Bab 1

JANDA KEMBANG MENDADAK TAJIR

Part 1

 

“Rendi, aku mau dijodohkan!” ujarku pada Rendi, pacarku yang baru jadian sebulan yang lalu.

“Apa? dijodohin?”

“Iya, Ren! Papa aku udah pensiun, Mama aku sakit-sakitan. Kakak aku pisahan sama lakinya, sekarang numpang di rumah Mama.”

“Kamu mau dijodohin?” tanyanya pula. Hari sudah gelap. Kami janjian bertemu di taman ini sepulang dari kampus. Hujan gerimis pun akhirnya turun.

“Nana, kita cari tempat berteduh aja dulu, yuk?” ajak Rendi.

“Ke mana?” tanyaku. Hatiku masih dongkol, curhat belum selesai, belum dapat solusi.

Akhirnya Rendi memboncengku ke rumah ibunya. Sampai di rumah itu, ternyata ibunya Rendi belum pulang kerja. Akhirnya kami berdua duduk di teras. Hujan turun semakin deras.

“Nana, jadi kamu beneran mau dijodohin sama mama papa kamu?” ulangnya.

“Iya, Ren! Makanya aku bilang sama kamu, buruan kamu bilang ke mama papa aku, kalau kamu serius. Aku ogah dijodohin! Apalagi calonnya itu aki-aki, Ren! Umur delapan puluh tahun!”

“What? Udah mau mati, donk?”

“Dih, kamu apaan, sih? Tolongin aku, Ren! Aku gak tau harus minta tolong sama siapa lagi.”

“Aku harus nikahin kamu, gitu? Supaya kamu gak jadi dijodohin?”

“Iya!”

“Aku kan belom kerja, Na! mana ada duit buat biaya nikahan!”

“Ya kamu usaha dikit, lah! Aku gak mau jadi istrinya aki-aki. Kaya sih kaya, tapi ya ampuuun … aku bayanginnya aja geli,” ucapku sambil menghentakkan kakiku berkali-kali.

Papa emang keterlaluan! Masa iya anak bungsunya yang cakep begini mau dinikahkan sama aki-aki, yang lebih cocok dipanggil kakek?

“Gini, deh, Na! kamu terima aja perjodohan ini. Kan lumayan, aki-aki kaya, palingan umurnya gak bakalan lama.”

“Tega kamu, ya? Gak mau!” rajukku sambil mengubah posisi dudukku menjauh dari Rendi.

“Kamu tenang aja, gak usah bayangin yang serem-serem. Bayangin kamu punya duit banyak, terus kita selingkuh dan happy-happy!”

“Maksud kamu?”

“Iya, kita manfaatin kekayaan tu aki-aki, entar kalau dia udah mati, kan kamu dapat warisan banyak, baru deh kita nikah, gimana?”

“Waduuuh … Rendi, aku tuh curhat sama kamu mau minta solusi, malah kamu kasih saran gak masuk akal! Kagak mauk!”

“Kamu pasti cuma ngeri dibagian malam pertama, kan? Kamu tenang aja, sebelum kamu nikah, mending kamu sama aku dulu, biarin si aki-aki dapat sisanya!” ujar Rendi tanpa malu.

Plak! Sontak saja tangan ini refleks menampar si Rendi.

“Sialan kamu, Ren? Kamu pikir aku ini perempuan apa? aku bukan perempuan matre apalagi perempuan yang mauan sama laki-laki. Mikir donk!”

“Kamu gak usah munafik, Na? daripada perawanmu diambil aki-aki, mending aku yang menikmati! Abis itu kekayaannya si aki-aki kita nikmati berdua, gimana?”

“Gila kamu, Ren! Aku pikir kamu laki-laki baik-baik, ternyata kamu otak mes*m!” Aku marah dan beranjak dari kursi, pikiranku hanya satu, segera pergi dari rumah ini. Baru saja kaki ini hendak melangkah keluar dari teras rumah itu, tangan Rendi sudah menarik tanganku dengan cepat.

“Na, kamu mau ke mana? Masih hujan deras, loh! Mending kita masuk, yuk!” rayunya lagi. Benar-benar laki-laki tak bermoral! Selama ini aku pikir dia baik, makanya aku terima pas dia menyatakan cinta. Tapi ternyata ini aslinya dia!

“Gak! Aku mau pulang, lepasin!” Aku berusaha melepaskan tanganku yang digenggam erat oleh Rendi.

“Ayolah, sayang! Sekali aja, pasti kamu bakalan ketagihan nanti!”

“Rendi! Brengs** kamu! Lepasin, gak? Aku teriak, nih!” ancamku.

“Teriak aja, sayang! Kaga bakalan ada yang denger!”

“Lepasin, Rendi! Aku mau pulang! Kita putus aja!”

“Hah? Kamu bilang apa barusan? Putus?”

“Iya! Kita putus aja! Mendingan kawin sama aki-aki daripada sama laki-laki bejat kayak kamu!” geramku.

“Ya elah, Na! kamu gak usah malu-malu, sini, yuk, kita masuk aja. Hujannya pake petir, kamu gak takut kesamber?”

“Mending gue kesamber geledek daripada jadi pemuas nafsu laki-laki bejat kayak elo!” teriakku. Jederr! Suara petir menggelegar. Sontak Rendi terlihat kaget, tetapi bukannya melepaskan, justru Rendi semakin kuat memaksaku untuk masuk ke dalam rumah. Sekuat tenaga pula aku berusaha melawan.

“Ayo, Na!” ujar Rendi, kali ini matanya melotot, wajahnya terlihat buas, bukan seperti Rendi yang aku kenal.

“Rendi! Sadar, Ren! Aku gak mau! Tolong lepasin!” Kutarik tubuhku mundur menjauh dari pintu. Namun lagi-lagi Rendi kembali memaksaku untuk masuk. Tanpa diduga, perasaan kesal yang sudah terlanjur merasuki pikiranku membuatku bertindak cepat tanpa sempat menggunakan kontrol otak.

Bugh! Bugh! Dua kali lututku bergerak cepat menghantam ke arah bagian bawah perut si Rendi.

“Aawww ….” Rendi menjerit, refleks melepaskan tanganku dan langsung memegangi bagian bawah perutnya yang barusan mendapat serangan mendadak.

“Rasain kamu, Ren!” makiku penuh kesal.

“Adduuuh … Na!” Rendi meringis, kedua matanya jadi juling. Mungkin saking tak tahan merasakan sakit di bagian vitalnya itu.

Aku buru-buru kabur, menembus hujan deras disertai petir. Saat ini yang paling penting aku harus kabur, pulang ke rumah. Aku menaiki angkot yang kebetulan melintas. Akhirnya bisa bernapas lega, tapi ada sedikit rasa bersalah di dalam hati.

“Ya Allah … semoga telornya si Rendi kaga pecah. Atau kalaupun pecah, semoga cuma atu! Aamiinn ….”

 

 



Komentar

Login untuk melihat komentar!