"Kenapa nyuruh aku ke kantor?"
"Dulu, jarang aku minta kamu ke sini, malah kamu tidak pernah absen, kenapa sekarang harus kutelpon dulu?"
Ish. Aku duluan kan yang nanya.
"Mau apa sih?"
"Kalau maunya aku, kamu. Gimana?"
"Nggak lucu, Sa!" serius, harus dia gombalin aku?
"Sudah lama kita tidak liburan, ada planing?"
"No untuk sekarang. Entah tahun depan."
Aksa tersenyum, cukup manis. Ah, ada yang hangat.
"Tahun depan sudah tinggal hitung minggu, ke desanya Madrid mau?"
Impian aku, enggak lagi jalan-jalan. Kebanyakan negara sudah kukunjungi. Hanya satu tempat yang belum.
Aku menggeleng.
"Ke KUA, mau?"
Astaga. Kenapa to the point banget.
"Sepertinya, kamu nggak sarapan tadi pagi."
"Maklum, bujangan."
Aku tahu dia tersenyum. Aksa ngerjain aku, pasti!
"Kamu nyuruh aku ke sini untuk apa?" membuka majalah bisnis yang tergeletak di atas meja lebih bagus dari pada melihat wajah tampan itu.
"Ngobrol."
"Ini jam kerja," timpalku tanpa melihatnya.
"Memangnya ada waktu lain?"
Oke. Sepertinya aku harus mendengar apa yang akan dikatakan Aksa. Lama-lama di sini, takutnya hilang kendaliku.
"Katakan."
Aksa tertawa. Aku bukan bingung melihatnya ketawa, melainkan malu yang kusembunyikan sebisa mungkin.
"Kamu canggung. Kenapa?"
"Perasaanmu," elakku.
"Putri."
Ah...kenapa memanggilku seperti itu? Kita belum sah loh!
"Bicara saja, Aksa!" kali ini aku.sedikit berkata ketus. Grogi juga ditatap lama-lama seperti itu.
"Kita sudah lama temenan, kapan kita akan menikah?"
"Memang sudah ada calon?" tanyaku kembali melihat isi majalah.
"Belum. Kalau kamu?"
"Sudah."
"Siapa?"
Saat dia bertanya siapa, mataku melihatnya. Senyum yang tadi entah pergi ke mana.
"Kapan-kapan aku kasih tahu."
Aku mendengar laki-laki itu menarik nafas dalam. "Suka banget sama dia?"
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"Untuk memastikan saja."
Memastikan kalau perasaanku serius atau main-main?
"Cukup aku dan Tuhan yang tahu."
"Aku percaya." Aksa mengulum senyumnya.
"Dari tadi senyum-senyum, kamu lagi bahagia?"
Laki-laki itu mengangguk. "Lihat kamu, aku bahagia."
"Sejak kapan suka senyum?" sindirku.
"Sejak belajar memahamimu."
Diihh! "Efek mbujang kelamaan nih!"
"Bisa jadi." Aksa melipat tangannya di dada.
"Putri."
"Eum." enak banget dengerin dia manggil namaku seperti itu.
"Seumuran kita, apa harus bilang I Love You?"
Apa?
"Menikah karena saling melengkapi, apa tidak bisa?"
"Bisa, mungkin," jawabku ragu.
"Kebutuhan di umur kita, sudah berbeda, kan?"
Aku tidak mengerti, tapi cukup awas memaknai kalimatnya.
"Kalau dulu, aku harus mengejar ambisi, sekarang aku mau keinginanku datang dengan sendirinya."
"Egois. Berjuang itu bukan untuk disesali." aku merangkap arti lelah dalam kalimatnya.
"Kamu jatuh cinta?" tebakku.
"Tidak tahu."
"Ada seseorang?"
Dia mengangguk.
"Aku mengenalnya?"
"Sangat."
Jangan-jangan, "Kamu masih mengharapkan Hana?"
Aksa menggeleng. "Terus? Haz? Dia kembali?"
"Aku bahkan tidak tahu di mana dia."
"Kenapa tidak mencari kalau kamu merindukannya!"
"Kenapa kamu yang marah?"
"Siapa yang marah!?" geram juga sama Aksa.
Tawanya mengesalkan.
"Aku sudah mengatakan pada Ummi."
Oh.
"Kamu kapan ambil cuti?"
"Aku sibuk, kemungkinan kasus Tricorp aku yang pegang." mulai malas juga berada di sini.
"Aku balik."
"Kenapa buru-buru?"
"Kamu juga sudah bicara," kataku dengan nada datar. Kupaksakan senyum juga nantinya malah kelihatan aneh.
"Aku belum selesai."
"Mau apalagi? Mau minta bantuan? Oke. Aku yang handle lamaranmu!"
"Kalau perawan marah, begini ya?"
Majalah yang sempat kupegang tadi, kulemparkan ke wajahnya.
"Duduk dulu, aku belum selesai."
"Katakan sekarang!"
Aksa menurut. "Nomor om Firman, masih aktif?"
"Masih. Sekalian uwak Laili, marah beliau kalau tahu kamu menikah tapi tidak mengundangnya."
"Pasti lah."
"Sudah?" tanyaku malas.
"Belum, Putri."
Apalagi? "Harus aku juga yang temuin pak penghulu?"
"Nggak bisa lah."
Serius. Aku sudah nggak mood lagi. Tapi nggak enak juga marah-marah di depan Aksa. Alasan yang jelas untukku, namun tidak dengannya.
"Putri."
Masih dengan nada yang sama, Aksa memanggil namaku. Lembut-lembut gimana gitu.
"Eum." Tuhan, beneran deh aku jatuh cinta sama laki-laki yang satu ini.
Sahabat dari orok.
"Dengar, aku mau bertanya."
Oke. Ada yang berdegup gelisah di dalam sana. Mungkin, sebuah kenyataan yang harus kuterima.
"Ekspektasimu terhadapku, gimana?"
Kok?
Kerutan di dahi Aksa membuatku menggigit bibir. Mengingat umurnya, otomatis aku ingat diri sendiri.
Tuhan ... Kami sudah dewasa.
Kami butuh sesuatu yang bisa saja kami katakan, tapi tidak mudah mengingat bagaimana hubungan kami.
Senyum Aksa kembali terbit. "Oke aku ganti."
Degup gelisah berganti menjadi malu. Ketakutanku pada sesuatu, mulai tertebak.
Aksa belum tahu tentang perasaanku, kan?
Tuhan ... Kenapa sangat membingungkan?
"Suatu saat kamu akan menikah, seperti apa dia dalam bayanganmu?"
Aku berdeham. Harus hati-hati menjawabnya. Sedikit melenceng dari yang sebenarnya, tidak apa. Asalkan aku tidak mempermalukan diriku di depannya.
"Tidak perlu mapan yang penting menerimaku apa adanya." ya. Itu jawaban yang aman.
"Yakin?"
Aku mengangguk.
"Wajahmu tidak meyakinkan."
Tahu dari mana dia? "Percaya enggak percaya, itu keinginanku pada seseorang lelaki.
"Tidak ada tambahan?"
"Tidak." aku menjawab dengan pasti.
Mata kami saling melihat, dia dengan senyumnya aku dengan grogi yang tak mau pergi.
Dulu, bisa kukuasai. Akhir-akhir ini sulit. Pesonanya cukup mempengaruhi isi kepalaku.
Tatapan mata, gerakan bibir hingga sesuatu yang menonjol di batang lehernya, mengacaukan pikiranku.
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Apa?" aku berdeham.
Aksa mendekat dan berdiri di sampingku. Tubuhnya sedikit membungkuk saat aku mendongak.
Jantungku berpacu dengan hebat, kala wajah itu mendekat dengan cepat.
Sesuatu membuatku terbang, namun tidak lebih dari lima detik.
Astaga. Apa yang dilakukannya?
"Sudah berapa lama kita bersama?" matanya menghujam dalam manikku.
"Apa yang tidak kamu ketahui tentangku?" nafasnya menerpa kulit wajahku.
"Kamu memuja, dalam waktu yang sama mengingkari. Untuk apa?"
Dia tahu?
"Sekarang, aku menginginkanmu, kenapa mempersulit?"
Apa?
Kedua kali, dia melakukannya.
Saat membuka mata, yang kurasakan ibu jarinya mengusap sudut bibirku.
Aku ingin menertawakan diriku sendiri.
"Kamu cantik, tapi tidak terlalu pintar soal hati."
Apa maksudnya?
"Katakan, mahar apa yang kamu inginkan sebelum aku bawa Ummi ke rumah om Firman?"
Lidahku kelu. Aksa tahu.
Ya Tuhan.
"Pergilah. Aku tidak bisa berjanji apa yang akan kulakukan kalau kamu masih di sini."
Apa?
Aku bangun, setengah berlari keluar dari ruangan Aksa.
Apa yang terjadi? Kenapa Aksa menciumku?

Login untuk melihat komentar!