Kurebut Istri yang Selalu Kau Sakiti

Part 3

Sejak hari itu, entah mengapa aku selalu membelokkan mobilku ke arah jalan depan rumah Alya setiap ingin pergi bekerja. Aku berharap bisa melihat Alya, memastikan dia baik-baik saja. Meski jarang sekali aku menemukan dia berada di luar rumah, tapi kali ini akhirnya aku bisa sedikit lega melihat ia berjalan dari berbelanja sayur pada tukang sayur keliling.

Kulihat sepotong tempe daun di dalam plastik yang ditentengnya. Alya terlihat jauh lebih kurus, rambutnya terikat asal-asalan, dalam gendongannya tertidur seorang bayi mungil. Mungkin usianya baru sekitar lima bulan saja, sebab Ramlan pun jika ditanya berapa usia anaknya, dia tak pernah ingat.

“Alya!” Aku turun dari mobilku untuk menyapanya.

“Mas Angga? Mas Angga ngapain lewat sini?” Alya celingukan seperti orang ketakutan.

“Apa kabar kamu, Al?”

“A-aku baik, Mas. Ta-tapi, maaf. Aku harus masuk ke dalam, Mas.” Alya buru-buru meninggalkanku.

“Al, tunggu! Ini aku bawain kamu makanan.” Alya menoleh sesaat, kulihat matanya berembun.

“Maaf, Mas. Bang Ramlan bisa marah kalau tahu aku bicara dengan orang di luar rumah. Sekali lagi, maaf!” Alya langsung menutup gerbang pagar rumah itu.

‘Alyaa … kamu kenapa?’ jerit batinku. Aku tahu kalau aku salah karena berusaha memberikan sedikit perhatian padamu. Aku salah, karena kamu statusnya adalah istri orang.

***

Semakin hari, Ramlan semakin melupakan tanggung jawabnya dalam kerja tim yang ditugaskan oleh atasan kami di kantor. Dua temanku yang lain pun mengeluh sebab Ramlan seperti sengaja melupakan tugasnya, dengan entengnya ia selalu membuat alasan supaya tugasnya dikerjakan oleh yang lain.

“Kalau seperti ini caranya, lain kali kita ogah kalau harus satu tim lagi dengan Ramlan! Gak tanggung jawab banget!” gerutu Andi, rekanku satu tim juga.

“Bener, Ga! Elu kenapa biarin dia pergi-pergi terus, sih? Kalau target kita gak tercapai, kita bisa-bisa dapat sanksi. Untuk proyek berikutnya kita gak bakalan dipakai lagi sama bos!” Kali ini Jefri yang mengeluh.

“Teman-teman, sabar sedikit, ya! Nanti biar aku minta pengertian dari Ramlan.”

“Harus, lah. Deadline kita udah mepet, Ga!”

“Iya, aku ngerti. Aku minta maaf, sebagai ketua tim, mungkin aku kurang tegas.”

“Udahlah, kita berdua gak nyalahin elu, kok. Kita berdua malah bersyukur sebab elu udah mau ngajakin kita untuk terlibat dalam proyek ini.” Jefri menepuk bahuku, lalu mereka berdua keluar dari ruanganku.

Kucoba menghubungi nomor ponsel Ramlan, tapi sangat sulit. Setiap panggilan terputus secara otomatis. Kemana lagi dia hari ini?

Esoknya, Ramlan datang ke kantor. Kali ini alasannya adalah sakit kepala.

“Elu kebanyakan minum alkohol, kan, Lan?”

“Ya gimana lagi? Cuma itu cara gue supaya pikiran gue sedikit tenang.”

“Emangnya masalah elu seberat apa?”

“Gue lagi kesel sama si Alya. Setiap gue pulang dia selalu aja udah tidur duluan. Boro-boro ngelayanin suami. Bener-bener udah gak bisa diharap tuh bini. Jangan salahin gue kalau akhirnya gue sering jajan di luaran.”

“Bukannya emang elu udah sering jajan?”

“Ya, itu kan semenjak si Alya melahirkan. Tapi lama-lama emang dia udah gak enak dipake.”

“Lan, perempuan itu apalagi seorang istri, dia akan jadi ratu dan terawat kalau suaminya orang yang peduli. Elu aja gak peduli sama dia, tapi elu berharap terlalu tinggi.”

“Aaarggh … lagi-lagi elu belain dia. Gue jadi curiga, elu masih suka sama dia, iya?”

“Gue ngomong begini supaya elu itu lebih bertanggung jawab jadi suami, Lan. Perempuan itu bukan cuma jadi objek pemuas elu doank. Dia juga butuh disayang, diperhatikan. Bukan barang yang seenaknya bisa elu pakai lalu elu buang.”

“Dah, ah! Elu emang gak ngerti apa-apa, pantesan aja lu gak laku-laku.”

“Soal laku gak laku itu gak ada hubungannya. Untuk apa cepat-cepat menikah tapi rumah tangga tak berkualitas? Kasihan anak lu, Lan! Dia butuh sosok bapak yang mengayomi, bukannya menyiksa mereka lahir batin. Inget, besok elu bakalan tua, dan anak elu bakalan dewasa. Kalau elu sakit, dia harapan elu, Lan.”

“Ah, peduli amat. Pikir entar! Dah, ah, hari ini gue mau keluar lagi.”

“Tugas elu gimana?”

“Ya kan ada elu bertiga! Ribet amat, sih?”

“Gak bisa gitu, dong, Lan? Kita udah punya tanggung jawab masing-masing. Elu gak boleh seenaknya begini.”

“Ya elah, elu emang cerewet, ye? Tinggal ambil alih aja repot amat?”

“Lan, proyek ini gak main-main. Kalau kita sukses, kita bakalan dapat promosi naik jabatan. Elu gak mau?”

“Gak! Ambil aja sama elu!” Ramlan membanting pintu, lalu pergi enatah kemana.