Kurebut Istri yang Selalu Kau Sakiti
Part 7
PoV Alya
“Bang, uang bulanan semakin hari semakin gak cukup untuk kebutuhan rumah tangga.” Aku beranikan diri untuk mengadu pada Bang Ramlan, lelaki yang sudah dua tahun ini menjadikanku istri.
“Apa? dua juta kamu bilang kurang?” Bang Ramlan membentak, seolah aku ini perempuan yang hanya bisa menghabiskan uang miliknya.
“Bang, biaya listrik dan air saja sudah hampir satu juta. Belum lagi diapers Hakim, kebutuhan gas, dan lainnya.”
“Kamu itu taunya cuma terima uang, kamu gak bisa cari! Jadi gak usah benyak menuntut! Udah bagus hutang orang tuamu sampai sekarang tak pernah aku tagih!”
Selalu itu yang diucapkan Bang Ramlan setiap aku mengeluh. Aku sadar diri, keluargaku terlah berhutang banyak pada keluarga Bang Ramlan. Tapi kini aku adalah istrinya, apakah aku tak boleh meminta hak supaya bisa hidup dengan layak?
Aku memang tak pernah tahu berapa besar gaji Bang Ramlan. Setiap bulan jatahku tetap, dua juta. Itu sudah untuk membayar biaya wajib rumah tangga.Bahkan jika di kampung Ibu sakit, aku sama sekali tak punya uang lebih untuk bisa membantu. Belum lagi kebiasaan kasar Bang Ramlan, membuat batinku kian perih.
Bukan hanya ucapan yang menyakitkan, tak jarang ia juga main tangan jika sedang kesal. Terkadang, masalah di luar dia bawa pulang dan dia melampiaskannya padaku.
Setelah putraku lahir, sikap Bang Ramlan bukannya semakin malunak, tetapi justru sebaliknya. Mengurus rumah besar dan juga seorang bayi sendirian, tak jarang membuatku kelelahan. Andai saja aku boleh memintanya mempekerjakan seorang ART, tapi sangat mustahil rasanya. Bang Ramlan sangat perhitungan, tak ada kasih sayang yang aku rasakan semenjak manikah dengannya. Aku tak ubahnya hanya seorang budak baginya. Bebas ia perlakukan semaunya.
Saat Hakim sakit, tentunya bayiku itu akan menangis sepanjang malam. Bang Ramlan yang merasa terganggu akan marah besar dan bersikap kasar. Seolah aku bukan ibu yang pandai mengurus anaknya.
Tak jarang, Bang Ramlan pergi keluar rumah dan tak pulang. Tapi aku lebih senang jika ia tak ada di rumah. Paling tidak perasaanku bisa sedikit lebih tenang tanpa cacian dan amukannya setiap hari.
Jika ia kembali, dapat dipastikan ia dalam keadaan mabuk. Aroma alkohol begitu menyengat, bahkan tak jarang pula ia menyebut nama perempuan lain di depanku. Entah siapa, aku pun tak tahu.
Aku hanya wanita yang terpaksa menerima pahitnya takdir akibat hutang orang tuaku. Bahkan disaat Ayah sekarat di rumah sakit, Bang Ramlan mengambil sertifikat rumah milik orang tuaku sebagai jaminan. Ya, semua dianggapnya sebagai hutang. Bahkan pengabdianku belum cukup untuk melunasinya. Entah sampai kapan.
Suatu hari, aku bertemu kembali dengan Mas Angga, di rumah ini. Ia datang bersama Bang Ramlan, membicarakan soal pekerjaan mereka. Sialnya, Bang Ramlan tahu kalau aku dan Mas Angga pernah menjalin kedekatan.
Aku tak sengaja bertatap muka dengannya, karena Bang Ramlan yang menyuruhku untuk menyuguhkan teh pada mereka berdua. Seperti ada setitik asa saat melihatnya kembali setelah sekian lama. Namun sayang, Bang Ramlan membaca gelagatku. Setelah Mas Angga pergi, aku dimaki habis-habisan.
“Seneng kamu ketemu si Angga lagi?”
“A-apa maksud Abang?”
“Alah! Gak usah sok menutupi semuanya! Awas, ya! Kalau kamu berani bicara sama dia, habis kamu!”
“Bang, tak bisa kah Abang bersikap lebih lembut padaku? Atau paling tidak, untuk Hakim?”
“Untuk apa? mengurus anak itu bukannya tugas kamu? Masih untung kamu masih aku beri nafkah. Emang kamu mau aku ceraikan dan kamu harus kembalikan semua hutang-hutang mendiang ayahmu itu?”
“Bang, kasihanilah aku. Kalau memang Abang tak pernah bisa mencintai aku, pulangkan saja aku, Bang!”
“Apa kamu bilang? Pulangkan? Kamu sudah punya uang berapa, hah?”
“Bang! aku ini punya perasaan, kenapa Abang tega, bahkan pada anakmu sendiri?”
“Aku tak pernah mengharapkan anak itu! Kamu saja yang nekat, kan aku sudah pernah bilang, aku gak mau punya anak!”
“Tapi kamu yang membuatku hamil Bang! bagaimana bisa kamu gak mau anak ini?”
“Aaarrghh … bodo amat! Kamu yang mau anak itu, kamu yang tanggung jawab mengurusnya!”
“Tapi ayahmu senang aku melahirkan cucunya, Bang! anak ini gak salah apa-apa!”
“Terserah! Mulai hari ini, kamu gak aku izinkan bicara pada siapapun apalagi di luar rumah! Titik!”
“Bang!” Bang Ramlan meninggalkanku di dalam rumah. Bahkan ia juga tega mengunci pagar dari luar, agar aku tak bisa kemana-mana. Setelahnya, aku hanya diizinkan membeli sayur selama sepuluh menit, lalu kembali masuk ke dalam rumah. Rumah ini megah, tapi aku bagaikan burung yang terpenjara dalam sangkar emas. Aku hanya berusaha agar anakku tak mengalami derita ini. Biar ibu saja yang menanggung semuanya, Nak.
Entah kenapa, hari itu Mas Angga datang menemuiku saat kebetulan aku keluar membeli bahan makanan, hanya sepotong tempe. Tapi aku takut, Bang Ramlan masih di dalam rumah menungguku. Aku tahu, Mas Angga masih begitu peduli padaku. Tapi aku bisa apa, statusku sebagai istri Bang Ramlan membuat jurang di antara kami berdua begitu dalam. Maafkan aku, Mas.
Hingga suatu hari, Bang Ramlan pulang dalam keadaan marah besar. Ia menyalahkanku sebab ia gagal mendapat promosi kenaikan jabatan di kantornya.
“Gara-gara kamu gak becus ngurus anak, aku gak bisa konsentrasi kerja, akhirnya aku gak dapat promosi!”
“Tapi aku gak pernah ganggu kerjaan kamu, Bang!”
“Manjawab kamu!” Plak! Satu tamparan keras mendarat di wajahku. Perih.
“Kamu tau, siapa penjilat yang sudah menghalangi aku di kantor? Dia adalah Angga! Mantan kekasihmu dulu. Dia juga yang memepengaruhi semua orang di kantor supaya membenciku!”
“Aku gak ada hubungannya, Bang!”
“Jelas ada! Kamu mau tau? Dia masih sangat mengharapkan kamu, Alya!”
“Ta-tapi, Bang ….”
“Tapi aku, tak akan melepaskanmu semudah itu. Semakin kuat dia ingin merebutmu dariku, makan semakin besar siksaan yang akan aku berikan padamu!” Bang Ramlan menarik rambutku dengan kasar.
“Aw … sakit, Bang, lepaskan!”
“Kamu jangan macam-macam kalau masih ingin hidup di dunia ini, Alya! Cukup ibuku saja yang bisa melarikan diri bersama selingkuhannya dengan membawa kabur uang milik ayahku.”
“Bang! aku bukan ibumu!”
“Diam! Semua perempuan itu sama!” bentaknya. Aku hanya bisa pasrah, menangis di sudut kamar. Kupandangi tubuh anakku yang terlelap di atas pembaringan.
Tiba-tiba Bang Ramlan memegangi dadanya, seperti orang kesakitan dan hendak muntah. Ia berlari masuk ke dalam kamar mandi. Kesempatan itu aku manfaatkan untuk kabur. Kuambil Hakim dengan balutan kain seadanya, lalu keluar dari rumah. Kusambar kunci rumah yang tergeletak di atas nakas. Sebelum pergi, kukunci pula gembok pagar rumah itu dari luar. Aku keluar hanya membawa Hakim dan baju yang melekat di badan. Tuhan … aku harus mengubah nasibku, aku tak mau seumur hidup hanya menjadi budak lelaki itu.
Deru angin kencang dan petir menyambar, sepertinya akan turun hujan deras. Aku berlari sekencang-kencangnya demi menyelamatkan diri dan juga anakku. Aku melangkah entah kemana, aku pun tahu. Bagiku kini yang terpenting adalah, menghindarkan diri dari kejaran Bang Ramlan. Pastinya ia akan sangat murka jika tahu aku telah kabur dari rumah.
Di tengah derasnya air hujan, aku mendekap erat putraku. Kami berteduh di bawah halte yang telah hampir roboh sebab sudah terlalu lapuk dimakan usia. Dari setiap tetes air yang menimpa tubuhku, aku berdo’a, semoga ada mukjizat datang menolongku.
Do’aku dikabulkan. Sesosok pria menghampiriku dengan payung di tangannya. Tak kuduga, ternyata dia adalah Mas Angga. Tuhan begitu baik, kini aku dibawanya pergi. Terlihat amarah dan kesedihan di wajahnya saat aku menceritakan semuanya. Bahkan ia memeluk anakku dengan penuh kasih. Pakaianku yang basah telah diganti. Selimut bayiku pun sudah ditukar. Hakim solah tahu kalau keadaan kami sangat sulit, ia sama sekali tak menangis meski kedinginan.
Kini aku dibiarkannya menikmati makanan hangat, sedangkan Mas Angga kembali mengambil alih putraku. Ia biarkan aku menikmati makananku. Aku memang lapar, sangat lapar. Sudah sangat lama aku tak bisa menikmati maknan yang lebih lezat dan bergizi. Biarlah aku terlihat rakus di hadapan Mas Angga. Aku yakin dia mengerti.
“Siapa namanya, Al?” tanyanya.
“Al-Hakim,” jawabku.
“Nama yang bagus, semoga kelak ia menjadi orang yang bijaksana seperti namanya.”
“Makasih, Mas.”
“Berapa bulan usianya?”
“Sekarang enam bulan.”
“Jadi kamu mau ke mana malam ini, Al?”
“Aku gak tau, Mas. Kalau aku pulang, aku pasti disiksa lagi. Kalau ke rumah ibu, kasihan Ibu.”
“Al, kuantar kamu ke kantor polisi, ya?”
“Jangan, Mas!” Aku takut, aku tak mau berurusan dengan polisi. Aku takut Mas Angga yang jadi korban tuduhan Bang Ramlan karena membawaku bersamanya.
“Al, perlakuan Ramlan itu sudah di luar batas!”
“Mas, aku gak mau melibatkan kamu dalam masalahku ini. Biar aku saja, Mas.”
“Al, aku gak bisa lihat kamu kayak gini terus. Aku tahu, kamu sama sekali gak bahagia, Al.”
“Aku juga ingin keluar, Mas. Tapi aku bisa apa? hutang orang tuaku sudah terlalu banyak. Ini semua berawal dari kesalahan Ayah, meminjam uang pada ayah Bang Ramlan. Nyatanya pinjaman itu semakin berbunga, dan Ayah tak mampu lagi melunasinya. Sampai ayah masuk rumah sakit pun, biaya pengobatan Ayah dianggap hutang. Alhasil sertifikat rumah ibu diambil oleh Bang Ramlan.”
“Kejam sekali dia. Aku sudah pernah meminta Ramlan untuk melapaskanmu, Al. Aku gak rela kamu menderita.”
“Kenapa, Mas?” Jujur, batinku menjerit mendengar penuturannya.
“Al, apa kamu tak pernah melihat rasa cinta dalam mataku, Al? Aku cinta kamu sejak dulu. Sampai sekarang, perasaan itu belum berubah.”
“Mas Angga … maafin aku!” Aku hanya mampu mengucapkan kalimat itu, dadaku terasa penuh, penuh beban yang sangat berat.
“Al, kamu harus segera lepas dari Ramlan. Aku akan membahagiakanmu, aku janji, Al!”
“Mas … harus dengan apa aku menebus hutang-hutang ayahku?”
“Aku, Al! aku yang akan melunasinya. Meski seluruh hartaku habis, aku rela. Asalkan kamu tak lagi menderita.”
Tuhan, benarkah masih ada laki-laki yang ingin melihatku bahagia di muka bumi ini? Aku takut, Mas Angga dan Bang Ramlan bermusuhan. Bang Ramlan bisa nekat dan melakukan apapun pada orang yang dibencinya. Aku tak mau Mas Angga yang jadi susah dan terseret dalam masalah ini. Dia orang baik.
Mas Angga memberikan Hakim padaku. Bayiku menangis, mungkin dia haus. Namun saat tersentuh kulitnya, aku merasakan suhu tubuh anakku panas.
“Mas, Hakim demam!”
“Kita bawa ke dokter sekarang juga, Al!”
“Tapi, Mas?”
“Kamu tak usah pikirkan apapun lagi, anakmu harus cepat mendapat penanganan dari dokter!”
‘Ya Tuhan, sampai kapan aku harus bersama lelaki yang salah? bahkan Mas Angga kini bukan siapa-siapa, tapi begitu peduli padaku dan anakku.’
Login untuk melihat komentar!