Bagiku Inilah waktu dimana perubahan datang begitu cepat, memaksa menerima kenyataan bahwa diri tak bisa bergantung pada sosok manusia. Selama ini aku yang merasa tenang karena ada Nenek yang perhatian. Karena ini pula aku terpuruk, dan ketika nenek tiada untuk selamanya, seakan separuh kewarasan diriku menghilang,
"Fatma" seseorang menepuk pundakku.
Aku masih tertunduk menangis disamping jenazah Nenek, namun hatiku tergerak atas suara yang memanggil namaku, suara itu telah lama aku rindukan,
"Fatma ,,, "
Akupun menoleh dengan mata yang sembab akibat tangisan yang tidak mudah aku hentikan,
"Ibu.. " tangisku pecah saat menyadari ibu disampingku. Aku langsung memeluknya erat. Menangis ditinggalkan oleh orang yang begitu berarti bagi aku dan ibu.
Pemakaman Nenek dihadiri oleh banyak orang, keluarga, kerabat dan semua yang begitu sayang kepada Nenek. Aku melihat jenazah Nenek sampai diturunkan ke liang lahat, tangisanku semakin tersedu-sedu. Tepat di depanku ibu jatuh pingsan. Bapak tiri segera membawanya pulang kembali. Aku masih bersama Bibi dan adik sepupuku.
Hari ke hari seakan tidak menentu, aku masih belum masuk ke sekolah. Rima datang mengunjungi aku sore ini, dia tidak banyak bicara hanya ada mendengarkan keluh kesah ku dan sesekali memberikan tanggapan. Entah berapa kali aku ceritakan kesedihanku karena ditinggal Nenek. Akupun bercerita bahwa ibuku hanya tinggal satu hari disini, esok harinya ibu pulang bersama Bapak tiri kembali. Tidak ada kata ajakan dari ibuku untukku, sudahlah aku juga sudah cukup merasakan kehidupan pahit ketika tinggal bersama ibu. Malam itu semakin larut, aku teringat kembali begitu banyak ratapan kesedihanku, ada yang membuatku tergelitik dengan ucapan Rima tadi sore,
"Jadilah yang terbaik, karena do'a anak shaleh itu yang akan membantu nenek"
Tubuhku telah lelah dan menutup mata untuk istirahat malam itu. Semoga dalam tidurku ini, menjadikan kekuatan untuk esok lebih baik.
Esok hari menyapa diri, aku berniat untuk memulai pergi ke sekolah. Aku lebih fokus untuk belajar. Sudah tidak ada hubungan sandiwara cinta, atau kalau yang lainnya bilang itu adalah pacaran. Perubahan diri mulai terjadi padaku, aku bilang ini memaksa diriku. Aku masih beranggapan tidak ada kaca "Cinta" yang tulus diantara manusia, buktinya setelah kematian Nenekku, aku masih ditinggalkan oleh kedua orang tuaku. Tidak ada diantara Ibu atau Ayah kandungku yang mengajakku untuk tinggal bersama.
***
---Satu tahun kemudian---
Tahun pun berganti, kini aku telah selesai mengikuti ujian Nasional sebagai akhir dari masa SMA. Aku mendapatkan berita yang mengoyakkan kembali hatiku,
"Fatma, hari Ahad nanti kita silaturahmi ke Panti asuhan di Garut" ucap Kakek.
"Iya Kek" jawabku.
Perjalanan kami ke Garut menuju panti asuhan, aku pikir seperti beberapa tahun yang lalu aku pernah mengunjungi panti asuhan ini bersama kakek dan Nenek. Ketika Nenek masih hidup, yang membawa mobil adalah pamanku. Kakek memulai perbincangan kami di mobil,
"Fatma, setelah lulus ujian sekolah nanti kamu akan tinggal di Panti asuhan yang akan kita kunjungi" jelas Kakek.
"Kenapa Kek ? kenapa paman ?" Aku bertanya pada Kakek dan paman yang seakan hanya memberikan keputusan dari salah satu pihak. Keputusan yang tidak melibatkan aku. Tapi siapa aku, di rumah paman yang aku tinggali statusku menumpang.
"Maafkan paman" ucap paman.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari Kakek dan Paman. Dari penjelasan mereka, aku memahami kondisi paman yang sejak meninggalnya Nenek, bisnis milik paman semakin turun omsetnya hingga diambang bangkrut tahun ini. Paman tidak sanggup untuk membiayai kuliah aku nanti.
"Aku bisa kuliah sambil bekerja paman" ucapaku tak ingin terpisah dari keluarga paman dan kakek.
"Sudahlah Fatma, Kakek sudah memutuskan kamu untuk tinggal di panti asuhan" tegas Kakek.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, disertai rasa sedih menghadapi kenyataan akan tinggal jauh. Senja bersinar dibalik punggung kami, di Panti asuhan aku dikenalkan dengan ibu asuh yang biasa dipanggil Ummi. Wajahku hanya datar saja, melihat kondisi sekeliling area panti asuhan ini. Kami menginap satu hari di sana, dan pulang keesokan harinya.
--- Perpisahan sekolah ---
"Waktu terasa semakin berlalu, tinggalkan cerita tentang kita... " Penggalan sebuah lagu dari band ternama yang dibawakan oleh temanku, membuat sendu dan tidak terasa air mata jatuh mengalir. Semua perasaan kalut saat itu campur baur, kenangan Nenekku. Dan kenyataan di masa depan yang belum bisa aku terima, yaitu ditinggalkan di panti asuhan. Aku bertanya pada diri sendiri,
"Salah aku apa? Terlahir dari keluarga yang tidak utuh, Nenek telah pergi untuk selamanya, sebentar lagi akan di panti asuhan. Apa Kakek membuangku ? Apa paman tidak mau dimengurusi aku lagi? "
Pertanyaan yang menari-nari di isi kepalaku sendiri, hanya aku yang mendengar dan aku sendiri yang menjawabnya. Tapi aku juga melihat dengan jelas, kondisi paman yang sedang diuji dengan kekurangan ekonomi, kakak sepupu bekerja sambil kuliah. Bibi yang membanting tulang untuk biaya sekolah adik sepupu. Paman masih berusaha untuk menaikkan kembali kesejahteraan ekonomi keluarganya. Kakek yang berkeliling teman-teman untuk memijat refleksi serta membawa kerupuk, madu dan borondong untuk dijajakan sebagai barang dagangan.
Aku tidak menuntut untuk tetap bersama keluarga paman. Aku tidak tahu harus menuntut keadilan kepada siapa? Aku yang ingin dirawat dan diasuh sebagai anak manusia. Terkadang aku juga ingin bertanya, apakah ayah dan ibuku pernah merasakan rindu kehadiran anaknya?
"Fatma, yeah ngelamun lagi" Rima menyadarkan aku dari pertanyaan yang sulit aku jawab sendiri.
"Aku mau cerita" ucap Rima.
Aku dan Rima masih diantara banyaknya rekan-rekan yang sedang merayakan kelulusan. Pentas Seni di perpisahan sekolah adalah memang yang paling berkesan bagi kami yang akan meninggalkan bangku SMA. Tempat duduk aku dan Rima memang sedikit agak jauh dari depan panggung, sehingga apa yang aku dan Rima bicarakan masih nyaman, tidak terganggu oleh suara musik yang keras.
"Oke aku siap mendengarkan" jawabku.
"Aku akan pindah rumah ke kampung halaman di Tasik" tutur Rima.
"Ibuku sudah tidak sanggup dengan biaya hidup di kota ini" sambungnya lagi.
Aku memeluk erat Rima, sahabat terbaik untukku. Akupun bercerita bahwa aku akan tinggal di panti asuhan. Hari ini aku dan Rima saling memberikan semangat, bahwa apapun yang terjadi, lakukan yang terbaik karena hidup tetap harus dijalani. Meskipun aku masih merasakan hanya menjalani hidup saja seperti air mengalir. Hari itu di perpisahan sekolah adalah hari terakhir aku bertemu dengan Rima.
-Lamunan kenangan masa lalu berhenti -
"Fatma" seseorang memanggil namaku dari bawah batu karang.
Disusul suara ombak menghantam karang, "Byuurrrrr ... " Aku menyadari diri ini telah kembali dari lamunanku. Tersadarkan dengan sosok wanita yang memanggil namaku.
"Iya Ummi" tunggu sebentar jawabku pada Ummi.
Segera aku memasukkan surat yang sedari tadi aku pegang kedalam ransel milikku. Ummi adalah seorang wanita penyayang, dia mengasuh aku ketika aku dimasukkan ke panti asuhan satu tahun lalu.
Bersambung
Silahkan tinggalkan komentar positif bagi penulis. Terimakasih