Bab 7 [Kubangan Nestapa]

Allah ke mana aku melangkah? Aku tak tahu harus bagaimana lagi? Apa yang harus aku lakukan? Apa sebenarnya Engkau ada? Kenapa nasib aku macam ini? Kenapa harus terjadi pada diriku? Apa kurangku? Apa yang salah pada diriku? Aku enggak mau hidup. Aku capek banget kayak gini.

Aku pulang ke rumah dengan mata sembab, bengkaknya dua kali lipat dan aku mau tidur aja. Tak kuhiraukan sama sekali Mama yang melihatku. Bahkan menyapa pun enggan. Sedihku berhamburan di depan mataku. Gelap, tanpa ada tanda kehidupan. Tatapanku kosong, menatap nanar isi dunia ini. Tiada kehanganan sedikit pun, melainkan ruang dingin yang membeku. Ini yang dinamakan putus asa. Harapanku lindap ditelan kebisuan, tanpa aba-aba.

"Hah, kenapa kau La?" tanya Mama peduli.

Aku enggak mau cerita lagi, toh ujung-ujungnya juga sama. Cek-cok yang membuat tetangga pada tahu semua. Entar malah bikin hati Mama malu lagi. Hati aku sakit banget enggak ketulungan. Kalau aku tidur, aku enggak akan merasakan rasa sakit ini semua. Rasa benci semua orang dan perlakuan orang lain padaku. Termasuk kisah cintaku yang menyayat hati. Aku enggak bisa nyiksa diriku sendiri, menyaksikan orang yang aku cintai bersama dengan orang yang ia cintai. Jika aku tidak ada lagi di dunia, apa yang terjadi ya? Mungkin enggak akan menjadi beban untuk kedua orang tuaku.

Cinta telah tiada, semangat telah pergi, dan aku tak tau harus apa. Cintaku benar-benar tiada saat aku bertemu secara orang yang kukagumi diam-diam. Menyakitkan, saat orang yang aku cintai bersama dengan orang yang ia cintai di depan mataku. Lalu ke mana kaki rapuhku harus melangkah? Paket double yang membuatku layak menghilang.

Kini aku pun sebagai bangkai yang berjalan. Baunya membusuk dan orang-orang menatapku penuh dengan kebencian. Aku memutuskan untuk tidur panjang aja dengan kondisi diri acak-acakan masih menggunakan busana kuliah. Pokoknya aku mau mengakhiri hidupku. Aku enggak mau hidup lagi dunia ini. Aku enggak tau gimana caranya mengakhiri hidup. Hal yang jelas bunuh diri itu hanya membuatku tidak diterima di surga maupun di neraka. Aku mau tidur saja, berharap semoga aku tidak akan bangun lagi dari tidurku.

**

Aku masih terbangun ternyata, enggak tau kenapa. Padahal aku enggak mau bangkit lagi. Tubuhku memang terasa berat, tapi otakku masih berfungsi. Hatiku saja yang hancur. Sudah dipenyet, digeprek lagi. Kenapa sih aku harus hidup? Kenapa ragaku enggak langsung terlepas saja dari tubuhku ini? Apa maksudunya? Kenapa aku begini? Apa jangan-jangan ada hal yang harus aku selesaikan?

Aku sudah menyerah dan merasa tidak sanggup lagi melanjutkan hidup yang pahit ini. Sayangnya aku masih bernapas dan masih bisa berpikir pun juga. Entahlah, entah apa yang terjadi. Aku bangun dari tidur setelah tertidur enam belas jam lamanya. Durasi terlama yang pernah aku tahu. Eh, iya ya. Kan aku enggak mau bangun lagi. Cemanalah, aku sudah bangun sekarang kemudian berjalan dari kamar yang serba berantakan ini. Ruangan sudah singkron seperti hatiku. Sama-sama berantakan.

"Kau kenapa Kila?" tanya Bang Kiki ketika melihat diriku yang semrawutan. "Kayak enggak bernyawa gitu."

"Emang." Urat maluku jelas sudah putus saat ini. Aku enggak peduli dengan penilaian orang lain terhadap diriku. "Bang ada duit nggak?" Lagipula dia juga sudah kerja dan berkeluarga.

"Enggak ada aku La, untuk apa kau rupanya?" tanyanya sensi berasa ditagih utang.

"Untuk ongkosloh." Enggak pun banyak kali, kalau dia mau ngasih aku goceng syukur kali. "Yaudahlah enggak apa-apa." Pelit banget sih, bahkan keluarga sendiri enggak ada yang bisa kumintai tolong.

"Kau siapin itu kuliah kau jangan lama-lama."

Yah aku pun juga enggak mau dapat gelar Mahasiswa Abadi di Unimed. Kenapa sih kebanyakan orang selalu nyuruh atau nuntut ini itu sama aku dan malah ngebuat aku semakin galau kalau ditanya kapan lulus? Kasih duit kek untuk jalan atau ngeprint. Mahasiswa kadaluarsa kayak aku ini butuh doa dan duit supaya bisa tamat. Aku enggak tau harus apa, tapi yang jelas aku hanya bisa nulis dan menuliskan cerita di persaingan para novelis itu banyak. Bahkan aku pun enggak punya pembaca yang benar-benar menunggu tulisanku, selain aku sendiri.

Jujur, aku masih enggak tau harus apa. Bangun iya, tapi dengan kondisi seperti ini. Itu berarti tugasku di dunia belum selesai. Sedangkan uang jalan ke kampus juga engggak ada. Aku enggak tau harus apa, tapi aku masih punya kemampuan untuk menulis. Hm, menulis di blog akhir-akhir ini sepertinya menjanjikan. Hanya saja, mau sampai kapan kalau penghasilannya hanya satu rupiah seiring berjalannya waktu?

"Dahlah hatiku payah pun," ucapku pada diri dan melihat jejeran rak buku yang masih terpajang berdebu dalam lemari. Barangkali akan aku temukan impianku yang dulu di sana. Sebuah rekam jejak akan harapan yang ingin aku wujudkan dalam hidup. Meski saat ini enggak semangat sekalipun. Barangkali ada semangat tersisa yang masih bisa kubawa.

Aku memberanikan diri membaca Al-Quran dan melihat artinya. Biasanya hanya membaca tanpa mentadaburi apa yang terkandung di dalamnya. Sekedar absen begitu saja. Tanpa sengaja menemukan sebuah ayat yang membuat diriku terenyuh seketika. Sakit, tapi tidak tergambarkan rasanya bagaimana.

Entah kenapa dari sejuta kalimat. Ayat inilah yang kudapatkan. Apa maksudnya? Apa benar Allah ingin menunjukkan sesuatu padaku.

Dia (Ibrahim), berkata, "Tidak yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang yang sesat." Q.S Al Hijr ayat 56.

Kelopak mataku lantas langsung menggenang, masih merembeskan hujan serupa dengan rasa sedihku yang tadi. Berarti selama ini aku sudah tersesat? Aku bahkan telah berputus asa dari rahmat-Nya, merasa enggak yakin kalau Dia itu ada.

Aku harusnya enggak begini, aku harusnya enggak bilang kalau Allah enggak sayang sama aku. Cukup Mama dan orang sekitar yang membenci aku, tapi jangan Allah. Kalau Allah benci sama aku juga, aku bisa apa? Aku mengambil selembar kertas dan menumpahkan segala keluh kesahku lagi. Tentang payahnya diriku dan berusaha menjadi lebih baik lagi. Berhenti pada sebuah titik yang mendorongku menuliskan ini.

Ya Allah, kalau seandainya aku enggak bisa membawa diriku lagi ke jalan-Mu. Kirimkanlah seseorang yang mampu membawaku lagi menuju jalan-Mu.

Ya, aku enggak bisa begini terus. Nestapa selama berbulan-bulan baru bisa bangkit lagi. Aku harap akan ada orang yang membantuku kembali di posisi terbaikku, siapa pun itu. Tidak masalah bagiku. Hal yang terpenting aku enggak putus dari rahmat-Nya lagi. 

Bersambung