Bab 5 [Jangan Benci]

Dari sekian juta keindahan, kenapa yang kubenci adalah kedua orang tuaku? Bukankah mereka telah berjasa membawaku ke dunia ini, mengenal dunia bahwa hidup sepahit ini? Seharusnya aku bersyukur bukan? Hanya saja, pada sebuah momen tertentu ada sebuah hal yang membuat aku bingung. Bagiku, aku tidak disayang.

"Hei, aku aja benci sama kau. Enggak usah cari pekara pada aku ya, dari semua kawan-kawan kau yang pernah datang ke sini. Ya aku benci sama kau." Mama mengucapkan itu dengan nada penekanan paling tegas padaku.

Bagiku, itu adalah kalimat penyayat yang pernah aku terima dalam hidupku selain ditinggal begitu saja tanpa kata oleh Bapak bertahun-tahun silam. Apa salahku? Aku memang bodoh kan? Enggak tau dirikan? Penyusahkan? Enggak berguna kan? Kerjaanya ngabisin beras kan?

"Kila, enggak ada orang tua yang enggak sayang sama orang tuanya. Dia sayang itu sama kau, cuma caranya aja yang berbeda."

Air mataku mengalir deras, sendirian di kamar menimbang nasihat orang lain tentang Mama padaku. Apa yang kurang dari aku selama ini? Mama bahkan enggak pernah bilang aku cantik. Padahal aku ingin juga dibilang cantik, sekali aja dalam hidupku.

Percuma aja aku berusaha menjadi baik, dibilang baik, otak encer sama kawan-kawanku. Toh, enggak dianggap apa-apa sama Mamaku sendiri. Bukankah aku hidup bersama Mamaku? Bukan sama kawan-kawanku? Bahkan Ibu-ibu tetangga pun banyak yang suka sama aku. Aku enggak tau kalau Mama enggak bangga punya anak kayak aku. Apa karena fisikku enggak secantik tetangga sebelah ya?

"Kau tengok itu si Wulan, dia udah cantik, rajin bersihin rumah, pinter lagi."

Heish, sadar-sadar. Mungkin benar apa yang dibilang Mama samaku, aku enggak boleh kepedean jadi orang. Kebanyakan belajar enggak ngebuat aku disayang sama Mamaku. Harus sadar diri kalau aku itu pendek, jelek, dan enggak punya apa-apa. Satu lagi, aku ini bodoh dan mudah ditoko-tokoin sama orang.

"Ma, doain aku napa revisi hari ini," ucapku sebelum pergi ke kampus pagi ini. Berusaha meminta restu walaupun hati aku udah nyesnya entah kayak mana.

"Kau? Minta doa sama aku? Kau doa sendirilah? Jangan salahkan ibu mengandung."

Satu tetes air mataku mencelos lagi enggak karuan, tangisanku semakin menjadi dan aku butuh ruang untuk menyisi. Kamar dan hanya sebuah buku yang enggak pernah marah kalau aku cerita apa aja. Maka kuambil buku agendaku saat ini. Kutumpahkan semua isi hatiku yang tidak akan pernah didengarkan ini.

22 Januari 2020

Astaghfirullah, apa yang terjadi denganku?

Aku tau keberuntungan tidak selalu hadir menghampiriku. Aku tau doa ibuku tidak menyertaiku jika melakukan sesuatu. Aku tak bisa menuntut layaknya doa mustajab ibu-ibu yang lain. Yang namanya selalu hadir dalam doa.

Aku tak bisa menuntut itu semua padanya. Ketika tahu itu adalah sebuah kelemahan bagiku. Yang aku tahu aku tak boleh berhenti mendoakan diriku dan sekitarku. Meskipun aku belum yakin doaku akan terkabul meski telah banyak kali aku merayu. Aku tak boleh menyerah atas rasa kepercayaan dan keyakinan.

Sebab aku yakin bahwa kebahagiaan ini tidak akan tertukar dengan yang lain.

Hari ini aku enggak jadi ke kampuslah. Aku mau tidur aja, aku enggak ngerti cara keluar dari ini semua. Mungkin kalau aku tidur, aku bisa melupakan semuanya. Semua rasa sakit yang menghadang dan ingatan akan tadi. Nyatanya, setelah aku bangun. Masalah itu masih tetap ada dan aku semakin bingung harus apa. Namun ya sudahlah.

***

Laboratorium Fisika baru di Universitas Negeri Medan terdiri dari empat lantai dan didesain dengan konsep modern. Warna putih yang merupakan warna polikromatik ini selalu punya cara dalam memancarkan beragam keindahan yang terpancar. Termasuk suasana sejuk, nyaman, dan tenang.

Pada bagian pintu masuk setelah kaca transparan, disediakan bangku cokelat panjang, dan aku sedang duduk membawa revisi hari. Aku pakai kerudung hitam dan ransel hitam, sembari bersiap-siap menghampiri dosenku kali ini. Sudah sampai enam bulan, enggak dikunjung acc. Malah revisian berat banget bagiku. Sudah banyak cara aku lakukan. Sampai mempelajari ilmu pengkodean segala, nyatanya masih tetap nihil. Aku enggak mengerti di kala perekonomian semakin miris begini. Untung masih ada ongkos datang kemari.

"Dek, dek, mau ke mana?" tanyaku kepada dua orang mahasiswi yang akan hendak masuk ke ruang dosen.

"Mau jumpai Ibu kak."

"Ikut," jawabku cepat karena kupikir akan sekalian aja. Lagipula adik itu merupakan orang yang pintar dan berprestasi di kampus ini. Mungkin revisian sama dia, bakalan selamat.

Kami bertiga dipersilakan masuk dan ibu mulai merevisi hasil perbaikan kami. Emang benar, ibu aman-aman saja merevisi dua orang itu.

"Nah, sekarang giliran kau ya Kila. Lainnya boleh pergi."

Hah, aku jadi sendiri nih? Batinku kaget setengah mati setelah disisikan dari yang lain. Aduh, gimana ini?

"Jadi, revisinya ini itu gini-gini. Ngapain coba ya kan cepat-cepat tamat, tapi enggak tau apa-apa," ucap Ibu lembut dan aku mengiyakan apa yang ia ucapkan. Kemudian mencoret beberapa bagian yang menurutnya perlu diluruskan.

Aku yakin sekali kalau Ibu enggak akan mengomentari aku dengan typo atau tanda baca lainnya karena aku merupakan seorang penulis yang detail kalau nulis. Apalagi cara penulisan yang benar. Aku mulai mempelajari itu ketika berada di tingkat dua perkuliahan. Kini sudah tingkat empat, ya lebih setahunlah. Jadi kalau skill nulis, lumayan jugalah.

"Jadi, nanti kau tunjukkanlah media sama ibu yang paling bagus itu."

Hah? Habislah aku. Ibu mintanya itu pula itu. Otakku sudah tercecer entah ke mana dan aku hanya bisa berpasrah kali ini. Belum diacc juga ya. Aku bingung sekali, teman-temanku juga sudah pada wisuda. Enggak ada yang bisa aku lakukan selain menurut. Ibu itu merupakan pengujiku dan ujiannya emang berat banget deh. Baiklah kalau begitu, aku segera mengemas barang setelah revisian menuju makan siang kali ini.

Aku mau solat dululah sebelum pulang nanti di fakultas. Tempat solatnya lebih lapang dan nyaman. Jadi, dengan langkah pasti aku keluar dari pintu ruangan dosen.

"Kak, gimana?" tanya adik stambukku tadi yang selesai revisi.

Aku hanya bisa menggeleng tanpa kata apapun mengenai perkembangan skripsi ini.

"Kakak kayaknya harus bilang ke pembimbing Kakak karena kakak sudah lama kali juga revisinya. Nanti kasian juga kampus kita, mempengaruhi akreditasi kalau tamatnya lama," sarannya benar.

Itu berarti aku harus bimbingan lagi nanti. Kalau begitu nanti siang aja setelah makan siang. Hm, susah banget ya mau tamat? Aku juga enggak tau ketemunya sama penguji yang dibilang sama orang melewatinya enggak mudah. Padahal aku ketemunya sama pembimbing yang baik banget. Masih muda pun dan terkesan memberikan motivasi daripada yang tegas banget seperti Mamaku. Mentalku saja ciut ketemu Mamaku dan ini malah membuatku semakin ciut. Gelap tanpa ada tanda-tanda kehidupan. 

Bersambung