"Beruntung Ibu punya kalian, kamu dan Revi memang anugrah untuk Ibu."
"Ibu juga, Ibu terhebat dan terkuat untuk aku dan Revi. Berjuang terus untuk kami berdua tanpa Ayah. Terima kasih, Bu."
Beginilah perempuan yang lembut, mudah menangis. Aku dan Ibu jadi Baper, saling peluk menumpahkan perasaan.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam," kami yang sedang merinci daftar belanjaan untuk lusa kompak menjawab salam Bang Arya.
"'Bu, bisa enggak kalau pesan Cateringnya mendadak."
"Mendadak? Acara Apa, Nak? Kalau cuma seratus kayanya bisa."
"Ada tender yang goal, divisi tempatku mau mengadakan syukuran. Besok habis Dzuhur, Bu. Jam makan siang, nanti aku yang jemput cateringnya disini."
"Menunya mau paket nomor berapa?" tanyaku. Lalu dia memilih beberapa paket yang Cateringku sediakan.
"Paket yang paling komplit biar puas, Va."
"Oke, Bang."
Pagi-pagi sekali sebelum shubuh aku dan Ibu sudah berangkat ke Pasar. Menerjang dinginnya udara pagi demi sebuah pesanan Catering. Mumpung ada pesanan jangan di tolak.
Pesanan ini memang sangat mendadak, karena pemesanan harusnya sudah di lakukan sejak H-2 acara. Ini pengecualian untuk tetangga kita yang baik.
Ibu mengajak tiga orang tetangga yang biasa membantu kami memasak. Jam sebelas siang semua Ready, mobil Bang Arya sudah di depan rumah. Aku dan Ibu menata box cathering di bagasi mobil.
"Kalau cuma Reva yang kesana, repot gak? Apa ibu juga ikut?"
"Ibu gak usah ikut, gak apa-apa nanti Arya bantuin disana."
Karena ini acara Kantor, aku memakai baju terusan dibawah lutut di padukan dengan cardigan. Semoga tidak terlihat aneh jika aku berpakaian seperti ini.
Sampai di kantor aku sama sekali tidak mengangkut box catering, Bang Arya melarangku angkut-angkut. Dua orang Office Boy yang mengangkut dan menata semuanya.
Aku di bawa Bang Arya ke ruangannya.
Dia memberiku sebuah dress minimalis dan sepasang high heels.
"Apa ini, Bang?"
"Bantu aku lagi, Va! Ini tanderku, atasanku pasti menanyakan istriku."
"Kalau kamu gak keberatan ganti bajunya di kamar mandi."
"Kenapa Abang gak bilang dari kemarin? Aku kucel gini, mata panda abis begadang."
"Abang ada make-up milik Reva,coba aja pake."
Setelah berganti baju aku berusaha memakai make-up yang berada di laci meja Bang Arya, semampuku.
"Bagus enggak, Bang?"
"Keren!" Bang Arya berdiri dan memakaikan sebuah kalung di leherku.
"Perfect." Aku diam saja mungkin kalungnya bagian dari pura-pura kali ini.
Tuh, 'kan untung aku gak ngambil kerjaan jadi spg di kantor ini buktinya sekarang harus pura-pura jadi Istrinya lagi. Aku kaget dan tak bisa berkata-kata setelah Bang Arya memperkenalkan aku sebagai Istrinya, dia juga mempromosikan kalau catering adalah bisnis yang istrinya tekuni.
Aku jadi gak enak, setelahnya istri-istri para pengusaha itu meminta nomor telponku pada Bang Arya untuk pemesanan Catering.
"Abang, apa gak malu promosikan Catering aku?"
"'Enggaklah, masakannya enak gini. Besok lusa, Bu Rudi mau pesan 200 porsi untuk syukuran Rumah barunya. Nih udah lumayan yang pesan."
Bang Arya memberiku sebuah list nama-nama pemesan dan paket catering yang mereka pilih.
Acara selesai jam tiga sore, aku dan Bang Arya tidak langsung pulang ia mengajakku menghadiri ulang tahun keponakannya.
Sepertinya memang Bang Arya rencanakan semua, hadiah untuk keponakannya sudah siap di mobil. Ini benar-benar acara keluarga, aku di perkenalkan pada semua anggota keluarganya yang hadir.
"Hallo, Tante Reva cantik." Sapa Alya, ponakan Bang Arya yang berulang tahun.
"Haii, Cantiknya Tante, Happy birth Day ya... wish you all the best."
"Thank you, Tante." Gadis kecil itu berhambur memelukku.
"Ini hadiah dari Tante sama Om, Sayang." Bang Arya muncul di belakangku dengan sebuah kado berukuran besar.
Hadianya langsung ia buka, Alya loncat-loncat saat tahu hadiahnya sebuah boneka teddy bear berukuran sangat besar.
Dia kembali memeluku tapi kali ini memeluk Bang Arya juga lalu mencium pipi kami berdua.
"Serasi lah, udah Ndra langsung pelaminan aja. Insha Allah Reva baik."
Seorang wanita paruh baya muncul, sepertinya baru datang.
"Ibu, bisa aja. Reva kenalkan ini Ibu Abang."
"Saya Reva, Bu." Aku menyalami Ibu dan Ayah Bang Arya bergantian.
"Revanya, Bu." Jelas Bang Arya, Ibu dan Ayahnya saling melempar senyum.
Bang Arya pergi entah kemana aku di tinggal berdua saja dengan Ibunya.
"Cantik sekali Reva? Masih kuliah atau kerja?"
"Kuliahku belum selesai Bu, udah lama cuti sekarang Reva bantu usaha catering Ibu di rumah."
"Wah hebat, jago masak dong. Nanti Ibu bisa belajar."
"Sedikit, Bu. Reva cuma bisa yang simpel-simpel aja."
"Reva ini sama Ibunya, Wanita hebat, Bu. Membuka Catering untuk biaya adik Reva, Ayah Reva sudah meninggal. Tapi Reva dan Ibunya sangat tangguh, Arya bangga sama mereka."
Bang Arya tiba-tiba menggenggam tanganku dan menyeka bulir bening yang menetes di pelupuk mataku.
Ibunya langsung memelukku, " Gak usah sedih, Sayang. Allah senang kalau kita mau berjuang apalagi untuk keluarga kita."
Nyaman sekali pelukan Ibu Bang Arya. Dia menasehati Banyak hal, aku suka sikapnya yang keibuan dan ngemong. Ibu meminta nomor telponku, Ibu juga akan mempromosikan cateringku pada rekan-rekannya. Mereka sungguh keluarga yang sangat baik.
Saat akan pulang mereka memeluk dan menyalamiku. Lucu, mereka mendoakan agar aku cepat menikah dengan Bang Arya.
"Lucu, ya?"
"'Apa yang lucu, Bang?" Aku pura-pura enggak 'ngeh'.
"Mereka semua mendoakan kita menikah, aku saja belum kearah sana. Jangan tersinggung ya, Va. Keluarga Abang memang gitu, rata-rata pada to the point."
"'Gak apa-apa, Bang. Reva seneng saudara-saudara Abang baik semua apalagi Ibu penyanyang sekali orangnya."
"Anak Ibu, 'kan tiga cowok semua jadi beliau seneng banget kalau ketemu anak cewek."
"Makasih ya, Bang udah promosiin Catering aku ke banyak orang. Mudah-mudahan aja banyak yang Order."
"Amiin." Ucapnya sambil mengemudi, sementara aku yang mulai tak nyaman membuka high heelsku dan membiarkan kakiku tanpa alas.
"'Awas nanti heels-nya ketinggalan lagi!"
"Lah ini kan sepatunya punya Abang."
"Abang beli buat kamu."
"Jangan tiap minta tolong beliin Reva baju sama heels, Bang. Sayang, pemborosan juga."
"'Abang udah ngerepotin gak apalah cuma beli baju sama sepatu ini."
"'Reva nolong ikhlas, Bang."
"'Kamu emang baik banget, itu yang Abang suka."
"Apa, Bang?" Aku meyakinkan apa yang kudengar itu salah.
"Abang suka sama kamu, Va. Boleh, 'kan?"
"Kenapa gak boleh, itu hak Abang."
"Reva mau menikah sama Abang?"
"Menikah? Secepat itu? Abang belum kenal Reva, jangan sampai nanti Abang nyesel."
"Selama ini gak ada yang jelek dari diri kamu, malah Abang selalu kagum sama semua yang kamu miliki. Kamu baik, itu saja."
"Hahaha...Abang gak akan bisa gombalin Reva."
"'Abag serius!"
Bang Arya menghentikan mobil, menarik tubuhku hingga kita saling berhadapan.
"Gak harus menikah dalam waktu dekat, Va. Abang juga baru resmi bercerai sebulan lalu."
Aku terdiam, menunduk sambil memindai pita yang berada di bagian pinggang dress yang kupakai.
"Atau kamu gak mau ya, Abang, 'kan duda dua minggu."
"Maksud Abang, apa?"
"Ya meskipun Abang cuma menikah dua minggu statusnya tetap duda, 'kan?"
"Reva gak mikirin itu, Reva malah takut Abang yang malu, Reva cuma tukang catering."
"Gak apa-apa, aku memang jatuh cintanya sama tukang catering. Kita jalani saja dulu."
Bang Arya mengecup keningku sekilas lalu kembali melajukan mobil. Aku yang salah tingkah karena malu segera mengubah posisi duduk dan mengalihkan pandangan keluar mobil.