“Mas, Lala ingin bicara.” Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Mas Raiz.
“Mas akan dengar. Bicaralah.”
“Sebenarnya Lala sudah menikah dengan Mas Galuh. Maafkan Lala, Mas,” lirihku dengan rasa bersalah yang bercokol di hati.
“Mas sudah tahu.”
Kali ini aku benar-benar terkejut. Bagaimana Mas Raiz tahu? Sedangkan sudah lama aku hilang kontak dengannya.
“Bagaimana Mas tahu? Mas tahu dari mana? Bukankah baru hari ini Mas tiba di Jakarta?”
“Galuh! Mas menitipkanmu padanya. Kamu terkejut, bukan? Mas lebih terkejut. Bisa-bisanya dia mengkhianati, Mas. Merebutmu dengan cara pengecut.”
Kulirik wajah Mas Raiz sekilas. Raut mukanya tampak dipenuhi amarah bercampur kecewa. Sedang aku diliputi rasa tanya yang tak kunjung menemui jawabannya. Tiba-tiba aku mengingat laki-laki yang telah menikahiku secara siri sebulan yang lalu. Aku mengambil gawai di meja. Mengusap layar enam inchi tersebut lalu menekan gambar gagang telepon berwarna hijau.
Aku mencoba menghubungi suamiku. Namun, nihil. Nomornya tidak diaktifkan. Perasaanku semakin cemas. Sebenarnya ada di mana suamiku sekarang?
Mas, aku mohon angkat, Mas. Aku tidak peduli tentang kesalahanmu di masa lalu.
Tanpa sadar mataku berkaca. Kenapa kehilangan Mas Galuh, lelaki yang baru saja kucintai begitu sakit? Padahal belum sehari kami tak bertemu, tapi rasa rindu sudah memenuhi relung kalbu.
“La, kamu nelpon Galuh?” Mas Raiz tiba-tiba bertanya padaku.
Kuletakkan kembali gawai ke meja. Mengambil napas dalam kupersiapkan hati untuk segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk menjawab Mas Raiz, jika dia bertanya.
“Iya, Mas. Cuma ... Mas Galuh gak bisa dihubungi. Nomornya dimatiin.” Suaraku memelan.
“Besok kita cari Galuh bareng-bareng, ya?” ajaknya.
“Lagipula besok Mas mau ke makam Kakek.”
“Lala gak janji, tapi Lala bakal usahain.”
Setelah bertemu selama satu jam, Mas Raiz pamit undur diri. Aku mengantarkannya sampai teras rumah. Membiarkannya pergi dengan hati lega. Ya, aku baru menyadari bahwa perasaan sayang ini pada Mas Raiz bukan lagi rasa sayang terhadap lawan jenis. Melainkan kasih pada sahabat.
Kubalikkan tubuh hendak masuk ke rumah, setelah kulihat kendaraan yang Mas Raiz tumpangi menghilang dari pandangan. Kaget kudapati Ibu tengah menatapku tajam. Aku berusaha tenang agar Ibu tak banyak bertanya.
“Ada perlu apa dia ke sini? Apa dia belum tahu kalau kamu sudah jadi istri orang?”
“Mas Raiz sudah tahu, Bu. Dia ... meminta Lala untuk kembali padanya.”
“Apa kamu bilang? Ingat, La, gimana dulu dia ninggalin kamu. Menghilang tanpa kabar apa pun! Jika bukan karena Galuh, Ibu sudah kehilangan kamu.”
Aku membisu, bingung akan menjawab apa. Jika aku cerita kehilangan Mas Raiz karena ulah Mas Galuh, Ibu bisa kecewa bahkan bisa saja membencinya. Aku tak mau itu terjadi.
Seharian aku murung. Menanti kabar dari Mas Galuh. Untung saja besok aku mulai bekerja kembali. Mudah-mudahan dengan bekerja, bayangan Mas Galuh bisa menghilang walau sekejap.
***
“Hmm, yang habis bulan madu. Habis belah duren ini, ya.” Wika tertawa cengengesan sambil menyeruput es teh di meja. Kami sedang menikmati makan siang di kantin.
“Makanya buruan halalin,” jawabku sedikit cuek. Pikiran ini masih berkelana. Bertanya-tanya di manakah Mas Galuh sekarang?
“Kok masam gitu mukanya? Ada masalah sama Masmu?”
Aku berhenti mengaduk-aduk teh di hadapan. Bergeming dengan tatapan entah.
“Cerita kalau ada masalah. Biasanya kamu juga cerita kalau lagi galau.”
“Mas Galuh ... sudah lupakan saja!”
“Mas Galuh kenapa, La?” cecar Wika. Inilah yang aku takutkan tadi. Wika pasti akan terus bertanya sebelum mendapatkan jawaban.
“Mas Galuh pergi setelah Mas Raiz datang.”
“Kok bisa? Mas Raiz mantan tunanganmu dulu, kan? Jangan gila deh, La. Jangan ulangi kesalahan lama.”
“Lalu aku harus gimana?”
“Cari tahu sampai kamu dapat informasi mengenai Mas Galuh. Jika kamu belum tahu di mana keberadaannya. Jangan sampai kamu terlena dengan kehadiran Mas Raiz. Kamu sudah ke kantornya?”
“Belum. Aku baru telepon kantornya kemarin. Kata sekretarisnya, dia gak ada.”
“Coba kamu ke kantornya. Apartemennya gimana?”
“Belum juga, Wik.” Aku melemas. Kenapa bisa sebodoh ini. Kenapa tidak menemuinya di apartemennya.
“Nanti sepulang kerja aku ke sana.”
“Nah gitu. Belum apa-apa udah putus asa. Itu bukan Lala yang aku kenal.”
“Makasih ya, Wik.” Aku berdiri, menghampiri Wika dan memeluknya erat.
Tanpa terasa kegiatan di kantor usai. Segera menuju parkiran, kunaiki motor menuju apartemen Mas Galuh. Sebelum ke sana, aku sudah menghubungi Ibu akan pulang terlambat. Apartemen Mas Galuh berada cukup jauh dari rumah. Namun, cukup dekat dengan kantor.
Aku bekerja di perusahaan garment sebagai penjahit. Lulusan SMA tak bisa membawaku untuk pekerjaan yang lebih baik. Namun, aku bersyukur, walau hanya sebagai penjahit mampu memenuhi kebutuhan hidup aku dan Ibu. Sedangkan Mas Galuh adalah orang yang berada. Dia bekerja sebagai direktur. Mas Galuh tinggal sendiri di Jakarta. Sebab orang tuanya menetap di Paris, Perancis. Itulah mengapa orang tua Mas Galuh tak dapat hadir saat kami ijab kabul. Terpaksa kami menikah siri dahulu.
Bangunan dengan tinggi menjulang telah tampak jelas. Tertera nama Gold Residence, ini adalah salah satu apartemen mewah di Jakarta Pusat. Mewah dan hanya orang kaya yang mampu menempati. Aku bergeming menatap dua orang berseragam putih hitam berdiri di gerbang pintu masuk. Entah mengapa aku merasa mereka memandang diri curiga.
“Selamat sore, Ibu. Ada perlu apa Anda datang ke sini?” tanya salah seorang satpam yang lebih muda.
“Saya mau ke kamar nomor ini.” Kutunjukkan nomor kamar Mas Galuh.
Wajah yang tadi tidak bersahabat, kini tiba-tiba tersenyum ramah.
“Ibu Lala, ya. Kebetulan Pak Galuh sudah berpesan pada kami. Jika sewaktu-waktu istrinya datang, kami harus mengantar ke kamarnya. Mari saya antar, Bu.”
Aku pun berjalan mengikuti satpam menuju lantai dua. Aku begitu terpesona melihat kemewahan tempat ini. Dulu sebelumnya, aku hanya bisa memandang apartemen ini tanpa masuk ke dalamnya. Ya, siapalah aku? Orang tak punya. Pasti akan dipandang sebelah mata.
“Maaf, Bu. Ini kamar yang Ibu cari. Oh, iya, ini kuncinya.”
“Kun-ci?”
“Pak Galuh hanya menitipkan ini pada saya dan dia berpesan untuk memberikannya jika Ibu datang.”
“Memang Mas Galuh ke mana? Kenapa dia sampai menitipkan kunci kamarnya.”
Satpam itu hanya menjawab tidak tahu menahu, lalu dia pergi meninggalkanku sendiri di kamar ini.
Mas sebenarnya kamu di mana? Bahkan kamu pindah atau pergi tak memberiku kabar.
Kutelusuri jejak-jejak kehidupan Mas Galuh, berharap bisa menemukan petunjuk keberadaannya. Hatiku nyeri saat mengingat kelebat bayang senyum Mas Galuh. Sudah dua minggu dia pergi dan tak pernah menghubungi lagi. Aku terus menyusuri rumah ini dari satu ruangan ke ruangan lain. Hingga langkahku terhenti kala melihat ranjang yang berada di kamar Mas Galuh.
Di kamar tidur ini, mungkin Mas Galuh mengistirahatkan tubuhnya. Banyak foto kami tertata rapi di nakas. Lalu ada sebuah foto berukuran besar terpajang di dinding.
Melihat benda-benda itu, tubuhku merosot ke lantai. Menangis tersedu. Karena telah kehilangan kekasih hati.
Bersambung.