Keesokan harinya, aku memasuki kelas. Disamping kursi tempat biasa aku duduk kini telah ada Firman. Aku duduk dan menyimpan tasku.
"Ngapain disini? " tanyaku ketus.
"Aku pindah tempat duduk" jawab Firman.
"Apa?" Aku tak habis pikir dengan Firman.
Kali ini aku membiarkan Firman duduk disampingku. "Ga lama kok" aku mengelus dada, menenangkan diri. Firman memang nyebelin banget, dia merasa paling sempurna di kelas, memang dia paling kaya sich. Hampir semua teman yang dekat dengannya di support materi olehnya. Pinter bolehlah, penampilan ga bisa masuk ke mataku sekalipun. Aku selalu merasa mual melihatnya, bagiku ya. Bel istirahat berbunyi, huff akhirnya bisa jauh dari Firman.
"Fatma,, Fatma tunggu"
Siapa yang memanggil namaku? Aku mencari ke arah suara.
"Oh Nida, ada apa?" Tanyaku.
"Aku mau ngomong tentang Firman" jawabnya.
"Oke, kenapa Firman?" tanyaku.
"Ga enak ngomong di sini, ke sanggar seni aja yuk" ajak Nida. Aku mengiyakan, mengikuti Nida ke sanggar seni. Nida teman sekelasku juga. Yang aku tahu dia pernah satu sekolah dengan Firman ketika SMP. Di sanggar seni sedang kosong tidak ada orang lain selain aku dan Nida. Nida langsung ke poin utama untuk berbicara tentang Firman.
"Firman itu banyak mantannya" jelas Nida.
"Oh iya wkwkwk " aku kaget tapi geli, kok bisa yang menurutku menyebalkan banyak yang suka.
"Kamu suka sama Firman?" tanya Nida padaku.
"Oh ga" jawabku langsung tegas.
"Syukurlah, aku punya sahabat dari SMP namanya Lulu" jelas Nida.
"Terus? " tanggapanku.
"Lulu mantannya Firman, Lulu masih sayang banget sama Firman. Hubungan pacaran mereka ketika SMP memang terlalu dekat" penjelasan Nida menarik bagiku.
Sekilat cahaya terang menyinari otakku. Aku akan mencari cara untuk bisa putus dengan Firman. Oh aku bersemangat kali ini. Aku meminta bantuan Nida untuk memperlancar rencanaku, Nida memahami tentang aku yang terpaksa jadian dengan Firman.
Setelah mendengar bel berbunyi tanda masuk kelas kembali, akupun segera memasuki kelas. Kulihat Firman sudah berada di tempat duduknya. Aku tersenyum kala itu memikirkan akan segera berakhir hubungan dengan Firman. Firman melihat senyumanku untuk nya, dia membalas dengan senyuman. "Uwoo" mual langsung perutku.
"Kamu sakit" tanya Firman berbisik pelan.
"Ga pa pa " jawabku.
Firman memberikan surat kecil, isinya bertuliskan mengajak untuk janjian di Caffe dekat rumahku. Pikirku kesempatan, aku membalas "Oke" dalam surat kecil itu. Firman berseri-seri baginya ini pertama kali kita jalan bareng. Aku memberi tahu Nida untuk membawa Lulu ke Caffe itu juga. Tak lupa aku selalu bersama Rima sahabatku. Aku menceritakan tentang rencanaku pada Rima. Dan seperti biasanya Rima akan bilang,
"Astagfirullah, kamu jangan melukai hati orang lain" ucap Rima padaku.
"Aku tak melukai, aku hanya mempertemukan sepasang mantan kekasih, dan aku ingin melepaskan hubungan ribet ini." Jelasku membuat alasan.
Aku dan Rima sudah berada di Caffe lebih awal, aku memperhatikan dari musholla di Caffe tersebut. Nida dan Lulu sudang datang mereka duduk bersama, beberapa waktu kemudian Firman datang. Lulu dan Nida memulai aksinya.
"Firman" panggil Lulu melambaikan tangan. Firman melihat sekeliling seperti mencari seseorang. Lulu langsung berjalan ke arah Firman, dari belakang Lulu diikuti Nida. Sesaat akan sampai ke dekat Firman, Nida menyilangkan kakinya ke depan Lulu. Sehingga Lulu terjatuh tepat di depan Firman. Melihat kejadian itu Firman membantu Lulu untuk berdiri dan menggandengnya untuk duduk ke kursi. Aku dan Rima datang ketika Firman bergandengan dengan Lulu.
"Wow romantis sekali" ucapku pada Firman. Aku bisa menangkap wajah kaget dan pucat dari Firman.
"Ini bukan seperti yang kamu lihat Fatma " jelas Firman.
"Maaf aku anggap kita putus dari saat ini" ucapku pada Firman dan berlalu pergi dengan Rima.
Woah.. leganya hatiku lepas dari Firman. Rima mengingatkan aku kembali, Rima menjelaskan seperti nya Firman berharap lebih padaku. Tapi aku tak bisa melihat itu, bagiku kini sudah berakhir, bisa telah terlepas dari hubungan dengan Firman.
Aku dan Rima pulang ke rumah masing-masing. Tak lupa aku berterima kasih kepada Rima, telah menjadi sahabat yang paling mengerti kondisi aku. Baru saja depan pintu rumah, aku merasakan ada sesuatu yang tidak baik. Mobil sedang dinyalakan oleh Kaka sepupu, aku langsung buru-buru masuk rumah. Bibi memberitahu "Nenek jatuh dikamar mandi". Aku hanya bisa melihat nenek sudah tak sadarkan diri. Nenek langsung dilarikan ke Rumah Sakit.
***
Sudah dua pekan berlalu, nenek masih terbaring di RS. Dari penjelasan dokter nenek terkena struk, seluruh tubuhnya telah mati rasa. Hanya kedipan mata tanda komunikasi yang bisa dilakukan oleh Nenek. Air mataku tak bisa ku bendung, saat itu aku tidak berpikir dengan yang lainnya. Yang ada dalam pikiranku hanyalah kondisi Nenek.
Semua nasihat nenek datang menghampiri aku. Terutama tentang jangan pacaran. Di sekolah aku menjadi lebih pendiam tidak terlalu banyak berbicara, kegiatan OSIS masih aku ikuti. Setiap ada kesempatan untuk mengunjungi Nenek di RS, aku tidak melewatkannya.
Seperti Sabtu sore ini, aku mengunjungi Nenek di RS masih berpakaian seragam lengkap. Untung saja aku membawa jaket di dalam ranselku. Segera aku pakai jaket itu. Tiba di RS aku mendekati ranjang Nenek, aku berbisik padanya.
"Nek ini Fatma" ucapku pelan.
Nenek membuka matanya dan berkedip, tak lama disusul airmata nya menetes lembut. Aku mengusap air mata itu, aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya mampu memandangi wajah nenek terbaring kaku di ranjang Rumah Sakit ini. Nenek menutup kembali kelopak matanya. Aku mendampingi disampingnya. Suara alat-alat medis masuk dalam rekaman ingatan diriku. Membuatku seakan ingin memeluk erat Nenek,
"Bangun Nek,, aku berdegup kencang setiap mendengar detak-detak alat medis itu"
"Nek, aku rindu seribu dari kata Nenek"
Aku masih disamping Nenek, tetiba tangan hangat nenek bergerak perlahan,
"Fatma" lirih suara Nenek memanggil namaku. Disusul dengan airmata nya yang membasahi wajah Nenek.
Hanya ada aku dan Bibi saat Nenek tersadar, tangan bergerak dan perlahan berbicara. Nafas Nenek tersengal-sengal aku segera memanggil perawat, Bibi mendekati telinga Nenek. Membacakan kalimat tauhid, nenek mengikuti kalimat itu perlahan. Aku merasakan kedua kaki Nenek begitu dingin. Dan hanya sesaat saja Nenek memanggil namaku, Nenek menutupkan kembali kedua matanya dan beristirahat untuk selamanya.
Sore itu langit menangis, angin yang berhembus membuat semakin dingin jiwaku. Aku hancur, ini kali pertama bagiku ditinggalkan pergi untuk selamanya oleh orang yang begitu menyayangi diriku. Senyumnya, semua nasihatnya seakan berkeliling di depan kepalaku. Ingin rasanya ikut saja dengan Nenek,
"Nenek..."
jeritan hati menyeruak dalam jiwaku.
Bagiku Inilah waktu dimana perubahan datang begitu cepat, memaksa menerima kenyataan bahwa diri tak bisa bergantung pada sosok manusia. Aku yang merasa tenang karena ada Nenek yang perhatian. Seakan separuh kewarasan diriku menghilang,
"Fatma" seseorang menepuk pundakku.
Aku masih tertunduk menangis disamping jenazah Nenek, namun hatiku tergerak atas suaranya telah lama aku rindukan,
"Fatma ,,, "
Bersambung
Silakan tinggalkan komentar positif bagi penulis. Terimakasih