Parasit 2
Dikira Miskin oleh Keluarga Suami

Part 5 (parasit 2)

"Kamu akan tau siapa aku yang sebenarnya," ucapku menoleh ke arah Mas Galih sebentar lalu pergi meninggalkannya.

Cukup sudah aku menderita selama sebulan menjadi istri Mas Galih. Pria yang dulu kupercaya berbeda dari pria yang pernah mendekatiku, tetapi ternyata dia lebih buruk. 

Kini aku harus menata ulang hidupku dan hatiku agar lebih baik lagi. Walaupun aku belum pernah dijamah oleh Mas Galih, tetapi jika nantinya kami resmi bercerai tetap saja akan tersemat kata janda di dalam diriku.

Untung saja dulu pernikahanku dengan Mas Galih diselenggarakan dengan sederhana, jadi tak banyak yang tahu bahwa aku sudah pernah menikah, bahkan tetanggaku pun tidak tahu, hanya Mbok Jumi, Pak Kosim dan keluarga dari Mas Galih saja yang tahu tentang pernikahan kami.

*************

Tok tok tok

"Neng? Neng Amira?" Sepertinya Mbok Jumi mengetuk pintu kamarku.

"Ya, Mbok. Masuk aja." Teriakku dari dalam kamar.

"Neng, itu di depan ada Mas Galih," ucap Mbok Jumi.

"Mau ngapain Mbok?" 

"Mbok nggak tau, Neng. Coba Eneng temuin aja." 

"Yaudah Mbok."  

Mau ngapain sih dia kesini lagi, batinku.

"Ngapain kamu kesini," ketusku saat menemui calon mantan suamiku itu.

"Ya mau nagih uang gajian kamu lah," ucapnya tak tahu malu.

"Cih, memangnya kamu siapa mau nagih uang aku?" tanyaku.

"Ya ... aku suami kamu dong," jawab Mas Galih.

"Suami? Nggak inget semalam kamu udah nalak aku," capku mengingatkan laki-laki tak tahu diri itu.

"Ya pokoknya aku minta uang sekarang! Kamu bilang kalau uang gajian kamu dibayar hari ini 'kan?" tanya Mas Galih.

Aku tersenyum sinis.

"Nggak ada," ucapku lalu berlalu meninggalkannya.

"Halah, dasar pembantu aja belagu!" Teriaknya saat aku sampai di ambang pintu. Seketika aku membalikkan badan menghadapnya.

"Heh, kamu! Siapa kamu berani-beraninya ngatain Neng Amira. Belum tau kamu siapa Neng Amira," ucap Mbok Jumi yang tiba-tiba berdiri dihadapan Mas Galih dengan sapu ditangannya.

"Ya ... aku suaminya lah. Lagian baru jadi pembantu aja lagak nya selangit," ucap Mas Galih sedikit takut dengan sapu yang dipegang Mbok Jumi.

"Kamu mau tau siapa Neng Amira! Neng Amira itu yang punya ..." sebelum Mbok Jumi mengatakan yang sebenarnya, aku sudah menarik tangan Mbok Jumi agar masuk ke dalam rumah.

"Neng, kenapa atuh Simbok ditarik masuk. Mbok belum selesai itu marahin si Mas Galih," ucap Mbok Jumi setengah marah karena aku menarik tangannya.

"Udah Mbok nggak usah diladenin." 

"Haduh Neng, kalau orang kaya Mas Galih didiemin aja. Bakalan ngelunjak Neng. Pasti dia bakalan berusaha ngedapeti apa yang dia mau dengan menghalalin segala cara." 

'Benar juga kata Mbok Jumi. Sepertinya aku harus hati-hati dengan Mas Galih dan keluarganya. Bisa saja dia bagai banjir yang diam-diam menghanyutkan,' ucapku dalam hati.

*********

Ting

Ada sebuah notifikasi dari aplikasi WA-ku. Kulihat itu adalah chat dari Mas Galih.

'Ngapain lagi sih dia.' batinku.

Kubuka chat dari Mas Galih.

"Kamu bakalan nyesel karena nggak ngasih aku duit. Aku bakalan laporin kamu ke majikan kamu biar kamu di pecat. Hahaha." Begitulah isi chatnya.

Aku hanya tersenyum sinis melihat chat dari Mas Galih tanpa berniat membalasnya.

'Mau melaporkan aku ke majikanku? Kamu nggak tau Mas bahwa akulah pemilik rumah ini.' kataku dalam hati.


******

Tok tok tok

"Neng! Neng! Buka pintunya Neng!"  Teriak Mbok Jumi sambil menggedor pintu kamarku.

Duh apaan lagi sih, kubuka ponsel untuk melihat jam. Baru jam 6 pagi.

Dengan malas aku menuruni tempat tidur dan membukakan pintu.

"Kenapa Mbok?" Tanyaku dengan mata setengah terpejam.

"Anu ... itu ... Neng!" Ucap Mbok Jumi gugup dan setengah panik.

"Kenapa Mbok?" tanyaku lagi.

"Di luar ada Mas Galih sama ibunya. Teriak teriak manggil nama Neng Amira," ucap Mbok Jumi.

"Hah! Mau apa lagi dia Mbok?" tanyaku.

Mataku langsung membulat sempurna ketika tau siapa yang datang.

"Nggak tau Neng. Itu bikin malu Neng, mana banyak tetangga yang lagi ngumpul di tukang sayur depan rumah."

Aku menghela nafas kasar. Untuk apa lagi dia kesini. Pasti mau minta uang lagi.

"Eh, ada tamu tak diundang," sapaku kepada Mas Galih dan Ibunya.

"Ngapain kesini? Pasti mau minta uang ya?" tanyaku.

"Eh, kamu perempuan nggak tau malu! Istri durhaka! Menantu durhaka! Pergi dari rumah nggak bilang sama suami!" ucap Ibu Mas Galih sambil berteriak. 

Aku tau tujuannnya adalah mempermalukanku di depan orang banyak.

"Bu ibu denger ya! Amira ini menantu saya sejak bulan lalu. Tapi dia pergi ninggalin rumah saya nggak izin sama anak saya cuma gara-gara saya minta uangnya buat makan sehari-hari. Padahal Amira tau kalau anak saya ini tulang punggung keluarga tapi malah dia nggak mau bantu saya. Hiks hiks," ucap Ibu Mas Galih sambil berpura-pura menangis. 

Aku tau dia sandiwara.

"Oh gitu ya bu? Nggak salah yang ibu bilang itu? Kan anak ibu yang udah nalak saya. Bukannya saya yang pergi dari rumah tanpa izin, bahkan anak ibu ngusir saya dari rumah, 'kan?" jelasku.

"Terus satu lagi, selama sebulan saya jadi menantu ibu, apa pernah ibu ngebolehin saya makan, nggak 'kan? Bahkan tenaga saya habis-habisan di peras oleh ibu," ucapku tenang.

Seketika wajah ibu berubah menjadi merah. Entah karena marah atau malu.

"Halah, dasar pembantu aja udah belagu kamu," ucap Mas Galih meneriakiku.

Aku hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Mas Galih.


"Huuuuuu, dasar mertua nggak punya akhlak, suami nggak tau diri." Teriak ibu-ibu menyuraki Mas Galih dan Ibunya.

Tanpa memperpanjang waktu, akhirnya Mas Galih dan Ibunya pulang dengan wajah ditekuk.

'Jangan pernah main-main denganku Mas, atau kamu akan tau akibatnya,' ucapku dalam hati.

"Neng, apa bener yang diomongin ibu tadi kalau Neng Amira udah nikah?" tanya seorang ibu yang tadi ikut menyaksikan tontonan gratis dipagi hari.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Bukan aku tak mau menceritakan apa yang telah terjadi, karena aku tau permasalahan dalam rumah tangga bukanlah konsumsi publik.

Biarlah aku saja yang menyimpan rapi semua kenangan pahit itu dan menguburnya dalam-dalam.