Siangnya, mama mengajak Toki jalan-jalan ke pasar hewan. "Ayo, cari teman buat kita di rumah," kata mama.
Mereka naik angkutan umum dan berhenti di pasar hewan yang bersebelahan dengan banyak stan bunga.
Toki segera menarik lengan baju mama menuju tempat penjual ikan. Toko-toko kecil berjajar di gang sempit. Jalannya basah tapi tidak licin. Air dan akuarium ada di mana-mana. Ada ikan-ikan kecil yang warnanya sungguh cantik. Ada yang punggungnya mengkilap di dalam gelap. Ikan dengan ekor yang lebar seperti penari salsa bergaun panjang. Penari salsa? Atau orang gipsi? Toki memikirkan semua itu sambil terus melangkah di antara banyak akuarium.
Beberapa ikan yang terlihat ganas menarik perhatiannya. Ada yang bergigi panjang-panjang, lumayan menakutkan. Mata lebar menempel di badan yang gepeng. Ada yang bermoncong panjang seperti buaya. Ada yang mirip sekali dengan ikan hiu. Beberapa ikan mati di dasar akuarium, menjadi makanan ikan yang masih hidup.
Toki melihat mamanya mengamati kelinci dengan perasaan tertarik.
“Jangan kelinci, maaa...” bisiknya sambil menarik lagi tangan mama agar terus berjalan.
Mereka berputar sampai lebih dari dua jam. Mengamati semua hewan yang dipajang di sana.
Banyak akuarium yang tidak cuma berisi ikan. Satu akuarium berisi ular hijau cantik, Toki tidak tahu namanya. Seekor ular berwarna coklat dengan garis kekuningan melingkar tanpa peduli orang yang lalu lalang. Kura-kura berbagai ukuran berenang di akuarium yang hanya diisi air setinggi 15 sentimeter. Ikan petarung paling banyak. Mungkin sedang jadi favorit. Toki sih tidak suka. Ikan itu tidak bisa dicampur dengan ikan lainnya. Terlalu teritorial. Kalau dicampur, pasti akan ada yang babak belur. Hilang sudah cantiknya.
Toki melirik mama di sampingnya. Ikan petarung itu seperti mamanya. Tidak bisa dicampur dengan ikan lainnya. Gadis kecil itu tiba-tiba merasakan desakan kuat untuk melindungi mamanya.
Mama menunduk. Mereka bertatapan. Toki nyengir. Khas seorang gadis kecil. Gadis kecil dengan pikiran besar.
“Ke sana, ma...” tudingnya sambil menarik mama lagi.
Mereka terus berjalan meninggalkan deretan botol-botol berisi ratusan ikan petarung. Terus menikmati sajian banyak hewan cantik yang dijual di sana.
Waktu pulang, tentu saja mereka tidak kembali dengan tangan kosong.
Toki memilih seekor kucing cantik berbulu tebal yang hitam dari depan sampai belakang. Hanya kumis dan bulu matanya saja yang berwarna putih.
“Panggil embah aja, Toki,” kata mama memberi saran sambil tertawa.
“Ih, kok embah sih, ma?”
“Ya, kan dia udah tua. Tuh liat, kumisnya aja udah ubanan semua..”
Toki menggeleng. “Neko aja ya, ma?”
“Kok Neko?”
“Ya kan dia kucing...”
Mama berpikir sejenak,” Ya sudah, namanya pus aja..”
“Mamaah....” Toki mengerucutkan mulutnya dengan jenaka.
Mama tertawa dan membelai bulu kucing baru mereka. Kucing yang manja itu mendengkur dan menciumi tangan mama. Membuat Toki merasa iri.
“Siapa namanya, ma?”
Mama berpikir sebentar, "Kucing?” katanya sambil tersenyum lebar.
“Ih, serius..”
“Item? Blacky? Missy?”
“Kenapa kok Missy?”
“Nggak ada alasan. Missy aja.”
“Ya udah Deborah aja..”
“Deborah nama temen mama sekolah, lho..”
“Sinta”
“Bukannya itu nama temen sekolah kamu?”
“Fuji..”
“Kayak nama gunung aja..”
“Toki..”
Mama tertawa. “Ntar kalau mama manggil Toki, datang dua-duanya ya?”
“Betul.”
“Usul ditolak.”
Toki nyengir. Mereka berdebat terus tentang nama penghuni baru rumah itu sampai waktu makan malam tiba.
Login untuk melihat komentar!