Bab 1 [Jangan Rindu]

Hidungku berair, air mata mencelos begitu saja. Dadaku sesak, jantungku seakan ditusuk benda tajam. Padahal aku sedang berpuasa hari ini. Hanya saja aku rindu pada sesuatu yang kupikir dulunya hanya ecek-ecek belaka, tapi datang lagi pada pagi ini. Kalau aku merindukan Allah, pasti akan segera solat. Kalau aku merindukan sesuatu, bagaimana aku akan mengobatinya?

Resah, tidak ada yang menginginkan hal itu dalam hidup bukan? Kutelusuri lagi ingatan akan pagi ini apa yang kurang. Ah, ibadah yang biasanya kulakukan belumlah kusempurnakan. Jadi, enggak heran bukan jika hatiku gelisah? Allah memang sedang rindu padaku, tapi ranahnya berbeda.

Aku capek, capek banget dengan semuanya. Berusaha bangkit, ujung-ujungnya balik lagi. Kalau capek, katanya harus beristirahat, tapi aku sudah kebanyakan istirahat. Apa mungkin ini waktunya untuk tidak merindukan seseorang lagi? Apa mungkin ini waktunya aku tidak peduli lagi dengan orang lain? Dari semua jalan yang ada, mengapa aku memilih berhenti atau melarikan diri? Aku sungguh tidak mengerti dan bila kau tanya padaku, aku pun bingung hendak mengatakan apa.

Percayalah, bab ini seharusnya tidak ada. Hanya karena sayang dibuang daripada aku harus selingkuh lagi ke naskah sebelah. Lebih baik kumasukkan ke dalam bab kisah yang sudah kuketauhi ending-nya bagaimana. Hanya saja, kupikir dengan adanya bab ini. Bisa saja menjadi kesempurnaan akhir cerita yang akan kuceritakan. Ya, kupikir masih belum selesai dan itulah mengapa akhirnya aku berani memasukkannya ke dalam bab ini.

Tadi pagi aku bangun seperti biasa. Sepertiga malam dan segera menyegerakan qiamul lail. Tempatnya paling asyik dalam mengadukan beragam hal, dari mulai hal yang terkecil sampai besar sekalipun. Jika ada yang bertanya. Hei, kamu punya siapa dalam hidupmu? Aku hanya punya Allah sebagai sandaran utama dalam melangkah. Hanya saja, pagi ini masih sama seperti tiga hari yang berturut-turut. Tanpa daya semangat melambung, melainkan rasa lelah yang sejujurnya aku tidak mengerti harus melakukan apa.

Resah, tentu saja. Namun aku enggak tau harus apa. Terkadang ada banyak yang datang, tapi tidak harus semuanya dipikirkan. Kenapa? Buat apa dipikirkan bersamaan, kalau ujung-ujungnya stress dan enggak dapat apa-apa. Itulah mengapa aku sekarang fokus pada apa yang bisa kulakukan dan enggak usah neko-neko.

Curhat sudah, sekarang ada yang datang dalam benakku. Saat aku mengedipkan mata, ada semangkuk mie ayam lezat diolah dengan bumbu rahasia dan sebutir telur yang menggoda. Jlep, lidahku seakan rindu merasakan makanan itu. Makanan yang kupikir sepekan silam hanyalah sekadar lewat. Ini kali ketiga aku menginginkan makanan itu untuk kumakan. Apa rindu memang begitu ya? Apa sebenarnya yang terjadi dengan diriku? Kuputuskan menuliskan sesuatu di dalam buku yang kusebut buku dosa.

Ya Allah, aku pengen banget makan Mie Ayam Mahmud pakai telur, tapi aku enggak punya duit. Hari ini kan lagi libur ngaji. Sepertinya momennya pas banget buat makan mie ayam. Boleh nggak ya aku seolah-olah buka puasa di sana? Terus solatnya di Al-Jihad. Soalnya rindu banget. Namun hamba sadar, ini namanya angan-angan belaka. Selebihnya Engkaulah yang menggiring langkahku ke mana hati ini dan perjalananku.

Memendam rindu itu rasanya enggak enak. Rasanya harus bertemu, harus menikmati semangkuk Mie Ayam, supaya terobati dan keinginan ini tidaklah menjadi kedilemaan yang abadi. Aku menyetrika pakaian yang sudah tiga hari bertumpuk. Ukurannya sudah seperti gunung Uhud. Satu kata saat aku melihatnya, "Capek." Hei, belum apa-apa sudah bilang capek dulu. Kalau dulu aku akan senang ketika dihadapkan sebegitu banyaknya pakaian. Kini, hatiku resah. Tak bisa kunikmati kalau urusan yang lain harus disegerakan.

Aku mendatangi Bapakku yang tengah duduk di luar rumah menikmati semilir angin pagi. "Pa, boleh nggak nanti Kila pulangnya malam. Kan hari ini enggak ngaji karena punggahan."

"Hah, punggahannya bukannya besok?" sambar Mama sembari menyirami bunga-bunga yang hijau.

"Iya hari ini punggahannya. Enggak usahlah ke sana. Makan di sini aja, nanti Bapak belikan makanan enak. Ada es ini dan juga es itu," ucap Bapak tak setuju.

Sejurus maksud hatiku lantas terurung. Ada sorot ketidaksukaannya jika aku pergi ke sana. Entahlah, aku merasa telah salah mengatakan maksud hatiku pada pagi ini. Diam, hanya itu yang bisa aku detakkan dalam diriku. Sabarlah Kila, tidak semua apa yang kamu inginkan harus terwujud. Aku pun tahu kamu enggak menginginkan rindu makan mie ayam. Air mataku menggenang, "yaudahlah Pak enggak apa-apa."

"Enggak usahlah, masak kau makan sendiri. Kalau enggak bawalah sekeluarga ke sana. Biar makan sama-sama." Bapak masih berusaha mencegahku untuk tidak pergi ke sana.

Katanya, kalau orang berpuasa itu doanya akan diijabah. Entahlah aku pun enggak tau. Hal yang terpikir dalam otakku adalah cepat wisuda. Namun kenapa sulit rasanya? Bisa-bisanya sudah ketemu cara revisi paling cepat malah teringin makan mie ayam. Seandainya makan mie ayam Mahmud ada di Marelan. Aku tidak perlu rindu seberat ini. "Iya Pak, enggak apa-apa," ucapku sekali lagi menahan tangis tersembunyi dan melanjutkan lagi setrikaan yang sudah membuat tulang belakang pada meminta istirahat.

Capek, hanya itu yang terdetak dalam memori ingatanku dari lubuk hati. Please, jangan rindu dulu bila revisiku tidaklah selesai. Jangan merindukan apa pun termasuk pekerjaan yang aku sukai. Jangan merindu siapa pun yang dulu pernah mengisi barisan paling semangat dalam hidupku. Jempolku masih saja bolak-balik menggulir layar media sosial.

Satu tetes air mataku mengalir saat kutekan tombol unisntall. Dulu, aku sungguh berat sekali menghapus aplikasi itu. Takut apabila draft kontenku pada berhilangan. Bagiku tak mudah mendapatkan ide. Menunda sedikit saja akan berpotensi menghilangkan ide. Bagi konten kreator, media sosial adalah aset berharga dalam menarik pemirsa dan menambah pemasukan finansial di kehidupan yang serba sulit ini.

Hanya saja, pada hari ini tanpa berkompromi sedikit pun dengan yang lainnya. Hatiku lapang seketika ketika kulepaskan kesempatan yang sering kugadang sebelumnya. "Hapus, biarlah situ," ucapku tanpa merasa dosa.

"Baguslah, kau hapus itu. Enggak usah lagi kau nyimplung di situ. Hidup kau itu sekarang udah dikendalikan sama Bapak kau. Jadi, enggak usahlah banyak cengkonek. Kayak aku nih aman. Mana ada perempuan dekatin laki-laki. Enggak level kalilah, ....," kompor Mamaku penuh drama dan beragam hujatan lainnya menyertai.

Baiklah, kini aku tau bagaimana caranya untuk bertindak. Diam dan tak perlu banyak bicara. Aku sungguh muak dengan drama ini. Mengurung diri, inilah caraku yang mereka inginkan bukan? Bila kemarin aku harus berjalan jauh untuk menemukan cara bagaimana caranya aku bisa mengerjakannya. Kini tempatku hanya sebesar dua kali dua meter saja. Kamar, aku tidak sendiri bukan?


Bersambung