahkan aku rela memberikan gaji sebulan padanya. Lelaki yang kuharapkan bahagia bersama. Bukan hanya berkorban harta, aku bahkan berkorban rumah tangga. Menyudahi pernikahan dengan Bayu demi seorang Betrand dengan segala rayuan gombalnya.
"Sayang, aku pinjam SK kamu ya, kita gadai ke bank. Buat bantu usaha properti aku, kan usaha kita berdua, usaha itu aku namain Trandri. Artinya Betrand dan Riri," Rayunya padaku kala itu.
SK--sejak beberapa tahun lalu, aku lulus menjadi aparatur sipil negara, tidak sedikit pemuda datang menawarkan diri. Aneh. Padahal mereka tahu aku punya suami. Bahkan beberapanya memiliki istri. Dasar Lelaki!
Apa mereka kira wanita sekarang mesin ATM dengan isi unlimited di dalam kotak besi itu. Tanpa perlu di isi ulang, selalu saja bisa digesek dan mengeluarkan uang.
Sekarang, para lelaki tak bertanggungjawab, banyak menumpang hidup di bawah ketiak para wanita kaya. Jika mereka dikatai, diejek atau dibully. Eh malah bersembunyi di balik sejarah nabi yang menikahi janda kaya.
Nauzubillah. Ingatan sejarah yang salah kaprah.
Untung aku cepat menyadari dan tidak terjebak lebih lama, pesona para lelaki pemuja harta wanita berdalih cinta. Termasuk Bentrand, duda tampan, mengaku muallaf dari negeri seberang, salah satu HRD di sebuah perusahaan perminyakan.
Ingin meluaskan usaha agar tidak jadi budak gaji saja. Begitu katanya. Nyata ia hanya sosok yang memanfaatkan ketulusan cinta para wanita yang takluk akan rayuan kata-kata.
Dulu, pesonanya melumpuhkan segala organ-organ dalam tubuhku. Termasuk alat berpikir. Mengalami lumpuh total. Rasio anjlok di bawah rata-rata.
Aku memberikan SK. Menandatangani surat kuasa atasnya. Setelah resmi bercerai empat bulan kemudian dari Bayu.
Bayu menikahiku lima tahun lalu. Kerjanya serabutan. Kadang asisten arsitek perumahan, bahasa halusnya tukang. Kadang menjadi tukang ojek dengan suara mesin motornya mirip bantingan pintu yang engselnya sudah patah. Yah ....
Bayu sosok lelaki egois. Wajahnya tidak kalah tampan dengan Betrand, rayuannya juga begitu. Mereka sama. Memintaku kepada orangtua, menikahi segera, bahkan Bayu berjanji pada mama, akan membayar biaya kuliah kala itu.
Ternyata, setelah menikah. Semua berbalik seratus delapan puluh derajat, Bayu menyuruhku berhenti kuliah dan pokus bekerja. Tapi, aku bersikeras melanjutkan kuliah, Akhirnya lulus dan dengan mudah mendapat pekerjaan.
Untung saja aku tetap lanjut kuliah. Tidak mengikuti kemauannya. Kalau tidak. Apa jadinya? Hanya berdiri menyambut pembeli dengan gaji cukup membeli kepsi sebulan sekali. Tentu saja aku tidak mau.
Suamiku itu yang kini menjadi mantan suami, bukanlah sosok lelaki pekerja keras. Seharian kadang ia habiskan di atas ranjang--Tidur.
Pulang meminta makan enak, minta jatah yang enak-enak. Semua tinggal bilang. Seolah aku kantong Doraemon yang sim salabim ada saat Nobita meminta.
Seluruh kejadian, perjalanan hidup aku jalani dengan tabah berharap ibadah dan kelak mati masuk surga.
Sebelum akhirnya mengenal Betrand, kala itu ia hanya seorang driver pengganti penjemput karyawan, menyapaku saat di terima pada salah satu perusahaan milik negara tempat ia tenaga kontrak di sana.
Berawal perhatian yang tulus. Berjumpa sesekali di sore hari setelah rutinitas bekerja selesai. Terkadang makan malam berdua di penghujung weekend. Berujung sekarat hatiku yang telah jatuh cinta terlebih dahulu.
"Gugat Bayu sayang ... Kita menikah! Aku tak sabar hidup serumah dengan wanita baik ban sholeha seperti kamu, dan sangat ingin punya anak dari kamu," ujarnya hampir setiap derit sua yang tak terhitung lagi.
Akhirnya berbagai cara aku lakukan memenuhi keinginan. Mengajukan berkas gugat cerai ke pengadilan. Bayu sontak terkejut namun tak berdaya mempertahankan.
Aku tahu Bayu seperti apa. Ia memang berusaha beberapa kali hendak mempertahankan, hanya karena aku sudah menjadi seorang abdi negara, dengan bulanan yang terjamin di masa tua. Jelas alasannya--Harta.
"Suatu hari aku berjanji akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik, Ri. Maafkan aku. Kali ini, aku akan serius bekerja. Asal kita masih terus bersama hingga nanti tua." Rayu Bayu di telinga. Mengusap lembut pipiku, berharap ada harapan untuk mundur dari gugatan. Tidak. Aku tidak mundur.
Suara tawa Bayu dan teman-temannya saat main batu domino di warung kopi tanpa menyadari aku yang melintas, terngiang menjadi motivasi terus maju di pengadilan. Hobi Bayu setiap hari setelah rutinitasnya ngojek atau bujang, dengan pendapatan minimal bisa beli sebungkus rokok dan makan di ampera Padang. Sudah luar biasa menurut seorang Bayu.
"Aku enggak perlu kerja, bini banyak duit. Tinggal minta jatah duit, jatah ranjang udah macam Nobita minta kantong Doraemon. Hupp ... langsung terkabul. Lampu Aladdin kalah." Tawa Bayu pecah disambut kikik menggema di meja domino.
Aku menahan napas dan tangan yang menggigil untuk menyembur makian ke arah meja itu. Menambah semangat untuk mencintai Betrand, dan mengabulkan permintaan. Ketuk palu pengadilan, membawa sebuah titik baru harapan.
Tuttt ... Tuttt ...
Layar gawai berbunyi tuutt tuutt ... Astagfirullah. Tadi kan aku sedang telponan sama papa. Ah, kacau. Remedial. Sudah tidak aktif. Padahal aku masih hendak mencari bukti keterlibatan papa atas kematian mama. Mengapa ada Bayu mondar-mandir di pikiran. Sial.
Tiba-tiba. Sebelum kedua kali memencet nomor papa yang baru saja menghubungiku.
Panas. Ada rasa perih yang menjalar di leher, wajah dan tengkuk.
Au ... U ... U
Aku memegang tengkuk yang rasanya mengeluarkan api. Panas sekali. Napasku berasap, seolah berada pada ketinggian gunung dengan suhu paling dingin di sebuah lembah.
Panas dingin bercampur sekaligus.
Hahhhh hahhh ... Aku berlari ke kamar mandi. Menyiram tubuhku. Dingin. Kubuka seluruh baju, melilitkan handuk, menyiram dari atas kepala sembarang saja. Kini, telingaku ikut panas.
Tiada siapa-siapa. Menggigil ketakutan. Bersandar ke dinding, mengatur ritme gemetaran.
"Kau mau bunuh aku dan Betrand? Menuduh aku menyantet mama, bisa jadi kau ... ya, kau ... Biang pembunuh mama." Tangan Lia menunjuk ke arahku.
Di atas atap, di belakang pintu, di depanku bahkan di balik dinding. Tidak.
Mataku nyalang menatap ke segala arah tiada siapa-siapa. Hanya bayangan. Aku menarik napas, menguasai diri. Menghidupkan shower. Mati. Keran tak mengeluarkan airnya. Sial sekali.
Tergesa aku mengambil gayung, mengguyur air dalam bak ke seluruh badan menghilangkan panas yang semakin menjalar.
Hueekk. Hueeekk.
Air yang kusiram, bau amis ikan busuk.
Muntah berkali-kali.
Aku belum mau mati Tuhan ... Tolong aku. Tanpa sadar air mataku menerjang, bersamaan kulit tangan melepuh, disertai wajahku mengelupas pedih.
"Mama ... !" Siapa yang bisa mendengarkan aku. Mama bukan hanya jauh di pulau seberang. Tapi di dimensi yang tak terjangkau
"Tolong ... Tolong .... !" Teriakanku. Adakah yang mendengar?
"Riri, bukan pintunya!" Akhirnya ada suara gedoran depan pintu. Air mataku lolos. Akhirnya Tuhan masih ingin aku hidup.
"Riri, kamu kenapa? Ri!" Teriakan itu semakin keras.
Aku berlari ke arah pintu. Memutar anak kunci dengan gemetar. Beberapa kali terjatuh dari gantungan, jantungku berdegup tak karuan. Semoga tamu di depan pintu rumahku, benar-benar orang yang bakal bisa menolong. Sepertinya suara wanita.
Putaran anak kunci ke sekian kali. Nihil tanpa hasil.
"Auuu!" Jeritku histeris.
Aku melompat, lidah tipis bercabang dua berdiri di depan mata. Ular. Mundur menahan napas.
Sebelum lidah dan kepala ular itu berhasil mematuk kakiku. Datang menjalar dari bawah pintu. Masih terjaga dalam keadaan sadar, mataku menangkap benda melata itu bersamaan juga menangkap hiasan bambu di balik lemari.
Secepat kilat menarik bambu dan melibaskan ke arah makhluk melata itu.
"Uh ... Uh, mati kau." Prak ... Bukk ... Bukk ...
Ssst ... Ssst ... Ular menggeliat sebelum akhirnya diam.
Setelah memastikan tak bernyawa. Aku membanting makhluk mengerikan berbisa bahaya itu dengan bambu secara membabi buta.
"Ri ... Ri, buka pintunya!" Suara cemas dari arah pintu. Bercampur darah ular yang berceceran, napasku tak karuan melempar bambu ke sembarang arah, sesak. Membiarkan mayat ular tergeletak. Aku kembali memutar kunci.
"Sebentar," ucapku, berusaha konsentrasi. Menjawab panggilan dari depan. Tidak ingin gagal membuka pintu lagi dan lagi.
Ckrek. Alhamdulillah, Pintu terbuka.
"Riri?" Matanya membulat heran. Memelukku cemas.
"Tante." Ternyata pemilik kontrakan mewah mirip hotel yang datang. Kontrakan tempat aku menyewa ini. Dia perempuan bercadar yang lebih suka kupanggil Tante.
"Kamu kenapa, Nak? Tante dengar kamu berteriak."
Aku mengatur napas. Menggigit bibir, menepis cemas, berangsur rasa panas yang tadi kurasa hilang hingga tak bersisa.
Menunjuk arah belakang, aku memberi kode agar Tante bercadar bernama Desi itu untuk melihat sendiri. Ceceran darah ular, bambu dan lainnya.
"Rambut kamu berantakan banget, Ri. Apa yang terjadi, Nak. Apa ini?" Tante Desi mengusap pipiku. Memberikan cermin yang bertengger di nakas, mencermin wajahku, Ada goresan merah membujur.
Bukankah tadi wajahku terkelupas? Begitu juga kulitku.
"Kamu kenapa, Nak? Rumah kamu berantakan banget." Aku mengerjit. Mengapa Tante Desi tidak bertanya perihal ular yang barusan kubunuh.
"Ta ... Tadi ada ular Tante." Jelasku gugup. Gemetar masih bersisa.
"Minum dulu!" Tante Desi menekan tombol air hangat dari dispenser yang sengaja ditaruh di samping televisi ruang tamu. Siapapun tamu yang haus mudah mengaksesnya.
Aku membalik badan, menerima minum yang Tante Desi sodorkan. Menyusul Tante masuk ke dalam rumah. Mataku terbelalak. Melihat bambu yang tersusun rapi di pot dengan berbagai jenis bambu ukiran.
"Enggak ada apa-apa kok, Ri. Mana ular yang kamu maksud?" Tante Desi bingung.
Apa ini? Padahal dengan jelas aku membunuh ular itu. Mana rasa panas tadi?
Hilang bersamaan pintu terbuka. Tapi nyatanya lantai cling tanpa noda darah.
"Sebaiknya kamu ikut Tante rukiyah, Ri! Ini kali ke empat kamu begini. Kalau masih teriak tidak jelas, Tante meminta maaf kepada kamu, untuk cari tempat yang lain. Kasihan yang lain ... terganggu dengan keadaan kamu."
Tante yang kuanggap alim, Sholeha dan paham agama itu, justru mengusirku.
*
"Assalamualaikum Tante," aku mengucap salam sebelum memasuki rumah pemilik saham terbesar batubara di Kalimantan.
"Waalaikumussalam, eh Riri. Masuk!"Tante Desi memeprsilakan masuk, aku melangkah memasuki rumah besar itu. Mataku melotot tak percaya bertumpu satu lelaki besar berdiri menyambutku dengan senyuman. Seluruh bulu kuduk ikut merinding
"Duduk, Nak!" Tawar Tante Desi padaku, meminta untuk duduk santai tanpa harus cemas.
#Bersambung
Jangan lupa singgah di novelku yang lain ya
*Jodohku (apakah takdir sesadis itu)
* Bukan Derita Pernikahan
* Telepati Cinta
* Cinta di luar batas logika
Login untuk melihat komentar!