"Penjabaran terumit dari siklus waktu adalah: Setiap detak dari detiknya terus mendaur ulang rindu, selalu.”
Selepas Maghrib, suasana malam yang dingin menelusup hingga ke sumsum tulang. Namun, tidak menghentikan kedua tangan itu untuk tetap mengetik. Sakit di kepala yang sebenarnya sudah mulai terasa kambuh siang tadi, tidak begitu mampu mengalihkan perhatian dari semua data yang ia peroleh. Pikirnya tetap tegas, gadis berparas ayu yang sering menggunakan kerudung warna-warni permen itu memiliki prinsip bahwa menulis adalah sesuatu hal yang harus diperjuangkan. Jika saja ia berhenti untuk istirahat sejenak malam ini, lalu bagaimana dengan tulisannya? bagaimana dengan para pembaca? Sedangkan besok, langkahnya akan berlayar kembali.
Seira menarik nafas, tersenyum. Lalu mengakhiri ketikkannya di huruf terakhir sebelum mengirim file hasil tulisan hari ini kepada Pak Tyo, Pimpinan Redaksi salah satu media cetak di Indonesia.
Sudah dua malam ia bermukim di salah satu Homestay di Kazan. Tapi malam ini terasa sangat berbeda, terlebih sakit di kepala mulai menampakkan kelemahannya. Homestay tujuh lantai ini milik Juleis wanita mualaf berwarganegara Russia, keramahan yang dilemparkannya bukan hanya kepada Seira yang berkerudung saja, tapi juga kepada orang asing non muslim lainnya, syukurnya menghampiri lagi.
Dari ketinggian gedung ketiga, di balik kaca jendela itu, mata cantiknya kembali hanyut dalam lingkaran kenangan. Sebuah lensa seakan memutar kembali layar kehidupan beberapa puluh tahun lalu, sebelum ia meyakini bahwa doa adalah sebaik-baiknya jembatan dari hamba menuju Sang Pencipta.
Satu persatu gambar diri terlihat manis tersenyum, memperlihatkan gigi kelinci yang lucu. Sesekali gambar wanita paruh baya dengan hiasan keriput di wajahnya, tersenyum lebar merangkul gadis kecil dengan rambut di kuncir satu, manis sekali. Photo itu adalah hasil jempretan yang kembali ia abadikan dari album lama, beberapa hari sebelum terbang ke London empat tahun lalu.
“Ummi...” bisiknya haru.
Hati-hati Seira menekan tombol next pada kameranya. Lalu kembali memperhatikan satu demi satu arsip kehidupan itu. Wajah-wajah lama yang sudah mulai menua, berhasil menggumpulkan keping-keping rindu. Biasanya di saat-saat sepi seperti sekarang, Seira suka membuka kembali galeri lama, atau sekedar membaca ulang buku harian berwarna cokelat tua itu. Baginya, hidup adalah sejarah dan karya adalah hal yang mengabadikannya, seperti Doa, lensa, tinta dan media adalah penghubung dari semuanya.