''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
TANTE, I LOVE YOU
Bab 4: Basah
A Novel By. Ester Shu
''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
Dewi yang dengar dua anak remaja itu sedang meeting, hanya bisa senyum simpul. Perasaan wanita dewasa itu tergelitik. Meski mereka bicara pelan, tapi Dewi masih bisa dengar. Karena, jarak mereka tak terlalu jauh.
"Lo kagak mau pulang?"
"Ya ampun, Cha! Lo usir gue secara kasar?" Mata Anggara membulat.
"Iya! Kan udah jam sembilan!" jawab Icha tanpa basa-basi.
"Besok 'kan libur, Cha!" Anggara mulai negosiasi.
"Calon Bapak tu musti nurut apa kata anaknya!"
"Kebalik itu, Cha!"
"Kagak, itu kamus dalam hidup gue!"
Akhirnya Anggara nggak berkutik kala berdebat dengan Icha. Dia pun memilih mengalah, lalu berdiri.
"Cha!" Anggara memberi kode pada Icha, kalau dia mau pamit sama mamanya.
"Ya!" jawab Icha sambil menganggukkan kepala, tanda setuju.
Laki-laki yang tengah memakai baju biru itu jalan mendekati Dewi, mamanya Icha. Dia terdiam sesaat menikmati wajah Dewi yang tengah menjahit baju.
"Tan! Anggara pulang, ya?" ucap Anggara pelan.
Dewi yang duduk di depan mesin jahit hanya menganggukkan kepala, tanpa mau menatap wajah laki-laki yang berdiri di sampingnya.
Anggara pun mulai mengulurkan tangan, berharap Dewi mau menyambut uluran tangannya.
Bak!
Sebuah sendal terlempar ke arah laki-laki jangkung itu. Sontak Anggara pun menoleh ke arah Icha.
"Apaan sih, Cha?" Laki-laki jangkung itu meringis sembari mengusap kakinya yang sakit.
"Lo kira lebaran? Pake salaman segala! Buruan pulang!" seru Icha lantang lalu ketawa saat liat Anggara meringis kesakitan.
"Ish!" Mata Anggara melotot ke arah Icha. Tak berapa lama beralih pandang lagi ke arah Dewi, sambil berucap, "Tan! Anggara pulang, ya?"
"Ya, hati-hati di jalan." Jawaban Dewi mampu membuat Anggara senyum-senyum. Dia ngerasa, kalau Dewi mulai ada perasaan.
Motor Anggara pun jalan menuju kos dengan santai. Sepanjang jalan, senyum tipis terus tersaji dari sudut bibir laki-laki berambut acak. Matanya berbinar bahagia.
Pesan Dewi yang menyuruh agar Anggara jalan hati-hati, membuat laki-laki muda itu tersentuh, hatinya berbunga-bunga.
Perhatian sesimpel itu saja bisa membuat degup jantung laki-laki muda itu tak beraturan. Mungkin karena sedari kecil tak pernah ada yang memberi perhatian. Jadi, begitu ada yang memberi perhatian, laki-laki muda itu sangat bahagia.
***
Anggara, anak yatim piatu. Dulu, dia tinggal di sebuah panti asuhan. Anggara memutuskan keluar dari panti asuhan sejak Sekolah Menengah Pertama, dengan alasan hendak mencari jati diri.
Hidup di jalanan membuat Anggara tau, bagaimana kerasnya hidup. Jual koran, minuman bahkan ngamen pernah dia lakukan. Sampai suatu ketika, ada tawaran dari seseorang untuk bantu-bantu di bengkel tanpa gaji. Biaya makan, tinggal dan uang sekolah laki-laki itu akan tanggung. Tanpa pikir panjang, Anggara langsung setuju.
Karena sering berurusan dengan motor, Anggara menyerap ilmu sebagai mekanik motor dengan cara otodidak. Niat belajarnya bisa diacungi jempol. Dari tak tahu apa-apa, kini dia ahli dalam bongkar pasang bebek besi. Sang Bos juga sering bagi uang tip, saat ada bongkar mesin. Dari uang tip itu, Anggara bisa punya tabungan.
***
Dalam perjalanan pulang, Anggara pun mampir ke warung Pak Toyo, hendak beli mie ayam bakso, kesukaannya. Sembari menunggu pesanan, laki-laki remaja yang tengah dimabuk cinta itu senyum-senyum nggak jelas.
Tak berapa lama, pesanannya datang. Anggara menikmatinya dengan lahap. Setelah bayar, dia langsung melaju ke arah kos-kosannya. Sampai di rumah, pria lajang itu menikmati hari seperti biasanya. Merebahkan diri pada spring bed single, lalu menatap langit-langit kamar sampai semua terlihat buram.
ON
Saat Anggara duduk santai di depan kos, tiba-tiba Dewi datang. Wanita cantik itu berdiri hampa di pinggir jalan sambil menatap laki-laki remaja itu dengan tatapan mata sendu.
Wajah Dewi terlihat murung dengan muka sembab, seperti habis nangis sepanjang malam. Anggara yang melihat wanita dewasa itu berduka, langsung jalan menghampiri.
"Tan, duduk di dalam, yuk?" Anggara mengajak Dewi masuk.
Wanita berambut lurus itu menganggukkan kepala. Dengan sigap, Anggara membimbing Dewi masuk ke dalam kamar petak yang dia sewa. Tak banyak kata yang keluar dari bibir tipis wanita berkulit putih itu.
"Tan, ada masalah apa? Icha mana? Apa yang terjadi, sampai Tante, sesedih ini?" Anggara memberondong Dewi dengan berbagai macam pertanyaan.
Dewi hanya menunduk, pilu. Kelopak matanya tiba-tiba penuh dengan genangan air mata. Wanita cantik yang duduk di samping Anggara itu pun menangis.
Anggara terlihat sangat kebingungan, nggak tau harus berbuat apa?
"Tan, cerita saja sama Anggara?" ucap laki-laki yang tengah memakai kaos berwarna putih itu mulai menawarkan bantuannya.
Tak berapa lama, Anggara mulai geser dan merapatkan posisi duduknya. Tangan kanannya merayap pelan dari arah belakang dan mendarat pada pundak Dewi. Wanita cantik itu diam saja. Anggara merasa sangat heran, karena Dewi tidak menolaknya. Merasa dapat angin, laki-laki itu pun mendekatkan badan Dewi dan mengeratkan pelukannya.
Dengan mata yang masih basah, Dewi menoleh ke arah Anggara. Netra kedua insan dengan perbedaan umur yang lumayan jauh itu pun saling bertemu. Terlihat tatapan sendu dari sorot mata Dewi dan tatapan mata Anggara menyiratkan berbagai macam pertanyaan yang tak mampu terjawab.
Laki-laki jangkung itu mulai mengusap air mata yang ada di pipi Dewi dengan lembut. Wanita yang sangat dia cintai itu terisak menahan rasa pilu yang tak mampu dia ceritakan.
Mereka tetap saling tatap dalam diam dan mengunci rapat mulut masing-masing. Tak ada kata yang mampu keluar selain Isak tangis Dewi yang mulai melemah. Wanita yang tengah memakai baju berwarna merah muda itu pun mulai tenang dan menundukkan kepalanya. Sesekali tangannya mengusap sisa-sisa air mata yang ada di pipi dan pelupuk matanya.
Hening.
Tak berapa lama, mereka saling tatap lagi. Sorot mata laki-laki muda itu, mulai beralih pada area bibir. Jantung Anggara berdegup melihat bibir merah Sang Dewi. Jiwa lelakinya tak sanggup terkontrol lagi. Jakun bergerak naik turun dengan tatapan mata yang terus tertuju pada bibir tipis Dewi yang merekah. Anggara mulai menelan air liur, tak mampu mengendalikan lagi keinginan hatinya.
Dengan keberanian tingkat tinggi, laki-laki yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Umum itu pun mendaratkan bibir pada sasaran yang yang tadi sudah diincar. Dewi hanya diam lalu memejamkan mata, seakan pasrah.
Anggara semakin berani, saat melihat sang pujaan hati tengah menikmati sentuhan bibirnya. Bibir merah alami Anggara pun mulai mengabsen tiap sisi wajah Dewi dengan pelan. Deru nafas laki-laki muda itu pun berselancar dan membelai lembut wajah wanita dewasa itu.
Dengan cepat tangan Anggara mulai******baju Dewi satu per satu. Lagi-lagi wanita dewasa itu diam saja. Melihat sesuatu yang indah dan tersaji di depan mata, spontan, laki-laki muda itu pun menikmatinya dengan cepat.
Wanita cantik itu mulai mendesah, pasrah. Mendengar******Dewi yang lembut, mampu menggetarkan naluri lelaki yang Anggara punya. Naluri dari dalam jiwa maupun dari raga laki-laki muda itu.
Entah bagaimana caranya, kini mereka sama-sama tidak punya malu. Ruangan petak dengan ukuran tiga kali empat meter itu bak taman surga bagi dua insan yang tengah dikuasai rasa yang salah.
Dewi mengerang kala pertautan badan itu terjadi. Tubuh mereka bersatu tanpa bisa berpikir jernih lagi. Anggara terus menghentak, tanpa bisa mengendalikan gerakan kenikmatan yang dia ciptakan.
Otak mereka sudah mulai dipenuhi dengan sampah-sampah manis, yang ingin mereka nikmati sampai puas. Hubungan terlarang antara dua anak manusia beda usia dan status itu pun berlangsung.
Disisi lain, para setan terbahak-bahak, saat melihat dua anak manusia itu mampu mereka dikte dengan baik. Anggara dan Dewi pun menikmati 'anggur merah' secara bersama-sama. Saling memberi dan saling menerima. Tidak ada lagi rasa malu maupun rasa sungkan. OFF.
Tak berapa lama, tiba-tiba Anggara tersentak. Ada dua pilihan dari dua makhluk bersayap yang berbeda warna dan karakter. Makhluk dengan warna merah bertanduk dua mendukung kegiatannya, sedang makhluk bergaun putih nan kemilau mulai membimbing ke jalan yang benar.
Anggara, seperti sedang berada pada dua alam yang bertolak belakang. Alam halusinasi dan alam nyata. Perlahan namun pasti, laki-laki yang tengah menikmati rasa yang mendebarkan jantung itu mulai bimbang. Memilih sadar atau tetap melanjutkan aktifitasnya.
Anggara pun memilih membuka matanya dengan cepat, lalu duduk dan mulai mengumpulkan kesadarannya. Dengan wajah pucat tangan Anggara mulai menyentuh area sensitifnya.
"B*ngke! Ngompol, 'kan! Si*lan! Mimpi apaan sih, gue tadi!" pekiknya. Kata-kata kasar mulai absen dari mulut Anggara, sedang kedua tangan menggaruk kepala lalu mengacaukan rambutnya.
Bersambung ....
Subscribe, yuk!