Pov Aryandra
"Kita belum ketuk palu, harusnya aku masih tanggung jawab Abang. Atm ku Abang blokir semua."
"Kamu yang berkhianat sama Abang, maka semua hak kamu hilang. Apalagi kita belum punya anak tak ada yang harus Abang biayai."
"Abang jahat! Berhenti, Bang."
Aku menghentikan mobil di tepi jalan Raya. Reva membanting pintu mobil turun dengan Amarah yang membuncah di dalam dadanya.
Enak saja setelah menghancurkan kepercayaanku dengan mudah minta kembali. Bukan soal perasaan lagi tapi soal harga diriku sebagai seorang suami.
Sesampainya di kantor aku langsung menjatuhkan bokongku di sofa. Kuusap wajahku berulang sambil melafalkan istighfar.
Delapan tahun menjalin hubungan dengan Reva. Pernikahan impian telah terlaksana namun semua hancur sehari saja akibat sebuah 'pengkhianatan'.
Tragis sekali memang, pernikahan yang baru berumur dua minggu itu harus berakhir secepat ini.
Aku belum berani memberitahu orang tuaku, takut mereka sedih dan kecewa.
Akupun berusaha menutupi semua dari teman-teman kantorku.
Pertemuan antar kolega memaksaku meminta tolong pada Reva, anak gadis tetangga untuk berpura-pura jadi istriku.
"Reva!!" Panggilku.
"Iya, Bang."
"Sini, duduk. Abang mau minta tolong sama Reva, besok ada undangan dari kolega bisnis Abang. Reva bisa temani?"
"Kenapa Reva, Bang?"
"Kamu kan tau, Mbak Reva khianatin Abang. Dia mau Abang ceraikan, sedang proses. Abang gak mau kalau teman kantor Abang tau, Malu,' kan, Va, belum sebulan menikah kok udah cerai. Diselingkuhi lagi, mau di taro di mana muka Abang?"
"Abang cerita dulu deh sama Ibu, kalau Ibu ngizinin Reva baru mau."
"Oke, nanti Abang ke rumah. Makasih ya."
Ba'da Isya aku sudah di rumahnya bermain Playstation bersama Revi adiknya.
"Va, Abang sudah ngomong sama Ibu. Boleh katanya"
"Ya udah, kalau boleh Reva mau bantu."
"Pokonya besok kamu gak usah banyak
bicara cukup di samping Abang dan tersenyum."
Syukurlah gadis itu mau menolong, tanpa pamrih, lagi.
Aku mengajaknya ke Butik lalu kesalon, Reva yang tak biasa ber-make up terlihat sangat cantik sekali. Aku sampai tak berkedip melihatnya.
Di pesta Reva tak beranjak dari sisiku, sesekali dia menatap ke arah lain memperhatikan para undangan. Kami sempat berdansa sebentar memenuhi ajakan seorang teman.
Aku masih ingin berlama-lama sebenarnya, tapi kulihat Reva mulai tidak nyaman jadi kuputuskan pulang.
Reva anak yang manis, bertanggung jawab dan penurut. Aku kagum padanya, di usianya yang masih muda menjadi tulang punggung keluarga.
Ku akui kadang aku sengaja modus bermain karambol dengan adiknya padahal aku ingin bertemu dengannya.
Sempat terpikir untuk mendekatinya tapi apa dia mau padaku? Sebentar lagi statusku akan menjadi seorang duda.
__________
Aku pulang, rumah sudah bersih dan rapi, Revi adik Reva menunggu kepulanganku di teras. Aku mengajak Revi masuk, aroma beras pandan wangi menyapu penciumannku, ketika kulirik benar saja rice cooker di rumahku sedang menanak nasi.
"Siapa yang masakin nasi, Vi?"
"Mbak Reva, Bang. Yang bersih- bersih juga Mbak Reva sama aku soalnya Ibu lagi kurang sehat."
"Ibu sakit? Sakit apa?"
"Lambung, Bang."
"Udah ke dokter?"
"Belum, tadi udah minum obat."
"Gak boleh tuh,Vi. Minum obat sembarangan, bahaya. Kalau Ibu belum sembuh bilang ke Abang, ya, nanti kita ke dokter."
"Iya, Bang. Revi pulang dulu ya."
"Oke, sampaikan makasih Abang sama Mbak mu."
"Oke, Bang."
Pagi-pagi sekali aku sudah mengetuk rumah Bang Arya, tepatnya setengah enam pagi setelah aku membereskan rumahku.
"Maaf, Bang. Mengganggu sepagi ini, aku mau beres-beres sekarang, soalnya setengah delapan aku kerja."
"Ibu gimana, udah sehat?"
"Belum, Bang, masih harus istirahat sepertinya."
"Kalau kamu capek, libur aja dulu bersih-bersihnya besok."
"Gak apa Bang, Abang mau tidur lagi, atau mau bikin kopi?"
"Boleh ya, saya minta kopi? Kan perjanjiannya cuma bersih-bersih."
"Bikin kopi, 'kan cuma bentar gak susah. Abang suka kopinya yang gimana?"
"Jangan terlalu manis!"
Aku segera membuatkan secangkir kopi untuk Bang Arya. Karena Bang Arya tidak biasa sarapan nasi pagi-pagi, jadi aku panggangkan beberapa roti untuknya.
Bang Arya sedang asyik di depan laptopnya sambil menikmati secangkir kopi buatanku. Aku segera menyelesaikan menyapu dan mengepel.
"Bang, aku mau pamit. Pekerjaanku sudah selesai?"
"Iya? makasih, ya. Ini bawa kunci cadangan jadi nanti pagi kamu gak usah repot, kadang-kadang aku susah di bangunkan."
Seperti biasa dari jam delapan pagi sampai setengah lima sore aku menjaga toko klontongan Koh Ahyong.
Toko masih sepi, tiga temanku yang lain belum datang.
Aku naik pada sebuah kursi tinggi membereskan tumpukan mie instan di rak yang cukup tinggi. Koh Ahyong memperhatikanku dari bawah, aku risih, cepat-cepat aku turun untuk menghindar.
"Mau kemana, Va?"
"Mau bereskan yang lain, Koh."
"Saya suka sama kamu, Va. Mau ya menikah dengan saya?"
"Maaf, Koh, saya gak bisa."
Tiba-tiba Koh Ahyong menarik kasar tanganku, lalu mendorong tubuhku ke arah tembok.
"Jangan Koh, tolong lepaskan saya."
Semakin memohon, Koh Ahyong malah semakin kasar. Dengan keberanian yang susah payah aku kumpulkan ku ambil batu timbangan seberat 2kg lalu ku han**m kepalanya.
Koh Ahyong sedikit keleyengan, pusing pastinya kepalanya juga berdarah. Aku segera berlari sempoyongan keluar toko. Sambil menangis dan memegangi bajuku yang koyak aku terus berlari, hampir saja tertabrak mobil.
Aku menjerit bersamaan dengan berhentinya mobil tersebut. Ternyata yang keluar dari mobil Bang Arya, aku segera menunduk dan menutupi bajuku dengan kedua tangan.
Bang Arya mebuka jasnya di pakaikannya padaku.
"Ayo," aku dituntunnya menuju mobil.
"Apa yang terjadi?"
"Koh Ahyong______"
"Cekkkkiiiittttttttt....!"
Bang Arya mengerem mobilnya tiba-tiba, dia menatap ke arahku.
"Va, besok jangan kerja lagi disana nanti Abang carikan kerjaan lain."
"Kalau bisa sudah dari dulu, Bang. Reva masih punya hutang bekas pemakaman Ayah."
"Berapa hutangnya?"
"Sisanya tiga juta lagi, Bang. Selama ini di potong gajiku."
Tanpa memberi jawaban, Bang Arya kembali memacu mobilnya, memutar arah kembali ke toko Koh Ahyong. Toko sudah mulai buka beberapa orang sedang belanja dan rekan kerjaku sudah datang semua.
Aku di tuntun keluar mobil oleh Bang Arya, di bawa ke toko.
"Mana Koh Ahyong?? Panggil dia!"
Mira temanku memanggil Koh Ahyong, dia menunduk setelah melihat Bang Arya datang bersamaku.
"Dasar tua Bang** gak tau diri!! Kali ini kamu selamat, sekali lagi macam-macam pada Reva kau akan aku jebloskan ke Penj***."
Satu pukulan mendarat di perut Koh Ahyong, dia meringis dan kembali menunduk mungkin malu juga pada pelanggan yang sedang berbelanja.
Aku menarik tangan Bang Arya jangan sampai dia memukul Koh Ahyong lagi.
"Maaf, Va," Koh Ahyong mengulurkan tangan hendak meminta maaf tapi Bang Arya segera menarik tubuhku ke belakang punggungnya.
"Jangan sentuh Reva! Ini hutang Reva, tiga juta. Jangan ganggu Reva lagi!"
Aku di bawa kembali ke dalam mobil, kali ini mobil melaju kearah rumah kami. Aku tak henti menangis rasanya campur aduk, entah bagaimana nasibku jika Bang Arya tak menolongku. Sejak Ayah pergi tak ada lagi laki-laki yang menjaga Aku, Ibu dan Revi.
Login untuk melihat komentar!