Pertemuan Ibu dengan Widya.

Aku berusaha melupakan apa yang tadi Putri katakan. Mungkin Farel itu hanya seorang pengangguran yang ingin kembali bergabung dengan perusahaan kami. Tapi, tak akan! dia sudah jelas-jelas meremehkan aku waktu itu. Jangan harap dia akan menjadi karyawan di sini lagi.

Sore hari, aku minta ijin pada Widya untuk ke rumah Ibu. Sekalian nanti aku ajak ke rumah memenuhi undangan makan-makan darinya.

"Kamu aku antar pulang dulu, ya. Baru aku berangkat ke rumah Ibu."

"Ga usah! aku pulang naik taksi aja." tumben Widya tampak lesu dan mau pulang naik taksi.

"Serius?" dia mengangguk.

"Baiklah, aku jalan dulu, ya." lagi-lagi, Widya hanya mengangguk saja.

Aku pulang dengan langkah percaya diri. Melewati karyawan-karyawan lain yang juga sedang berjalan pulang. Mereka langsung berjalan di pinggir ketika aku lewat. Wajar aku kini seorang manager dan punya istri yang punya jabatan tinggi di sini.

Meski mendengar bisikan-bisikan mereka yang membicarakanku dibelakang. Tapi, aku tak pedulikan itu. Biasa, orang iri itu tanda tak mampu.

Sebelum ke rumah Ibu, aku sengaja mampir ke rumah. Hari yang menjelang magrib membuat suasana mulai gelap. Rumah minimalis itu terlihat tak terawat. Rumput-rumput kecil tumbuh di halaman yang sebagiannya masih tanah.

Ningsih, kemana kamu, Sayang? aku rindu, begitu juga dengan Fahri. Ini sudah tiga Minggu aku tak bertemu. Andai hidup kita tak susah, aku mungkin tak akan berbuat nekat menikahi perempuan tua seperti Widya. 

Perlahan berjalan ke dalam rumah, lalu membuka pintu dan menyalakan lampu. Rumah yang biasanya rapi, dan hangat itu terasa dingin dan mencekam. Debu sudah tebal dimana-mana. Bayang-bayang Ningsih yang selalu bergelayut manja di lenganku menari-nari begitu saja. Aku meraih foto kami yang tergantung di dinding. Saat itu senyum manis Ningsih masih menghiasi bibirnya.

Ting!

[Bang, udah dimana? aku sama Ibu udah rapi, nih!] pesan dari Rena.

[Sebentar lagi, Abang sampai!] balasku. 

Foto itu kembali aku taruh. Bergegas mengunci pintu dan langsung tancap gas dari sana. Menurut Widya, orang bayarannya sedang mencari. Aku yakin, tak akan lama Ningsih akan ditemukan.

****

"Iiih! Gilang! kamu ini, kenapa baru bilang sekarang punya istri kaya raya!" Ibu berlari ke arahku sambil menggoyang-goyangkan lenganku.

"Sabar Bu. Kan Gilang mau ngasih kejutan."

"Kirain Ibu, istri kamu itu masih kayak Ningsih. Kere ga bisa cari uang."

"Bisa, Bu! tapi, recehan." seru Rena.

"Halah, jualan kue, dapat apaan! cuma dapat capeknya aja."

"Sudah, Bu. Jangan bicara seperti itu. Gilang masih kepikiran dengan Ningsih, apalagi dia bawa Fahri. Anak kamu satu-satunya."

"Ah, paling pulang ke rumah Ibunya."

"Ga ada, Bu. Gilang sudah cari."

"Udah, biarin aja. Nanti juga pulang sendiri. Mau kemana dia, orang ga kerja gitu. Cuma bisa nadahin tangan ke suami. Hayuk, kita jalan sekarang. Ibu sudah tak sabar ingin bertemu Menantu baru yang kaya itu."

Aku menghela napas panjang. Ibu memang tak suka dengan Ningsih. Walau setiap hari Ibu tetap datang ke rumah. Biasanya hanya untuk mengambil makanan yang dimasak Ningsih. Kata Ibu masakan Ningsih lumayan enak. Berkali-kali Ningsih mengeluh agar aku menasehati Ibu untuk tidak seenaknya mengambil makanan itu semuanya. Tapi, aku tak berani. Ibu bisa saja marah padaku.

"Wah, Ini rumahnya?" tanpa terasa kami sampai dirumah Widya. Rumah tingkat dua yang terlihat begitu gagah.

"Bu, Rena. Nanti jangan malu-maluin, ya. Widya itu tidak sama dengan Ningsih. Dia orang berpendidikan dan bos Gilang di kantor."

"Tenang aja, ibu tidak akan mempermalukan kamu."

Rena tak menjawab karena begitu terpukau dengan rumah Widya.

"Widya mana, Bik?" tanyaku pada Bik Nur yang baru saja membukakan pintu.

"Lho, kirain Bibik sama Tuan. Ibu belum pulang, Tuan. Tadi hanya berpesan untuk menata makanan yang sudah Ibu pesan lewat online."

Aku spontan melirik ke luar. Sudah jam delapan, Widya seharusnya sudah pulang. Kemana dia?

Ibu dan Rena yang sedari tadi sibuk melihat-lihat rumah tak menyadari jika Widya belum pulang. Aku meraih ponsel dan menghubunginya.

Tersambung, tapi tak di angkat. 

"Mana istri kamu, Lang?"

"Lagi di jalan, Bu. Tadi, banyak pekerjaan. Widya biasa menyelesaikan pekerjaannya dulu sebelum pulang," ujarku memberi alasan.

"Ibu dan Rena duduk saja dulu. Sebentar lagi Widya pasti pulang."

Baru saja aku selesai bicara, sebuah mobil berwarna hitam masuk ke halaman rumah. Lama mobil itu berhenti, hingga tak lama Widya keluar dari sana dengan senyum manisnya. 

Widya melambaikan tangan pada seseorang di mobil yang tak tampak wajahnya itu. 

"Hei, mana Ibu kamu?" tanyanya dengan Wajah berseri.

"Itu Siapa?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Widya.

"Supir taksi!" jawabnya singkat.

"Supir apa yang membuat kamu sampai melambaikan tangan padanya. Dan kenapa kamu begitu lama di dalam?"

Widya yang hendak masuk menghentikan langkahnya, lalu berbalik melangkah ke arahku.

"Ingat, ya Gilang! kamu itu hanya numpang hidup! jangan pernah mengatur-atur hidupku. Jika aku mau sekarang juga kamu bisa aku buang!" bisiknya dengan nada mengancam.

Darahku mendidih, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku sudah terlanjur nyaman hidup dengan Widya. apa yang kuminta selalu ada. Apa jadinya jika kamu bercerai, tak hanya aku kehilangan semua fasilitas dan barang-barang mewah dengan mudah. Tapi, juga aku akan menjadi pengangguran.

Akhirnya aku memilih diam. Mengiringi langkah Widya yang masuk dengan high heels-nya.

"Bu, Rena, Ini Widya!"

Kedua orang itu menatap dengan tatapan bengong. Widya sampai menyenggol lenganku karena Ibu dan Rena terdiam tak bicara.

"Bu! Rena!" Bentakku.

"Oh, Astaga. Maaf, Ibu pangling liat istri kamu, Lang. Cantik banget!" Seru Ibu sambil mengulurkan tangannya. 
Tapi, Widya yang sedang dalam posisi melipat tangan di dada diam saja.

"Saya Rena, Kak. Adiknya Bang Gilang." Lanjut Rena memperkenalkan diri.

"Oh, ya sudah! kalian makanlah makanan yang sudah dihidangkan Bik Nur. Jangan sungkan-sungkan, habiskan saja. Itu makanan mahal, kalian pasti tak pernah makan ini kan?"

Ibu menatapku. Aku hanya berusaha memberi kode, agar Ibu bersabar.

"Saya mau istirahat dulu!"

Widya berlalu tanpa memperdulikan Ibu yang tampak kaget dengan sikapnya yang punya sopan santun itu.

"Gila! Seleramu, udah tua gitu! apa ga malu, Bang." seloroh Rena ketika kini kami sedang menyantap makanan yang sudah disiapkan Bik Nur.

"Sssst ... nanti dia denger. Bisa-bisa Abang dipecat dan uang bulanan kamu juga tak akan cair lagi."

Rena langsung menutup mulutnya, menoleh ke kiri dan kanan khawatir Widya mendengar.

Usai makan, Ibu dan Rena kembali kuantar pulang.

"Ini yang untuk Ibu dan Rena dari Widya." aku menyerahkan 20 lembar uang merah ke tangan Ibu.

"Wah, Baik banget. Udah di undang makan, sekarang di kasih uang." Ini menerima dengan sangat senang.

Walau sebenarnya itu uang yang kuminta pada Widya waktu itu. Aku takut mulut Ibu akan menghukum Widya.

Jam sudah menunjukkan angka sebelas, aku sudah kembali ke rumah setelah mengantar Ibu dan Rena. Sesampainya di kamar, Widya tampak tertidur pulas. Aku menyalakan lampu, namun perempuan itu tak juga terbangun. Dari baju tipis yang dia kenakan aku dapat melihat tanda merah di atas dada Widya. Aku berjalan mendekat. jelas sekali itu bukan tanda dariku. Gigiku gemeretuk, tapi aku bisa apa?

Ting!

[Mas, besok aku pulang!"

Sebuah pesan masuk ke ponselku.

bersambung.


Silahkan Subscribe dan tap love, jika Kaka suka dengan cerita ini 😍😍

Komentar

Login untuk melihat komentar!