Bab 8 [Validasi Yes]

Saat yang kau tatap adalah rembulan.
Saat itulah seberkas sinarnya mentari memantul dengan sempurna bersebab rembulan berhasil memposisikan dirinya dengan sempurna garis yang sudah ditentukan.


aku tak tahu bagaimana caranya untuk memberanikan diri bisa mendatangi para dosen yang ingin dituju. selain takut ditolak, aku takut malu. Cemen dan enggak bisa diajak perang mental. Ujung-ujung juga diri ini yang menangis di pojokan dinding.

"Mba Fara doain Kila ya supaya bisa divalidasi sama dosen yang satu ini," ucapku pada sahabat dekat ketika aku di rumahnya. Ia masih dalam mode santai mengerjakan tugas akhirnya juga. Enggak ada tempat lapak nyaman lagi selain di rumah dia sebelum ke kampus. Daripada ngalur-ngidur enggak jelas di kampus. Mending tempat dia. Bisa mempertahankan daya gawai untuk tetap hidup. Apalagi para dosen harus wajib sigap kan. Yah, walaupun enggak secepat kilat. Minimal jadilah, tidak memperlama waktu.

"Jadi gimana?"

Masih menunggu jawaban, harap-harap pesanku akan dijawab dengan segera. Lagi pula kalau disuruh datang ke rumahnya aku juga bersedia. "Masih menunggu nih Mbak."

Kedua bola mataku membulat seketika ketika mendapatkan jawaban untuk mengirimkan dokumenku melalui e-mail.

"Yes, asyik." Akhirnya setelah beberapa purnama. Ada juga dosen yang bersedia menjadi dosen validasiku. Hal yang lebih menariknya lagi adalah bisa secara daring juga ternyata dan enggak perlu repot-repot untuk datang. Secepatnya, segera kubuka laptop dan mengirimkannya kepada Bapak yang bersedia memvalidasikannya.

"Kenapa Kil? Tadi mukanya berkerut ala nenek. Sekarang udah girang aja macam dapat rezeki nomplok." Fara menggoda sebisanya. Dia jarang mau bercanda. Ketemu diriku yang jarang becanda juga. Hasilnya garing-garing kriuk serius.

Heheh, ini namanya juga rezeki. Ada kemajuan progress daripada tidak sama sekali. "Makasih ya udah mau bantu doain."

"Biasa aja, lagian aku juga enggak ngebantu sama sekali kok."

Dosen yang satu ini merupakan penulis buku sama sepertiku. Bedanya, aku penulis fiksi, sedangkan dosenku merupakan penulis nonfiksi. sementara menyanggupi dua-duanya adalah jalan ninja menjadi penulis apa saja. PALUGADA, ya apa lu mau gua ada. Namanya juga penulis, jadi harus siap siaga dibawa ke mana aja. Termasuk keliling dunia dengan tulisan. Itu mah idaman di hati. Semoga suatu hari nanti. Aamiin ya rabbal alamiin.

Tenanglah, bab ini bertopik tentang validasi. Namanya Pak Sani. Seorang penulis dosen Fisika di Universitas Negeri Medan. Meskipun tulisanku belumlah sepadan dengan penulis lainnya. Setidaknya aku telah berani menuliskan rekam jejak satu ini. Sebuah skenario jalan panjang sebenarnya dan bisa saja dipersingkat. Tergantung dengan konteks di hati.

Menulis lama-lama tak baik, sebab semakin lama akan semakin bosan. Menulis cepat-cepat pun juga tak baik karena feeling bisa saja tidak tepat. Jadi, yang benar mana dong? Tergantung penulisnya bisa diapain bagaimana. Kalau aku sendiri sih, memilih menaikkan mood dengan yang lain. Istilahnya mencari lapak inspirasi. Kalau sudah ketemu inspirasi ya langsung sikat dan tidak perlu menunggu waktu yang kedua kalinya. Sebab ide itu bisa hilang kapan saja. Jadi, ketika ketemu langsung tancap gas aja.

Saat yang kutemukan adalah ketenangan. Saat itulah aku mulai berpikir ulang. Pekara waktu yang nyata dan pekara waktu yang belum pasti. Termasuk pekara hal menunggu. Skenario perjalanan menyusun skripsi ini pun juga begitu. Aku masih menunggu balasan dari Bapak. Seminggu setelah kukirim, Bapak membalasnya dan soalku diterima. Kini tinggal giliranku untuk menentukan validasi yang lain. "Kalau begitu aku bimbingan lagilah." Bimbang, itu yang sedang kurasakan. "Dahlah, aku tanya aja sama teman lainnya yang sudah pernah melewatinya."

"Kil, sama Bapak ini aja, rumahnya dekat dari kampus."

Aku berpikir ulang, bagaimana ritmenya perjalanan. Ya, akan kucoba bagaimana rekomendasi mereka bisa bekerja padaku. Kuhubungi dengan tenang kala sore waktu itu sebelum memberanikan diri esoknya bisa bertemu dengan dosen validasi yang kedua.

Aku lakukan hal itu, setelah menyelesaikan dan diacc oleh dosen yang pertama. Sehingga urutannya membuatku kuat dalam melangkah. Meskipun komunikasi jarak jauh sering membuat kebingungan apa maunya. Setidaknya, bila pun ditolak tidak semanyakitkan ditolak secara langsung. Ya, kalau aku tahu pada waktu itu ditolak secara daring tidak terlalu menyakitkan. Lebih baik pilih itu saja, supaya bisa bangkit lebih cepat.

Malam, sunyi nuansanya. Ramai bila kupandang cahaya yang terpendar melalui bias pemandangan malam hari. Bahkan cahaya penerang jalanan pun kalah. Apabila sinarnya rembulan tengah memasuki ruang sepi yang tidak lagi kesepian. Bertaburan bintang? Hei, sangat langka ditemukan fenomena hal itu. Bila tidak berada di dataran tinggi. Kalau ada pun satu dua. Itu pun bintang yang paling terang. Hah, kejora. Mereka sering mengatakan hal itu. Saking kesepiannya. Bintang kejora sering dipanggil-panggil. Bahkan dalam lirik albumnya Lesti.

Esok adalah hasilnya. Aku akan menemui dosen validasi kedua yang akhirnya bersebab rekomendasi teman lainnya bisa diterima. Semoga hari esok adalah hari yang paling nyaman dalam mendamaikan hati lara.

***
Rumah berpagar jingga tingkat dua itu mempesona. Apalagi ada halaman luas yang tertata rapi di sekeliling. Estetik, sederhana itu adalah konsep rumah yang kudatangi saat ini. Ya, itu adalah rumah dosen yang bersedia memvalidasikan pekerjaan penelitianku. Aku sendirian, sebab ruang tanggung jawabku sungguh merajalela. Bahkan tak bisa kong kali kong ditemani oleh teman yang lain. Bukan tak punya kawan. Hanya saja, segan meminta waktu berharga mereka hanya untuk menemaniku belaka.

"Jadi, ini coba dulu dipikirkan sama tingkat kognitifnya siswa. Sepertinya ini terlalu jauh untuk mereka. Ini Bapak tandai ya yang kira-kira terlalu jauh." Bapak melingkari nomor soal yang menurutnya harus direvisi.

Aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan ucapannya. Sembari memperhatikan apa-apa saja yang perlu diperbaiki.

"Jadi, ini pernah divalidasi belom?

"Sudah Pak." Kujelaskan sekalian alur ceritaku kepada Bapak. Hingga pada akhirnya, ia berpikir untuk mengiyakannya dan aku mendapatkan tanda-tangan hasil revisi.

Alhamdulillah ....
Sekarang giliran validasi media yang belum kuajukan. Cepat penelitian, itu harapannya. Lagian, dalam teori perkembangan. Validasi ini juga termasuk dalam penelitian.

Hanya saja, entah kenapa. Sore itu, di waktu yang paling tenang padahal. Nyatanya, waktu yang paling menentukan masa depanku.

Kil, kalau butuhnya cepat cari dosen lain aja. [Bu Dewi]

Aku tak dapat menerjemahkan bagaimana cara pengucapannya padaku seandainya itu diucapkan secara langsung. Seharusnya aku mampu menunggu, tapi mengapa kesabarannku lindap?

Situasikah ataukah hanya pekara ketidaksabaran yang merajai? Kil, apabila kau temukan sesuatu yang menjanjikan. Tunggulah sampai batas waktu itu datang. Tidak ada yang bisa menjamin percepatan waktu selain Ia. Lalu mengapa masih berharap kepada manusia?

Bersambung