—Menelusuri Ruang Waktu (Part 2)
        Matanya mulai berkaca, sedikit lagi butiran itu jatuh.
       Seira termasuk cepat dalam hijrahnya, di usia yang belum menginjak masa remaja ia sudah menetapkan pilihan. Baginya jilbab bukan sekedar penutup kepala, bukan hanya penghalang rambut dari terik matahari, bukan untuk ajang kecantikan, bukan untuk supaya dibilang suci, melainkan untuk hati dan kewajiban yang harus dipenuhi bagi seorang wanita dalam Islam. Keyakinan itu tertulis rapi dalam buku pemberian wanita yang berperan penting dalam hidupnya, menjadi sebaik-baiknya Madrasah pertama yang mengenalkan Keindahan Islam padanya.
Rindu itu sudah lama bermuara bukan hanya tertuju pada Ummi dan Abi, melainkan teruntuk dua saudara kandungnya yang terlahir tidak sempurna. Mereka adalah orang yang menjaga Seira kecil ketika di antara Ummi atau Abi mencari secangkir beras untuk makan mereka hari itu. Dan benar saja, siklus waktu adalah: Setiap detak dari detiknya terus mendaur ulang rindu. Dua saudara lelakinya meninggal dunia, sebab keterbatasan keluarga dalam menerima anjuran rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut pemisahan dua badan yang memiliki satu kepala. Ya, ternyata umur kedua kakaknya tidak lama. Mereka sama-sama meninggalkan dunia di usia Seria belum menginjak tujuh belas tahun.
       Jika boleh, ia akan bertanya kepada Allah,  kenapa diberi banyak cobaan? Kenapa harus merasakan kehilangan, dan kenapa di beri banyak penyakit?
Masa kecilnya banyak dihabiskan dalam ruangan berbau obat itu.
Seakan tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya, Ummi dan Abi selalu berusaha mencari biaya supaya anak bungsunya itu bisa merintis umur lebih panjang. Dan, cinta menguatkan segalanya, kala harapan berangsur punah. Seira tidak begitu tahu dari mana dan kapan saja kedua orang tuanya itu selalu berhasil medapatkan uang. Dalam seminggu, dua sampai tiga kali ia di rujuk ke rumah sakit perihal nyeri di kepala sejak usia tujuh tahun sebab benturan keras kala itu.
Orang-orang bilang, Seira punya mata cekung yang indah. Bulu mata yang lentik, wajah oval yang cantik, kulit putih, matanya bening seperti ratu. Gadis dengan penampilan tomboi itu juga dikenal memliki hati yang lembut, namun tegas.
Ketika usianya belum menginjak tujuh belas tahun, seperti gadis pada umumnya, terkadang sifat cemburu timbul, bertanya banyak pada diri sendiri, meyakinkan perkataan Ummi tempo hari.
        “Allah beri ujian, sebab Allah sayang”
        Allah sayang, lalu kenapa diberi banyak cobaan? Bukankah bentuh kasih sayang tidak berupa dengan menyakitkan?
       Satu per satu pertanyaan ia ajukan pada hati, tapi jawaban wanita paruh baya itu selalu menguatkan, memberi celah-celah keyakinan bahwa bersama Allah semua akan baik-baik saja, bahwa setiap kesulitan selalu Allah iringi dengan kemudahan. Tidak ada yang harus di salah artikan dalam bentuk kasih sayang Allah, sebab cerita punya cara tersendiri memperkenalkan para pemerannya.
       Dan Ummi, berhasil memperkenalkan islam dengan indah kepada dirinya. Pada lingkungan baik di Al-Istiqomah, sebuah masjid cantik dengan ukiran 99 Asmaul Husna. Awal mimpi terlukis indah bersama alunan doa, kala ia melihat berbagai macam poster dari berbagai Negara yang terpajang rapi di majalah dinding teras masjid itu. 
MasyaAllah.
       Malam semakin larut, tapi putaran ingatannya semakin rapi tersirat dalam alunan sunyi angin Kazan. Dua jam lagi mendekati pergantian hari, Seira melemparkan kedua tangannya menuju laptop berwarna biru, membuka sebuah arsip dokumen perjalanan yang Allah permudahkan untuk dia berdakwah melalui tulisan. 219 Kota dari 22 Negara. Tidak ada makna sebuah perjalanan jika tak Allah Ridhoi.
        Dokumen Traveler, sebuah arsip yang banyak menyimpan sejarah. Bermula Launching Novel perdananya, Camera Microlles, Launching Novel kedua, penjelajahan Negara pertama, dan banyak negara lainnya yang tersusun rapi.
Matanya mulai mengembun.
        Pikiran untuk tetap berjuang dalam menulis adalah, sebab berdakwah seharusnya tidak mengenal lelah. Malam ini, semua memory itu bercerita dengan porsi masing-masing.