Meski hati tak percaya, bukan berarti berhenti di situ saja. Aku melajukan sepeda motor membelah jalanan dan menitikkan air mata lagi. Teringat akan ucapannya Reyfan pada saat masa kuliah dulu. Saat keberputus-asaanku mulai menghadang di antara baris semangat dalam diriku.
"Kila, kalau kamu ditakdirkan menjadi baik. Jangan meminta menjadi orang jahat. Pertahankanlah kebaikanmu."
Aku enggak tau kalau dia ternyata memang orang baik. Bahkan lebih baik dari diriku. Tidak mengeluh apabila ada orang lain yang meminta bantuan padanya. Sedangkan aku? Hanya perasaan simpati saja dan kalau di momen tertentu berhasil ditemukan orang lain aku sedia dalam membantu. Aku pun belum tentu sepenuhnya baik saat ini. Bagiku lebih baik menyelamatkan diriku terlebih dahulu. Itu prinsip orang terdekatku pada saat ini dan mematuhi di depannya adalah caraku berbakti.
Nandus sudah berada di gerbang pintu satu, ia bersama teman yang lainnya. Ah, aku lupa akan nama itu. Bahkan teman sendiri pun aku sudah lupa. "Dus, ada nampak Jelita nggak?"
"Oh, dia ke MMTC, kau hubungilah dia, telpon aja. Enggak apa itu."
Aku mengikuti instruksi Nandus, menelpon Jelita dan tidak lupa untuk menuliskan pesan juga. Biar double pesan yang terkirim padanya. Memang benar, Jelita ada di MMTC. Eh ... MMTC kan luas, aku mana tau di mana tepatnya. Baiklah, kalau kami ditakdirkan bertemu, pasti akan bertemu. "Yok, Mbak Lia."
Jalanan, terkadang ada yang mulus dan ada yang berliku. Begitupun aku yang menurut orang tidak berliku, tapi begitu curam bagiku. Bahkan dulunya berpikir sangat suram dan menganggap tidak ada masa depan yang cerah untuk diriku. Putus asa? Aku pernah merasakannya, melebihi keputus-asannku saat di sekolah dasar. Nanti akan kuceritakan, tentang sebuah kisah permulaan setelah bertemu Jelita ya.
Kedua bola mataku langsung siap siaga ketika kulihat MMTC dari saat melewatinya sejak awal. Tepat pada urutan ketiga café yang berjejer. Ada orang-orang yang sedang berkumpul di ruangan terbuka menikmati makanan dan sebuah momen percakapan. "Hei, itu Jelita bukan yang di sana?" tanyaku pada Mbak Lia, memastikan orang yang sedang bercengkerama di kursi santai merah adalah mereka.
"Iya La, ada Elgita juga di sana tuh."
Baiklah, aku segera menepi dan memarkirkan Graha dekat dengan mereka. "Hei ...," sapaku dan segera duduk ketika mereka menyilakan untuk bergabung. Semuanya tampak berbeda. Jelas, kondisi kehidupan kami juga sudah memiliki jalan masing-masing. Maka benarlah bahwa pertemuan merupakan hal yang paling berharga.
"Hei, La! Gimana kabarmu? Jangan beginilah, tahu-tahu kita bisa ngumpul ketika salah satu dari kelas kita itu sudah tidak ada lagi." Jelita memulai pembicaraan lebih dulu.
Aku pun juga enggak berpikir seperti itu juga. "Padahal baru kemarin rasanya aku teringat Reyfan. Kalian begitu juga nggak sih?" Ah, iya. Aku baru teringat, memang terlintas ingin mengetahui kabarnya Reyfan dua hari yang lalu. Tepat di sepertiga malam. Seakan ia memberikan sebuah pesan akan berpamitan di dalam ingatanku.
"Kami pun juga gitu loh La. Sama-sama kepikiran Reyfan juga. Cuma ya enggak nyangka aja gitu bisa secepat ini," ucap Jelita yakin. "Tahu enggak apa yang kupikirkan tentang dirimu dengan si Reyfan?"
"Apa itu?" Tidak ada yang kuingat selain pesan darinya dan terus melekat sampai saat ini.
"Bolu. Iya, kau waktu itu membuatkan bolu pas hari ulang tahunnya dan kami menyaksikannya di depan laboratorium bersiap memakai baju lab."
Jlep, ingatan itu. Seakan diputarkan episode sebelumnya. Ya, aku bela-belain bangun dini hari membuatnya dengan sepenuh hati dan menghiasi bolu ulang tahun untuk Reyfan. Walaupun tidak sekeren apa yang dijual di toko kue. Setidaknya bolu pandan sederhana yang ukurannya tidak terlalu banyak itu merupakan karya tulusku untuknya di momen spesialnya. Dia sudah kuanggap sebagai sahabat dekatku pada waktu itu. Sebelum menyadari bahwa aku sebenarnnya memiliki rasa pada Reyfan.
Hanya saja ...
"Nah, ini nih sama Mbak Lia. Aku ingat sekali tentang kalian berdua yang sering kami godain. Hehe ...." Jelita menambahinya ucapannya. "Oh, sekarang pesanlah kalian."
Kami berdua saling diam, mengingat enggak punya duit masing-masing. Posisi seret dalam kondisi finansial akhir bulan. Mana mungkin memaksakan diri punya uang. Hal yang ada malah enggak bisa pulang. Graha belum kuisikan bensin.
"Pesanlah, enggak apa-apa. Aku sudah makan tadi sebelum kemari," tolakku halus mewakili perasaan Lia juga.
"Ayolah Kila, aku enggak tau kapan lagi kita bisa ketemu lagi. Anggap aja ini merupakan traktiran mana tau aku diangkat PNS sebentar lagi. Ini sebagai kemek-kemeknya. Jadi pesan ya, biar aku yang bayarkan. Mau makan sini atau bawa pulang?" Jelita mencoba membujuk lagi dengan niat baik.
Eh, rezeki enggak boleh ditolak ya. "Baiklah," ucapku seketika. Lagi pula halal kok, Jelita yang bayarin. Meskipun ia bukanlah non muslim.
"Jadi, mau apa?" tawarnya lagi.
"Nasi goreng." Makanan kesukaanku pastinya. Walaupun masak nasi goreng belum tentu seenak masakan di warung-warung. Itulah sebabnya aku bisa dibilang pemburu kuliner nasi goreng.
"Kau Mbak?" Jelita mengarahkan tatapannya pada Lia.
"Sama aja Mbak," jawabnya seketika.
Hm, tumben mau menu makanan yang sama juga. Lia biasanya lebih suka dengan mie ayam dibandingkan nasi goreng. Kalau ada pilihan lontong dengan nasi gurih, ia pasti memilih lontong. Hei, seleranya jelas makanan yang berkuah layaknya ukhuwah kebersamaan.
Jelita pulang duluan mengingat rumahnya di Diski yang jauh dari kampus. Sedangkan Elgita juga rencananya akan langsung pulang ke kampung halamannya. Jarak mereka yang jauh, tetapi hati mereka itu dekat satu sama lain dengan persahabatan. Itulah mengapa aku sangat suka dengan yang namanya persahabatan dan kalau menikah pun dengan sahabat juga. Sebab ia yang sudah mengetahui karakterku bagaimana.
Sayangnya Reyfan tidak ingin menikah dengan sahabatnya sendiri. Itulah mengapa perlahan-lahan mulai kuadakan jarak dengan sendirinya daripada harus memberikan ruang iris yang menyakiti diriku sendiri. Tidak ada persahabatan yang emang-emang benar sahabat di antara laki-laki dan perempuan. Pasti salah satunya pernah memiliki perasaan ataupun malah keduanya.
Jadi Re ... sekarang aku tahu kenapa kita tidak berjodoh. Meskipun aku pernah melihat potretan diriku denganmu yang kelihatan mirip itu. Dua orang dengan jarak 5 sentimeter berdekatan. Etnis Jawa yang sedang bersama. Bahkan Jelita sendiri pun pernah mengira aku denganmu berjodoh. Ternyata jodoh kita hanya sebatas pernah dekat, menyisih, dan engkau pulang lebih dulu.
Semuanya juga sudah menjadi garis takdir dan aku pun tidak tau siapa yang akan menjemput duluan. Jodoh atau kematian, sebuah misteri kehidupan yang orang lain tidak mengetahuinya.
Re, sekarang aku tau ada sesuatu yang menghubungkan antara takdirku yang lain dan tidak jauh pula dengan dirimu.
Bersambung