"Aku diangkat menjadi manager?" pertanyaan yang seharusnya tak aku tanyakan lagi, karena di kertas itu sudah sangat jelas tertulis aku diangkat menjadi manager.
"Kerja yang bener! jangan kecewakan aku! dan satu lagi, jangan malu-maluin!"
"Makasih ya, Sayang."
Widya tersenyum tipis.
"Ingat, Mas. Ini tak gratis. Aku mau nanti malam dan setiap malam kamu mempersiapkan diri."
Aku terdiam, membayangkan saja rasanya sudah tak sanggup. Apa aku melakukan saja apa yang terbersit dihatiku, ya?
"Tenang, beres Dek. Mau sekarang? aku juga siap! Tapi, aku mau uang sepuluh juta, Dek. Sebelum gajian bulan depan." Ujarku menahan merayu. Mana mungkin Widya mau melakukan itu sekarang, sementara dia masih banyak pekerjaan.
"Buat apa?"
"Aku ingin memberikan kejutan untuk Ibu dan adikku. Sudah lama mereka tak aku belanjakan barang-barang mahal."
Padahal hampir tiap bulan aku memberikan uang lebih untuk mereka berdua. Tapi, tak pernah cukup.
"Oh, tak masalah, Nanti aku transfer. Oh ya, kapan kamu mau memperkenalkan aku dengan Ibumu?"
"Kamu yakin mau kenalan dengan keluargaku?" mataku melebar, agak khawatir sebenarnya.
"Tentu saja, kenapa tidak!" jawabnya santai.
"Kenapa kamu sepertinya keberatan?" tanyanya lagi.
Entah kenapa aku rasa takut mempertemukan Ibu dan Rena dengan Widya. Khawatir jika nanti malah Ibu membuat Widya marah.
"Engga sih! cuma aku takut aja, kamu tak menyukai Ibu dan adikku."
"Aku justru tak menyukai orang yang pengecut. Bersembunyi dibalik wajah polosnya."
Entah sindiran, entah bagaimana. Aku memilih mengiyakan permintaan Widya. Rencananya aku akan membawa Ibu dan Rena ke rumah Widya secepatnya, karena aku harus mencari Ningsih.
"Nanti malam aku ajak mereka ke rumah, ya?"
"Iya!"
Lalu istriku itu kembali memainkan jari-jarinya di atas keyboard. Aku pun kembali ke ruangan, mengemas barang-barang milikku untuk di pindahkan ke ruangan sebelah Widya.
"Cieee ... Pak Gilang, udah naik pangkat! cepat juga ya, baru enam bulan," ledek Putri.
Aku diam saja, berjalan tegap penuh wibawa. Kini aku seorang manager, tak sembarangan orang boleh bicara denganku.
"Maaf Pak, sini biar saya bantu." Seorang wanita dengan memakai kemeja putih lengan panjang dan celana bahan berwarna hitam menghampiri lalu hendak mengambil map yang berisi berkas-berkas di tanganku.
"Kamu siapa?" bentakku sambil menghalangi tangan gadis itu.
"Eh, iya saya lupa. Saya Hani, Pak. Sekertaris Bapak yang baru, nanti jadwal-jadwal meeting, juga semua kegiatan Bapak, saya yang akan mencatatnya.".
Boleh juga nih, cewek. Cantik, seksi, kulitnya putih, dan dia mirip seseorang, tapi entah siapa.
"Siapa yang merekrut kamu?" aku perlu waspada. Khawatir dia orang suruhan Ningsih. Walau mustahil, gimana mungkin Ningsih bisa melakukan itu, sementara dia hanyalah perempuan kampung yang kebetulan menikah denganku -- orang kota.
"Bu Widya, Pak!"
"Ooh ... Ya sudah, saya percaya. Kamu selesaikan semuanya, ya. Saya mau ke ruangan Bu Widya, dulu. Aku menyerahkan semua barang yang kubawa ke tangan Hani. Gadis itu tersenyum manis. Wah, bisa buat selingan nanti, pikirku.
"Pak, Bu Widya sedang ada tamu. Tak boleh seorang pun yang boleh masuk sampai tamu itu pergi, begit pesan Bu Widya."
"Tamu siapa?"
Lely sekretaris Widya, tak menjawab.
"Saya suaminya!" Aku baru hendak berjalan ke arah pintu.
"Pak, tolong. Bu Widya, berpesan seperti itu, termasuk Bapak, tak boleh masuk ke dalam selama beliau rapat. Tolong Pak, saya takut nanti di pecat."
Perempuan itu memelas. Melihatnya aku kasian, akhirnya aku mengurungkan niat untuk menemui Widya.
"Nanti kalau Bu Widya sudah selesai kabari saya!"
"Baik, Pak. Terima kasih." Perempuan itu menghela nafas lega melihatku pergi. Widya emang suka memecat orang yang dia tak sukai, atau karyawan yang berbuat salah. Sehingga tak heran jika banyak wajah-wajah baru di sini.
****
"Bu, nanti malam Gilang mau memperkenalkan Ibu dengan seseorang." Aku menghubungi Ibu lewat telepon.
"Seorang siapa? kamu punya hutang? jangan macam-macam kamu, Gilang. Ningsih saja belum ketemu, kamu sudah nambah-nambah masalah."
"Bukan, Bu. Dulu memang Gilang suka berhutang dan menyuruh Ibu untuk membayarnya. Sekarang, beneran ini pasti akan membuat Ibu senang."
"Apaan, langsung aja! ga usah pake basa-basi!" ketus Ibu.
"Gilang mau memperkenalkan Ibu dengan istri muda Gilang." Lirihku.
"Astaga, Gilang! ot*kmu dimana, Lang! Hidup berdua dengan Ningsih saja kamu udah kewalahan. Apalagi sampai punya istri lagi, Duh, Gusti!" Ibu histeris.
"Bu, hidup Gilang kini sudah enak, apalagi?"
"Lang, kamu itu keterlaluan, ya! baru saja ibu merasakan balas budi dari kamu, itu juga bagi-bagi dengan Ningsih, dengan Rena. Sekarang kamu udah mau nambah istri lagi, ya Ampun, Gilang!"
Aku tersenyum, berarti kalau istriku orang sekaya Widya, pasti Ibu akan bahagia.
"Bu, istri Gilang yang kedua itu bos Gilang sendiri, orang kaya raya."
"Serius, Kamu!"
"Serius, Bu. Makanya nanti malam Ibu di undang ke rumah dengan Rena. Jangan lupa pakai baju yang bagus dan mahal, karena Widya istri Gilang ini orang kaya."
"Wah, iya, iya! Ibu nanti pakai baju yang kemarin Ibu beli. Kamu jemput kita 'kan?"
"Iya, nanti Gilang jemput."
Baru saja selesai menelepon Ibu, Lely, sekretaris Widya mengubungi.
"Pak, tamu Bu Widya sudah pulang. Bapak bisa ke ruangan Ibu sekarang."
"Oke!"
Dengen wajah senang, aku mendatangi ruangan Widya. Aku ingin mengatakan ucapan terima kasih karena dia begitu perhatian kepadaku. dan juga mau mengabarkan, bahwa nanti malam Ibu dan Rena mau memenuhi undangan makan-makan darinya.
"Kamu lagi apa?" Aku baru saja masuk ketika melihat Widya sedang mengenakan baju.
"Kamu melepas baju?" tanyaku heran.
"Iya tadi ac-nya mati. Ruangan gerah sekali makanya aku membuka baju."
"Kamu lagian, kenapa ke sini tidak mengetuk pintu dulu! kebiasaan kamu! dasar kampungan!"
lirih Widya dengan wajah memerah. Jutek Widya mulai kumat.
"Maaf, Dek."
Setelah Widya tenang dan kembali di kursinya, "Dek, nanti malam, Ibu dan Rena akan ke rumah," ujarku.
"Oh, ya udah, nanti biar aku pesenin makanan yang mahal-mahal. Pasti Ibu dan adik kamu itu belum pernah nyicipin makanan mahal," tuturnya tanpa memperdulikan perasaanku.
"Iya, kami emang orang tak punya, beli makanan mahal itu, berasa sayang."
"Sudah aku tebak. Kelihatan kok dari tampang kamu."
Aku menghela napas dalam-dalam. Kapan ya, Widya bisa seperti Ningsih, selalu hormat padaku. Aku merasa punya wibawa dimatanya.
"Kalau sudah selesai, kamu kembali ke ruangan kamu sana. Aku masih banyak pekerjaan."
Dengan ketus Widya mengusirku. Saat keluar dari ruangan itu aku berpapasan dengan Putri.
"Gimana, Pak manager, masalah dengan Pak Farel sudah selesai, ya? sepertinya dia kena mental, keluar dari gedung ini dengan pakaian acak-acakan gitu."
Aku mengeryitkan kening. Tanpa menjawab pertanyaan putri aku berlalu ke ruanganku. Meski pertanyaan putri tadi masih terngiang-ngiang di telinga. Apa laki-laki si*l*n itu datang ke sini lagi? tapi kenapa aku tak tau?
bersambung.