Dua minggu sudah Ningsih tak ada kabar. Ponselnya juga tergeletak begitu saja dikamar. Aku harus mencari kemana? tak mungkin Ningsih pergi ke Kalimantan menyusul Mas Afif atau pulang ke Bandung ke rumah orangtuanya, dia paling pantang menceritakan kesusahan hidup pada orang lain, terlebih pada orangtuanya sendiri.
"Kan istri tua kamu itu kabur, ngapain kamu pulang? disini saja menemani aku," Ujar Widya, tanpa peduli sama sekali dengan keadaan Ningsih.
"Ga bisa gitu lah, Dek. Mas tetap harus mencari Ningsih,"
"Halah, kamu itu hanya butuh dia untuk teman bermalam doang, kan?"
"Dek, aku juga punya anak dengannya, gimana pun aku harus bertanggung jawab,"
Widya mendengkus.
"Terserah kamu! yang penting aku tak mau mengeluarkan biaya sepeserpun jika kamu mau mencari istrimu, itu!"
"Sayang, tolonglah. Aku akan akan memberikan jatahmu lebih banyak malam ini,"
Terpaksa aku menawarkan itu. Widya seorang perempuan yang hipers*ks, semalam dia kuat melakukan itu berkali-kali. Entah apa yang dia minum, sehingga aku pun harus meminum obat kuat agar sanggup mengimbanginya.
"Janji?"
Mata Widya mulai berbinar. Lalu mendekatiku dengan sentuhan lembut.
"Janji! tapi kamu bantu aku, ya?"
"Tak masalah soal itu,"
Aku menghela napas lega. Dengan bantuan Widya aku akan mencari Ningsih. Dan membuatnya kembali. Aku masih sangat mencintai Ningsih. Apalagi sudah ada Fahri diantara kami.
****
"Dek, aku hari ini tak masuk kerja, ya. Aku lelah sekali," ujarku lemas.
"Oke! kamu di rumah saja. Makasih untuk yang semalam, ya, Sayang. Kamu istirahat, nanti saja kamu cari istri kamu itu. Biar aku bantu bayar orang untuk menemukannya," Widya mencium keningku.
"Makasih, Sayang," Widya mengangguk cepat. Sebenarnya dia itu lembut asal kemauannya di ikuti. Tapi, cape juga jika tiap malam harus memenuhi kebutuhannya.
Setelah Widya pergi, aku meraih ponsel.
"Bu, Widya, sudah pulang?" tanyaku pada Ibu.
"Mana ibu tau! kamu kan suaminya!" selalu itu ucap Ibu jika aku membutuhkannya. Sangat berbeda jika Ibu yang membutuhkanku.
"Tolonglah, Bu. Lihat Ningsih apa sudah pulang?"
"Hah! kamu, nanti Ibu lihat. Tapi, kamu kirimkan Ibu uang, ya?"
Lagu lama, Ibu pasti minta timbal balik atas jasa yang dia lakukan.
"Iya, nanti Gilang, kirimkan uang. Tapi, 500ribu dulu, ya!"
"Hah? 500ribu? dapat apa? Minimal sejuta, kalau ga ada, ya sudah kamu lihat aja sendiri!"
"Ya sudah, kalau Ibu tak mau. Biar Gilang kesana sendiri nanti!"
"Eh, eh, gapapa deh, walau 500ribu. Kamu ini! sama orang tua sendiri perhitungan!" sungut Ibu. Aku tersenyum penuh kemenangan. Ternyata hanya butuh sedikit bentakan untuk membuat Ibu takut.
Akhirnya aku bisa tidur nyenyak walau sebentar. Lumayan untuk memulihkan kondisi. Mataku masih berat ketika ponselku berdering.
"Ya, Bu."
"Ningsih ga ada! rumah kamu masih kosong, terkunci. Halaman juga kotor, pasti istri kamu itu memang belum pulang," ujar Ibu memberikan laporan.
Huff!
Kemana Ningsih? dua minggu tak pulang. Jangan-jangan dia ke Bandung. Hanya ke sana satu-satunya tempat yang mungkin bisa dijangkau oleh Ningsih.
Hari sudah jam sebelas, aku bergegas bangun lalu mandi. Bersiap untuk ke Bandung.
[Dek, Mas mau ke Bandung dulu, ya! kemungkinan pulangnya malam.] walau aku tak yakin, karena jika ada Ningsih di sana, aku otomatis akan menginap sehari atau dua hari di rumah mertuaku itu.
[Jangan lama-lama. Bawa mobil hitam, aja. Nanti lecet!]
Widya benar-benar super pelit, padahal aku ingin membawa mobil Fortunar miliknya yang baru beberapa bulan ini dia beli. Lagi-lagi aku hanya diperbolehkan untuk membawa si hitam, mobil sejuta umat itu. Tapi, mau tak mau aku tetap setuju, dari pada tak di ijinkan bawa mobil.
Perjalanan ke Bandung tak begitu ramai. Mungkin karena hari kerja, tak banyak yang mendatangi kota kembang itu.
Hari sudah menjelang sore. Aku baru saja sampai di halaman rumah Abah dan Ambu. Rumah tua itu tampak sepi. Apa mungkin beliau berdua masih di kebun?
Masih terus duduk di mobil, sementara beberapa orang mulai melihat dengan tatapan curiga.
"Nyari siapa atuh, Kang?" tanya salah satu dari mereka yang berani mendekati dan mengetuk jendela mobilku.
"Saya menantunya, Ambu Imas dan Abah Engkus, Pak."
"Oh, menantunya Abang Engkus. Abang teh, lagi di ladang, sepertinya belum pulang," jawabnya dengan dialek Sunda yang khas.
"Terima kasih, Pak. Oh, ya, maaf sebelumnya. Apa bareng Ningsih juga?"
Bapak itu mengeryitkan kening.
"Ningsih? saya teh, ga pernah lihat Ningsih. Lah, kok bisa Akang ga tau kalau Ningsih ga pulang. Kan akang teh suaminya?"
Aku gugup, bisa-bisa nanti sekampung tau, jika aku dan Ningsih sedang ada konflik.
"Eh, Bukan! saya hanya berharap tadinya pulang bareng Ningsih. Ini hanya mampir sebentar ada meeting di daerah ini. Kalau gitu saya pamit dulu, Pak. Nanti saya ke sini lagi, bareng Ningsih."
"Oh, iya, mangga, Kang. Apa ga nunggu Abah Engkus dulu."
"Makasih, Pak. Nanti saja, kalau saya datang bareng Istri."
Pergi dari tempat itu dengan pikiran kusut. Di Bandung Ningsih tak ada, aku tak mungkin nyari Ningsih ke Kalimantan. Gajiku mana cukup untuk bolak balik Kalimantan. Widya pasti juga tak akan mau memberikan uang lagi. Terlebih aku takut dengan Mas Afif. Dia itu Abang satu-satunya Ningsih. Jika dia tau aku menikah lagi, pasti dia akan sangat marah.
Merasa pencarianku tak membuahkan hasil, aku kembali pulang. Tengah malam baru sampai di Jakarta, karena tadi aku mampir dulu di kafe. Kafe dimana tempat kupertama kali bertemu dengan Ningsih. Perempuan itu dulu masih dengan seragam perawat makan bersama teman-temannya. Melihat kelembutan dan senyum manisnya yang dibalut jilbab berwarna putih dan seragam juga putih itu, aku langsung jatuh cinta. Meski dengan susah payah, meyakinkan Ningsih dan keluarganya, akhirnya aku bisa juga menikahi suster cantik itu.
"Malam banget, kamu dari mana, sih?" bentak Widya sesaat setelah aku masuk kamar. Rasa lelah makin terasa mendengar omelan Widya. Boro-boro di kasih minuman, menyambutku saja dia tidak.
"Ningsih ga ada di Bandung, Dek," ujarku sambil merebahkan diri di ranjang.
"Mandi!" teriaknya.
"Mandi dulu sana! kamu bau, banyak debu, hiyuh, sana sana!"
Dengan kasar Widya mendorong tubuhku turun dari ranjang.
Hah! menyebalkan sekali.
Dengan berat hati aku meraih handuk. Bayangan bisa rebahan, musnah sudah. Berganti dengan dinginnya air seperti mandi kembang ditengah malam.
Keesokan harinya aku mulai ke kantor lagi. Meski masih kepikiran dengan keberadaan Ningsih.
"Mas, kamu ke ruanganku sekarang!" panggil Widya lewat saluran telepon. Belum sempat aku menjawab, sambungan sudah dia putuskan. Aku segera mendatangi tempatnya.
"Ini!" ujarnya sambil melempar sebuah amplop coklat padaku, sesaat setelah aku sampai di ruangan itu.
"Apa ini, Dek?"
"Panggil, Ibu! ini kantor! cepat buka!" bentak Widya garang.
Tanpa membantah lagi, aku membuka kertas itu. Astaga ...
Bersambung.