''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TANTE, I LOVE YOU
Bab 7: Ada yang Lepas
A Novel By. Ester Shu
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Sepanjang jalan pulang, mereka sama-sama diam, sibuk menata perasaan masing-masing. Tangan Dewi menggenggam baju Anggara untuk menjaga keseimbangannya saat duduk di atas motor.
Tangan kiri laki-laki remaja itu mulai menyentuh tangan kiri Dewi, menggenggamnya lalu membimbing tangan itu untuk memeluk perut Anggara.
"Malu, Ngga!" Dewi mau melepaskan, tapi Anggara tetap menggenggamnya.
"Begini saja, Tan. Lebih aman!" ucap Anggara. Bibir laki-laki remaja itu terus mengembang seiring irama jantung yang berdegup kencang.
Sampai di gang perumahan, Dewi langsung menarik tangannya. Laki-laki itu menoleh sambil melempar senyuman. Wanita dewasa itu mulai bingung dengan perasaannya.
"Tan! Anggara nggak masuk, ya? Soal nggak ada Icha. Nanti jadi fitnah." Kalimat dari laki-laki remaja itu terlontar, saat motor sudah berada di depan rumah Dewi.
"Apa kamu bisa tolong tante?"
"Apa, Tan?" sahut Anggara cepat.
"Jemput Icha. Soal Tante mau masak."
"Siap sayang. Eh." Spontan Anggara membekap mulutnya.
Dewi terkekeh melihat ulah konyol laki-laki remaja itu lalu jalan menuju pintu. Anggara masih tertegun melihat Dewi dari arah belakang.
Motor Anggara pun mulai jalan. Sesekali tangannya mengusap dada, berharap desiran ombak dari dalam sana kembali tenang. Senyumnya merekah sepanjang jalan.
Motor berhenti di bawah pohon, seberang sekolahan. Anggara menunggu Icha di situ. Matanya terus fokus pada gerbang besi yang masih tertutup rapat.
Tak berapa lama, seorang satpam mulai membuka gerbang besi itu karena lonceng jam pulang sekolah sudah berbunyi.
"Cha!" seru Anggara sambil melambaikan tangan.
Di sebelah sana, Icha mulai mencari sumber suara. Tersenyum manis saat melihat lambaian tangan Anggara. Gadis manis itu mulai melangkahkan kaki menghampiri laki-laki remaja yang ada di seberang jalan.
"Nyokap gue mana?"
"Lagi masak. Ayok!" Anggara memberikan helm untuk Icha.
Icha memakainya, naik dan motor pun melaju menuju rumah.
"Udah kelar belum, urusan mama?" tanya Icha.
"Berkas dah masuk. Keputusan dua Minggu lagi, Cha!" jawab Anggara.
Sampai di rumah Icha, Anggara pun mulai masuk rumah, jalan menuju dapur, hendak pamit pulang sama Dewi.
"Kamu nggak makan dulu?"
"Nggak, Tan. Nanti sore ja aku sini lagi. Ada kerjaan di bengkel."
"Oh. Makasih, ya?"
"Tan! Jangan percaya mitos yang dikatakan wanita gendut itu. Ya? Itu nggak benar." Wajah Anggara terlihat serius, mencoba meyakinkan Dewi.
Sontak, Dewi terkekeh-kekeh melihat ekspresi Anggara. Laki-laki remaja itu salah tingkah lalu ngacir, meninggalkan Dewi yang masih tertawa.
Senyum tipis tersungging dari sudut bibir Dewi yang saat itu sedang duduk di depan mesin jahit. Acap kali perasaan tergelitik oleh kejadian tadi siang. Tak terpikirkan olehnya, kalau kejadian itu masuk ke dalam hati Anggara.
Wanita dewasa itu pikir, Anggara tidak dengar percakapan wanita paru baya tadi siang, saat membahas antara jempol kaki dan busi. Mimik wajah laki-laki remaja itu begitu polos, saat meyakinkannya. Lagi-lagi Dewi tersenyum.
***
"Ma!" seru Icha mampu membuat Dewi tersentak. "Senyum-senyum mulu!" Gadis manis itu menggerutu. "Tadi siang, semua lancar 'kan, Ma?" lanjutnya sembari bertanya.
"Alhamdulillah, atas ijin Alloh. Niat mama berjalan lancar dan surat-surat sudah masuk. Keputusan sidang, kira-kira dua Minggu lagi." Dewi menjelaskan.
"Syukurlah, Ma." Icha pun melangkahkan kaki ke depan rumah.
Hening.
"Ma!" teriak Icha dari pekarangan rumah.
Seketika Dewi tersentak, lalu berlari ke depan rumah dengan perasaan panik.
"Ada apa?" tanya Dewi sambil menyisir tiap sisi tubuh anaknya.
"Apaan sih, Ma." Icha mencoba menghentikan aktivitas mamanya. "Itu!" Telunjuk Icha menunjuk ke atas. "Buahnya banyak banget!" Mata Icha berbinar, saat melihat beberapa buah dari pohon mangga bergelantungan di sebelah sana.
"Dah beberapa hari yang lalu itu, Cha!" jawab Dewi sembari mengalihkan pandangan ke arah buah-buah itu.
Sore itu mereka duduk-duduk pada bangku depan rumah. Menikmati suasana sore. Bersenda gurau bersama.
Tak berapa lama, seorang laki-laki dewasa datang berkunjung. Setelah mengucap salam dan disambut salam oleh tuan rumah, pria itu masuk ke pekarangan rumah Dewi.
"Duduk, Pak. Saya buatin minum dulu!" ucap Icha mempersilahkan pria dewasa itu duduk.
Namanya Herman. Dia pemilik toko sembako yang ada di ujung gang. Pria dewasa itu belum pernah menikah, meski usianya terbilang sudah matang.
"Bagaimana khabarnya, Dek?" tanya Herman basa-basi.
"Baik, Bang," jawab Dewi datar.
Herman adalah salah satu pria yang aktif mendekati Dewi, tapi belum berhasil. Pria dewasa itu mulai berani mendekati lagi, saat berita tentang pengajuan gugatan cerai Dewi santer terdengar. Berita sekecil apapun akan cepat tersebar di lingkungan rumahnya.
"Kalau butuh bantuan, info saja. Jangan sungkan-sungkan," ucap Herman berusaha meyakinkan.
"Iya, Bang," jawab Dewi sambil menganggukkan kepala.
Pandangan mata Dewi tertuju ke depan, sedang Herman, laki-laki dewasa itu acap kali mencuri pandang ke arah wanita cantik yang duduk di sebelahnya.
Selang lima menit, Icha ke depan rumah, sambil membawa dua cangkir teh hangat. Seperti biasa, gadis manis itu ikut nimbrung duduk di halaman. Icha nggak mau, mamanya jadi bahan gunjingan karena menerima tamu lawan jenis hanya berdua saja. Icha memilih duduk dekat tanaman sayur sambil merapikannya.
Terlihat Herman sangat risih karena ada Icha. Dia tak bisa berkata apapun lagi karena sungkan. Sesekali embusan napas Herman meluncur dengan cepat dan senyum simpul pun tersaji dari sudut bibir sang gadis belia itu.
Tak berapa lama, sebuah motor jadul datang. Setelah sang pemilik motor turun, lalu menatap tajam ke arah Dewi dan Herman. Rasa cemburu terlihat jelas dari wajahnya yang tiba-tiba memerah menahan amarah.
Dengan rasa percaya diri Anggara menghampiri Dewi dan Herman. Sorot mata tajam mengarah pada laki-laki dewasa itu.
"Minggir!" serunya sambil duduk di tengah, antara Dewi dan Herman.
Icha yang melihat kelakuan Anggara langsung memalingkan wajah sambil tertawa dalam hati. Ulah konyol teman sekolahnya itu mampu membuat perasaan Icha dan Dewi tergelitik.
Sontak Wajah Herman merah. Dia merasa kecewa karena posisi duduknya kini di rebut paksa oleh laki-laki remaja itu.
"Bangkunya kurang panjang, Tan!" Anggara menoleh ke arah Dewi. "Hari Minggu nanti, biar Anggara buatin yang lebih panjang," lanjutnya.
"Atur sajalah," jawab Dewi sambil senyum simpul.
"Cha! Dari tadi lu diam aja, nggak bosan, ya?" Anggara mulai cari gara-gara.
Tak!
Sebuah batu terlempar ke arah kaki Anggara.
"Icha!" Suara Anggara melengking.
"Apa! Sini berantem kalau mau!" Icha mulai menantang.
Anggara bimbang, sesekali matanya menatap pada laki-laki dewasa yang ada di sampingnya.
"Gue, dah tertanam di sini, Cha!"
Tak!
Icha mulai melempar kaki Anggara pakai batu lagi. Mata Anggara sontak melotot ke arah Icha.
"Om! Nggak mau pulang, ya?" tanya Anggara sinis. Laki-laki remaja itu menoleh ke arah pria dewasa. "Dah malam, lho!" lanjutnya, karena pertanyaannya tak di jawab.
"Kamu nggak pulang?" Herman balik tanya.
"Aku 'kan baru sampai, Om! Minum juga belum dapat, nggak sopan kalau aku pulang." Anggara mulai cari pembenarannya sendiri.
Dewi yang duduk di sebelah kanan laki-laki remaja itu menahan tawanya. Tak ubahnya Dewi, Icha pun tengah menahan tawanya.
Tiiit!
"Busyet! Kamu kentut, ya?" Laki-laki itu berdiri dengan muka merah padam, menghadap Anggara.
Anggara tersentak karena merasa kalau bukan dia yang kentut. Selang sekian detik wajah laki-laki remaja itu menoleh ke arah Dewi yang yang tengah menciut menahan malu.
"Ya!" jawab Anggara. "Santai, Om. Cuman kentut doang pun!" lanjutnya. Anggara mencoba melindungi perasaan Dewi dari rasa malu.
"Nggak sopan!" seru Herman. "Abang, pulang dulu ya, Dek?" lanjutnya sambil mengalihkan pandangan ke arah Dewi.
"Iya, Bang," jawab Dewi lirih.
Tak berapa lama, Herman pun melangkahkan kaki, pergi.
"Lo, tu! Kentut sembarangan!" seru Icha sambil mukul punggung Anggara.
"Mama yang kentut, Cha!" Dewi menyela.
"Serius, Ma!" Icha mencondongkan wajahnya ke arah Dewi. Wanita dewasa itu menganggukkan kepalanya.
"Sudahlah, Anggara lapar, nih! Tante masak apa?" Anggara mencoba mengalihkan topik sekitar perkentutan.
"Nyokap gue kagak masak! Mau jajan di luar. Lo mau ikut?"
"Ikutlah!" saut Anggara cepat.
"Bawa pulang saja, Ma! Icha mau belajar." Mendadak Icha berubah pikiran dan memilih tinggal di rumah.
"Kamu mau makan apa?" tanya Dewi sambil menoleh ke arah anak gadisnya.
"Sate ayam, Ma!"
"Anggara mau makan apa? Biar Tante beliin." Dewi mengalihkan pandangan ke arah Anggara.
"Anggara mau ikut!" ucap laki-laki remaja itu sambil berdiri. Dewi terdiam tak sanggup berkata apa-apa lagi.
"Eleh, mau cari kesempatan 'kan lo?" Icha menyela.
"Dah malam, Cha! Nggak baik wanita cantik jalan sendirian," Anggara mulai genit.
"Jam enam kurang pun!" seru Icha.
"Sebut jamnya nggak usah detail juga kali, Cha!" Mata Anggara mendelik.
"Dah lah, sono! Gue dah laper!" seru Icha sambil mendorong badan Anggara.
Anggara dan Dewi pun naik motor sambil berboncengan. Mereka larut oleh perasaan masing-masing.
Motor berhenti dekat pedagang kaki lima yang tengah menjajakan sate Madura.
"Tiga bungkus, Pak! Pedas semua, ya?" ucap Dewi saat pesan sate. Sang pedagang menganggukkan kepala.
Selang sepuluh menit, Dewi terperanjat. Tiba-tiba mukanya pucat pasi, menahan rasa malu.
"Napa, Tan?" Anggara tak kalah panik sembari mendekat.
Dewi terdiam tak berani jawab. Anggara pun makin kalut lihat wajah Dewi yang tiba-tiba pucat.
"Ada apa, Tan?" tanya Anggara untuk kedua kalinya.
"Kaitannya lepas!" ucap Dewi pelan sambil melindungi dadanya.
Seketika wajah laki-laki remaja itu bingung, nggak tahu apa yang dibicarakan oleh wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu.
Bersambung ....
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Yukk! Tinggalkan komen dan love, sebagai penyemangat.
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Jangan lupa subscribe dan mampir pada karya saya lainnya.
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TERIMA KASIH BANYAK.
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''