Aku membuka pesan grub Challenge Puisi sore ini. Tema yang diberikan adalah cinta. Aku tidak mengerti, biasanya tema ini akan selalu muncul begitu saja. Namun kali ini beda, otakku bahkan tidak bisa diajak lobi-lobi menggali ingatan tentang cinta. Hambar rasanya karena momennya enggak pas. Aku tidak sedang jatuh cinta, apalagi patah hati. Sulit.
Hanya saja, ada sebuah ingatan yang ingin aku ceritakan pada kalian. Bagaimana kiranya aku bisa berada di posisi seperti ini. Bahkan kalian mungkin tidak akan percaya padaku. Inilah perjalanannku, sesuatu yang hanya sekedar kutulis dan ternyata menjadi kenyataan.
*
Sebuah pintu kaca transparan dari Alfamart kudorong perlahan. Harap-harap menyelesaikan sebuah mandat dari seseorang pekara amanah yang berat sebenarnya. Aku pun tak tahu, tapi yang jelas intuisiku mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang membutuhkanku.
"Mbak bisa pembayaran kan?" tanyaku kepada penjaga kasir berseragam merah yang berkerudung hitam melilitkannya hingga ke leher.
Mbak penjaga kasir tak banyak bicara. Ia mengetikkan nomor yang kusebutkan dan segera mentransfer sejumlah nominal ke dalam akun pembayaranku. Semenjak mengerti caranya mempermudah urusan. Kadangkala ada orang yang menemukanku dalam mempermudah urusan mereka dan inilah saatnya, meskipun daya bateraiku tidaklah banyak. Sebisanya aku mempercepat urusan lewat udara ini.
Capek, itu sudah fisikku kali ini. Namun semangatku tidak. Aku keluar dari Alfamart dan duduk sebentar di jok kereta memeriksa pesan yang masuk. "Tumben pada ribut kelas. Palingan ada sebuah lelucon akan sesuatu." Hanya saja, jempolku penasaran dan akhirnya membuka pesan grub tersebut.
Satu tetes air mataku tumpah. Tidak, bukan hanya satu tetes, tetapi derasnya seperti hujan sembari mengigaukan sebuah nama. Nama yang serupa dengan pintu gerbangku. "Reyfan udah enggak ada. Reyfan ...." Hidungku merah akibat air mata yang tak tertahankan. "Ini enggak mungkin. Ini semua bohong kan? Sepertinya baru kemarin aku teringat Reyfan yang ini. Re ..," rintihku tertunduk sesenggukkan di sepeda motor.
Aku segera pulang melajukan sepeda motor beat putih. Perlahan-lahan air mata itu menyatu dengan pipi. Ini bukan badai yang terlalu besar bagi diriku, mengingat aku memang tidak memiliki hubungan apapun dengan Reyfan. Namun sosok itulah yang pernah menjadi alasanku untuk tetap menjadi cahaya walau dalam gelap sekalipun.
"Ma ..."
"Apa Kil?"
"Reyfan Ma, Muhammad Reyfan Saputra. Dia udah enggak ada. Mama ingat enggak dia dulu tuh baik banget samaku pas jamannya kuliah?"
"Hah, kau kan jarang manggil dia Reyfan. Biasanya juga manggil dia Putra. Sakit apa dia?"
"Yah enggak tau. Ini aja nanti mau ke sana setelah mengajar nanti. Re udah enggak ada Ma ..." Aku masih terus mengigaukan nama itu. Sebuah nama yang baru terpikir olehku bahwa nama itu begitu familiar di benakku.
"Udahlah kok nangisnya kenceng gitu sih," tegur Mama bingung melihat raut wajahku yang sembab. Tersapu hujan deras yang memilukan. Namun pada akhirnya aku pun menyadari inilah takdir antara aku dengan yang namanya Reyfan. Entah takdir mana yang menghubungkanku dengannya. Namun yang aku tahu bahwa inilah ketetapan Maha Kuasa. Tidak bisa diganggu gugat akan skenario yang sudah tertulis di Lauhul Mahfuz.
Hah, yang benar La? Kau enggak bohong kan?-Lia
Masa iya aku bohong. Kupikir dirimu udah tau tentang Reyfan.-Kila
Aku enggak masuk di grub La.-Lia
Aku nanti ke sana, tapi setelah ngajar Mbak.-Kila
Samakulah, aku enggak berani kalau sendirian-Lia
Aku menepuk jidat setelah menyadari bagaimana sahabatku yang satu ini. Lupa kalau kami sudah enggak bersama lagi semenjak tiga tahuh yang silam. Rentang waktu selama itu sungguh tidaklah terasa bagiku. Rasanya seperti masih kemarin saja kami itu merupakan mahasiswa baru di Universitas Negeri Medan. Kini masih menyandang mahasiswa sih. Mahasiswa terlama di antara mahasiswa yang lainnya. Setelah berada semester terakhir. Barulah menyadari bahwa hidup ini begitu keras. Bahkan kawan pun belum bisa menyelamatkan. Ya, takdir itu sendiri-sendiri.
"Kak ...." Aku langsung pergi ke kelas tetangga setelah memberikan pelajaran rutin kepada siswaku. Mereka sudah aman terkendali dengan tugas yang telah kuberikan.
"Apa La?" Tifani, rekan kerjaku segera merespon. Ia melihat semburat kesedihan yang belum usai di wajahku. "Sini cerita. Ada yang bisa dibantu?"
"Temanku meninggal dunia."
"Innalillahi wainna ilahi rajiun. Yaudah Kak, nanti anak-anak aku yang handle."
"Ya enggak gitu Mbak. Roker aja, agama di tempat Kakak jam pertama. Nah, pada jam terakhir itu nanti masuk ke tempatku. Nanti biar sama-sama enak. Gimana Kak?" Lima belas menit lagi, pergantian pelajaran dimulai. Aku juga enggak bisa menghilangkan tanggung jawabku dalam mengajar kali ini. Meskipun nuansanya menuju akhir pekan sekali pun. Aku tak bisa kabur begitu saja. Bukan, bukan aku tidak peduli sama sekali. Namun tanggung jawab itu tidak boleh diabaikan. Kalau boleh enak sama enak kenapa enggak? Meski sedihku belumlah hilang sekalipun. Aku harus tetap tegar. Bukankah Allah menjanjikan surga apabila kita bersabar? Ya, tubuh Reyfan mungkin tidak ada. Namun pesan darinya selalu tetap hidup di dalam jiwaku.
Aku sampai di kosannya Lia. Ia sudah bersiap-siap sejak tadi. "Mbak, Reyfan udah enggak ada." Ah, kalimat itu terus yang selalu kuucapkan dari tadi. Entahlah, rasanya ya sudahlah.
"Ya, jadi mau apalagi Mbak. Namanya juga sudah berlalu. Terima ajalah."
"Heish, bukan begitu. Seingatku dirimu yang memiliki kedekatan lebih dalam dengan dirinya," ucapku mengingatkan kenangan lama akan tingkah mereka berdua yang lumayan membuat tawa beberapa teman lainnya. Reyfan yang hanya sekadar bercanda menggoda Lia dan Lianya yang kadang geram sendiri. Sedangkan aku? Dekat, sempat pernah. Namun karena suatu hal jadinya enggak dekat lagi. Hanyalah teman biasa seperti yang lainnya. Hei, lagipula di sebuah hubungan pertemanan itu pasti semuanya sama. Hanya saja, palingan kalau dekat banget istilah menjadi sahabat. Teman paling dekat. "Yaudahlah yok. Segera cuz kita ke sana."
"Tapi dia sudah dikebumikan."
"Terus? Masa enggak datang sih. Momennya juga masih berduka. Keluarganya juga butuh dikuatkan. Masih ada kita sebagai teman dekatnya mendiang. Ngapain harus malu," ucapku blak-blakkan. Lagi pula, selama masih pakai baju enggak usah malu. Mau situasi apapun. Ego? Rentaslah situ. Paket jaim para kebanyakan wanita.
"Yaudah yok."
Kami segera mempersiapkan apa yang perlu dibawakan saat datang ke tempat duka. Yah, walaupun enggak banyak, senggaknya seadanya dan semampunya pun jadi. Kulajukan sepeda motor yang kusebut Graha ini menuju tempat itu. Basement-nya para Fisika Dik-B dulunya dalam bereksperimen tugas mini riset. Tugas KKNI yang lumayan membuat hati ketar-ketir mengeluarkan isi dompet dan tenaga.
Apa kalian tahu ini kisah siapa? Tenang, ini bukan sebuah kisah flashback biografi akan seseorang. Melainkan sebuah keterkaitan satu sama lain yang aku sendiri saja tak bisa berkata-kata. Namun yang jelas, balik lagi ke topik utamanya. Skenario-Nya jauh lebih indah daripada perencanaan manusia itu sendiri.
Bersambung