Bibirnya dingin, sedikit bergerak-gerak.
Laki-laki di sampingnya masih sibuk melemparkan pandangan pada keindahan jingga itu. Mereka tidak hanya berdua, sebab para manusia di sana masih berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing.
“hei, kenapa sedih?’’
Perempuan itu perlahan menoleh dan melemparkan senyum. Tangan lembutnya bergerak mengusap air mata yang bergulir. Sementara itu tubuhnya mulai menggigil karena udara mencapai titik 7 derajat Celcius.
Musim dingin di Tatarstan. Kembali ia mengabadikan moment itu lagi. Sekali, dua kali, tiga kali dalam potret lensanya. Seolah tidak menghiraukan udara yang menelusup hingga ke sumsum tulang. Baginya mimpi adalah suatu hal yang harus untuk diperjuangkan, perjalannya masih jauh, jejak kaki yang masih ingin terus-menerus menapaki Bumi-Nya, mentafakuri Ayat-ayat-Nya, dan masih banyak tentang Islam yang ingin ia pelajari dari berbagai Negara di setiap sudut dunia.
Perjalananya tidak boleh berhenti sampai di sini. Meski keadaan tubuh sering kali melemahkan raga itu sendiri. Riwayat penyakit jantung, paru-paru, dan tumor jinak yang mengendap sejak ia berumur tujuh tahun tidak boleh lebih unggul dalam menjatuhkan usahanya untuk terus menebarkan kebaikan melalui tulisan. Sebab, hidup hanya sekali. Ia begitu kerja keras, meyakinkan kepada diri sendiri, bahwa apapun yang ia tulis pastikan terdapat cinta di dalamnya. Sebab cinta yang tertulis dari hati, akan sampai ke hati-hati yang lain.
Kazan adalah Kota ke 220 dari 23 Negara yang ia jelajahi ilmunya.
“Sudah berapa lama jadi Penulis kolom?”
Hari ini ia mendapat pertanyaan pertama. Sedikit terkejut. Namun pikirnya, lelaki itu hanya sekedar ingin tahu riwayat perjalan dirinya sebagai Penulis kolom berwajah oval asal Indonesia. Memang, tak banyak kesan basa-basi yang diciptakan. Menjadikan setiap waktu yang dilalui sangat terisi penuh dengan pengetahuan seputar Kazan dan Kul Sharif.
“Kalo menulis sih hobi yang sudah lama sejak Sekolah Dasar, yang awalnya nulis diary, sampe coba-coba ikutan lomba karya tulis ilmiah, puisi, cerpen, ya gitulah” matanya memandang jelas kedepan, seakan membaca kembali riwayat perjalan sendiri.
“Aku itu gagal jadi sarjana, bukan anak orang kaya, punya beberapa penyakit, tapi Orang Tua menguatkan. Ummi bilang, jika kita tidak punya apa-apa setidaknya kita punya mimpi”, lanjutnya dengan mata mulai mengembun kembali.
Lelaki itu tertegun. Wanita di sampingnya saat ini membuka pintu hatinya untuk lebih mengkaji tentang mimpi. Ya, mimpi yang bertahun-tahun mengendap bersama alunan waktu.
Malam ini, tulisan harus dituntaskan. Sebelum hari selanjutnya membawa ia beserta lelaki itu menjelajahi sejarah baru di Kota lain.