Bab 2


.

      Setelah itu Nirani selalu berusaha menghindar. Mungkin jengkel atau tak suka? Entah. Sementara aku bersikap biasa saja seperti pada anak magang sebelum-sebelumnya. Tepatnya, tak peduli.

Sebenarnya Nirani gadis cukup rajin dan lincah. Dalam waktu sekejap juga sudah bisa mengambil hati sebagian karyawan kantor karena mau disuruh kesana-kemari.

"Rani, tolong foto kopi ini."

"Dek, buatin mie rebus, dong!"

"Ran, tolong ambilkan map saya di meja itu." 

Dan perintah-perintah lain yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri atau minta tolong Mbak Indah sebelumnya. 

Yah, memang begitu nasib anak magang. Apalagi masih SMA. Selain usia jauh lebih muda, mereka juga tak punya kedudukan apa-apa. Biasanya si bos mau menerima mereka karena tak enak dengan pihak sekolah yang sudah minta tolong, apalagi ikatan kerja sama itu sudah berjalan selama bertahun-tahun lamanya. 

Kadang, para karyawan lumayan keterlaluan. Setelah si ini minta tolong, lalu si itu kasih perintah baru. Seolah tak ada yang melihat wajah Nirani yang mulai kelelahan.

Beberapa kali kupergoki gadis itu memijit kaki sendiri. 

"Rani, foto kopi ini nih!" Terdengar perintah baru.

Gadis itu langsung berdiri, lalu melangkah mendekat pada salah satu karyawan.

"Dikerjain sendiri, kan, bisa." Aku menarik lengan Nirani, menahan gadis itu agar tak melakukan perintah yang entah untuk ke berapa kali siang ini. Sambil menatap lurus ke wajah tak tahu diri itu. 

"Yaelah, anaknya juga nggak keberatan kok lo yang sewot?" Dia mengelak sambil nyengir tanpa dosa.

"Dia nggak keberatan bukan berarti gak kecapekan," sahutku. "Anak orang woi."

Lelaki yang usianya tak jauh dariku itu entah menggumamkan apa, lalu melangkah menuju ruang foto kopi sendiri. 

Aku melepaskan lengan Nirani, baru sadar gadis itu diam-diam mengamati.

"Kalau disuruh-suruh itu jangan mauan. Ntar ujungnya capek sendiri kamu," pesanku. Lalu melangkah pergi menuju meja sendiri. 

.

Semua berjalan seperti biasa. Apa adanya. Nirani mulai jarang disuruh-suruh lagi, mungkin karena mereka tahu ada yang membela, atau karena gadis itu mulai berani memberi penolakan.

Kami masih belum banyak berinteraksi. Cuma sesekali bertemu pandang, tapi tanpa maksud apa-apa. Bagiku, entah baginya. 

Aku menoleh, gadis itu membuang muka. Lalu pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.

Seringkali kupergoki dia mulai mengamati diam-diam dari tempatnya. Lalu saat ketahuan, semu merah kelihatan jelas di kedua pipi gadis itu.

*** 

       "Tunggu!" Kudengar seruan sesaat sebelum pintu lift tertutup. Lalu gadis yang mengenakan kemeja putih dan rok hitam itu memaksa masuk. 

Nirani. 

Aku menghela napas, memutar bola mata karena gadis itu sudah membuang waktuku.

Pintu lift tertutup. Kami berdiri sejajar, merasakan gerakan halus lift menuju lantai atas. Sesekali jemarinya membenahi rambut panjang riap-riapan yang tergerai di punggungnya. Mungkin tadi pagi dia bangun kesiangan, seperti biasanya. 

"Seminggu masuk, seminggu juga telat," ucapku datar tanpa menoleh.

Sisiran jemarinya terhenti. Dari sudut mata bisa kulihat dia menoleh, lalu sedikit mencebik karena dikomentari.

"Untung cuma magang, kalo karyawan dah kena SP 1." Aku melanjutkan ucapan. 

Dia mengalihkan pandangan, lalu kembali menyisir rambut panjangnya, tampak sedikit salah tingkah sekarang. 

"Suka begadang atau gimana?"

Dia menghela napas pendek. 

"Aku tuh bukan bangun kesiangan, ya, Pak," kilahnya tak suka. 

"Jadi?"

"Banyak kerjaan rumah pagi-pagi," sungutnya, tapi dengan nada bersungguh-sungguh.

"Bangunnya lebih pagi lagi. Ngeles aja bisanya."

"Dih, kok galak, sih?" sahutnya. 

Aku menoleh. Bersamaan dengan suara pintu lift berdenting. Gadis itu langsung mencelat keluar. Sementara aku melangkah di belakang sambil menggelengkan kepala melihat tingkahnya. 

.

Sejauh ini memang semua berjalan masih seperti biasa. Kami sesekali bicara, dengan kalimat yang sama sekali tak istimewa. 

"Siapa yang nyuruh?" Aku bertanya, saat gadis itu tiba-tiba meletakkan secangkir kopi di atas mejaku.

"Enggak ada," jawab Nirani.

"Kok bikin kopi?"

"Cuma buat ucapan makasih aja, sih."

"Atas apa?"

"Ongkos gojek kemaren." 

"Yaelah, apaan." Aku menggelengkan kepala, tapi tanpa sadar mengulum senyum sendiri. 

Sore kemarin aku memang sudah memberi bantuan, karena gadis itu berdiri di trotoar cukup lama. Tadinya kami dia sedang menunggu jemputan atau ojek online seperti biasa. Tapi ternyata akhirnya gadis itu melangkah menyusuri trotoar begitu saja. 

"Hei!" Aku memanggil dari sisi mobil yang terparkir. Posisi mau pulang karena hari sudah menjelang malam.

"Hei, Nirani!" ulangku dengan suara lebih keras lagi. Mungkin karena suara bising kendaraan jadi tadi gadis itu tak mendengar suara panggilan.

Gadis itu menoleh. Aku melambaikan tangan agar dia mendekat. Sejenak, dia menoleh ke kiri dan kanan. Memastikan bahwa yang dipanggil memang dia orangnya.

Aku melambai lagi, mulai tak sabar. Untungnya gadis itu segera melangkah mendekat, kalau masih juga kebingungan mungkin sudah kutinggal pulang. 

"Ya, Pak?" tanyanya setelah dekat, sesaat dia mengatur napas yang sedikit ngos-ngosan.

"Kok jalan? Nggak dijemput?" tanyaku.

Dia diam, menunduk sesaat, lalu kembali mendongak membalas tatapanku.

"Duitnya abis, aku lupa," jawabnya pelan.

"Lupa nggak ada duit?" Aku mengulang heran.

Dia mengangguk. 

"Jadi mau gimana tadi?"

"Jalan aja, Pak?"

"Rumahnya jauh?" 

"Ya, lumayan."

"Keren amat kakinya bisa jalan segitu jauh."

"Mau terbang nggak ada sayap soalnya," sindirnya.

Dia melirik kearah mobil. Aku paham maksudnya. Jadi segera kukeluarkan dompet dari kantong belakang.

"Nih, ngojek sana!"

Setelah mencari keseriusan di mataku, gadis itu menerima uluran uang yang kuserahkan. Lalu berlari begitu saja tanpa mengucapkan terima kasih sama sekali.

Nirani tersenyum setelah meletakkan cangkir di mejaku. Sesaat, ada jeda di antara kami. Lalu jeda itu diakhiri ucapan polosnya.

"Makasih buat yang kemaren, Pak," ucapnya tulus. 

"Udahlah, biasa aja," sahutku.

Nirani mengulum senyum.

"Bapak keliatannya nggak pantes dipanggil bapak, aku panggil abang ajalah."

Kami bertatapan. Semakin kusadari  bahwa senyumnya memang semanis itu.

"Ngelunjak," gumamku, tanpa rasa marah, perlahan dada mulai terasa berdebar malah.

.

Next





Komentar

Login untuk melihat komentar!