Bab 3

JANDA KEMBANG MENDADAK TAJIR

Part 3

Hari itu, aku mengikuti kegiatan di kampus seperti biasa. Lelah, aku berjalan kaki menyusuri lorong menuju kantin, perutku lapar. Aku berpapasan dengan beberapa mahasiswa lain. Satu-satunya sahabat dekatku yang bernama Jenni sedang sakit. Setelah dari kampus aku berencana datang menjenguknya.

Sampai di kantin kampus, suasana sudah tak terlalu ramai karena jam makan siang sudah lewat. Tapi aku malah bertemu Rendi. Dia sedang asyik bercengkrama di salah satu meja dengan salah satu mahasiswai dari fakultas sebelah.

“Ooh .. langsung move on ternyata dia,” gumamku.

“Eh, Nana?” panggilnya, ya tentu saja dia melihatku, aku memang berjalan melewatinya untuk memesan makanan. Kulihat Rendi dan teman wanitanya itu beranjak mendekatiku.

“Eh, iya, ada apa?” tanyaku datar.

“Kamu Nana, ya? Mantannya Rendi?” ujar si cewek. Aku tak tahu siapa namanya, hanya tahu dia dari fakultas sebelah, kebetulan sering lihat.

“Iya, mau kenalan?” tanyaku santai.

“Kenalin, dong, Na! ini Raiza, pacar aku yang baru,” ucap Rendi dengan pongahnya.

“Ooh,” jawabku cuek.

“Za, Nana ini mutusin aku karena dia mau kawin sama aki-aki, loh!” ujar Rendi lagi. Seketika mataku melotot. Kurang ajar si Rendi!

“Pasti aki-akinya kaya, kan, Ren?” cibir si Raiza pula.

“Ya, gitu, deh. Tapi lumayan, lah, ya? Gak perlu jadi ayam udah bisa jadi kaya! Hahahaha ….”

Seketika selera makanku hilang, aku batalkan untuk makan di sana. Dua sejoli ini emang sepertinya cocok, sama-sama gak ngotak!

‘Belum tahu saja kau Raiza, laki-laki yang kau pacari itu cuma cowok breng***!’ batinku geram. Aku cepat-cepat pergi, lebih baik aku ke rumah Jenni. Aku mau nangis, aku mau curhat!

“Hahahhaa … hari gini gak matre gak makan!” teriak Rendi sambil tertawa bersama pacarnya itu. Awas saja kalian berdua. Aku cuma lagi males berantem!

***

“Jen, kamu lekas sembuh, ya!” ujarku pada Jenni saat aku sudah tiba di rumahnya.

“Iya, Na. Cuma demam aja dikit. Kamu kan tau mama aku, kalau aku sakit dikit pasti aku dilarang keluar.”

“Aku pen cerita, Jen. Tapi janji kamu jangan bocorin ke siapapun, ya?”

“Cerita aja, Na. Aku janji, aku juga sering curhat sama kamu karena aku percaya sama kamu.”

“Jen, aku mau dinikahkan!”

“Hah? Yang bener? Selamat, ya! Kapan?” ucap Jenni antusias.

“Kok selamat, siiih? Aku sedih tau!”

“Sedih kenapa? Si Rendi mau ngelamar kamu, kan?”

“Bukan dia! Aku sama Rendi udah putus kemarin! Dia itu bukan laki-laki baik, otaknya mes**!”

“Lah? Udah putus aja? Kan baru sebulan? Kok kamu gak cerita?”

“Ya ini aku mau cerita, Jen! Kan kamu gak ngampus, aku gak bisa cerita lewat chat. Gak nyaman.”

“Jadi kamu mau nikah sama siapa?”

“Aku dijodohin, Jen! Sama laki-laki tua, dia kaya. Papa maksa aku nikah sama tu aki-aki karena kamu tahu sendiri tentang ekonomi keluarga aku setelah papa ketipu rekan bisnisnya kan, Jen?”

“Kamu tolak aja kalau kamu gak mau, Na!”

“Aku gak bisa, Jen. Mamaku sakit, kamu juga tau kalau sekarang kakak aku balik ke rumah Mama karena dia udah cerai sama suaminya. Belum biaya kuliah juga gak murah kan, Jen? Aku rada nyesel kenapa dulu milih kampus kita ini. Apa aku berenti kuliah aja, ya, Jen? Terus aku cari kerja.”

“Sayang banget, Na. Kamu itu di kampus paling pinter.”

“Terus aku harus gimana, Jen?” Aku cuma bisa nangis di depan Jenni.

“Kamu yang sabar, ya, Na! aku juga gak tau harus gimana. Aku gak mungkin bawa kamu kabur atau nyembunyiin kamu. Aku gak mau mamaku kena masalah.”

“Iya, Jen. Aku ngerti, mamamu orangnya keras dan tegas. Aku gak mungkin melibatkan kamu dalam masalah aku.”

Tiba-tiba saja ponselku berdering, tanda panggilan dari Papa. Segera aku terima.

“Halo, Pa!”

“Nana, kamu di mana? Kenapa belum pulang udah jam segini?” Suara Papa terlihat cemas.

“Di rumah Jenni, PA. Jenni sakit.”

“Mama kamu juga sakit, sekarang di Rumah Sakit, penyakit jantung mama kamu kambuh!”

“Ya Allah … Ya udah, Nana ke sana sekarang, Pa!”

Cepat-cepat aku pamit pada Jenni dan mamanya, langsung mencari angkot yang ke arah rumah sakit. Sampai di sana, kulihat Kak Nini sedang asyik dengan ponselnya.

“Kak, mama gimana?”

“Eh, ngagetin aja, lu!”

“Jawab, Kak! Mama gimana keadaannya?”

“Mama gapapa, lagi ditangani dokter,” jawabnya datar. Di wajahnya tak terlihat rasa khawatir sedikitpun.

“Terus, papa mana?”

“Lagi bayar deposit!”

“Emang papa punya duit?” tanyaku tak percaya.

“Ada, dikasih calon mantu!” jawab Kak Nini sinis.

“Ki Mustopa?”

“Ya siapa lagi? Makanya setelah ini hari pernikahan kalian dipercepat, jadi minggu depan!”

“Hah? Kok gak minta persetujuan aku dulu, sih? Gak adil!”

“Jangan protes sama gue, dong! Di mana-mana menikah itu lebih cepat lebih bagus! Mumpung mama masih hidup!”

“Kak!” bentakku keras. Aku sampai lupa kalau ini rumah sakit, dilarang berisik.

“Mulut lo itu ditahan dikit, dong! Teriak-teriak kaya orang gila, lo!” Kak Nini balas melotot ke arahku.

Lagi-lagi aku cuma  bisa menangis, dalam hati hanya mama yang aku pikirkan. Mama harus bisa terus mendapatkan pengobatan.

***

Hari menyedihakn itu pun tiba. Acara akad nikah dilaksanakan di rumah Ki Mustopa. Kami diboyong ke sana, aku ditempatkan di sebuah kamar besar di dalam rumah mewah itu. Dirias layaknya pengantin baru. Di dalam kamar ada aku, Mama, Kak Nini, istri pertama Ki Mustopa, dan juga para perias pengantin.

“Neng Nana, kamu jangan sedih, atuh!” ucap Nyai Masruroh, istri pertama Ki Mustopa. Usianya juga tak kalah sepuh, mungkin bisa dibilang sama dengan usia ibunya Mama. Sayangnya nenekku sudah tiada.

“Iya, tuh, dari tadi manyun!” sahut Kak Nini. Aku melirik ke arah Mama. Mama belum terlalu sehat, tapi kami sama-sama tak mungkin menentang kemauan Papa.

“Neng Nana, kamu bakalan jadi istri terakhirnya Aki Mustopa. Kamu itu anak baik, makanya Aki Mustopa milih kamu. Bini kedua dan ketiganya si Aki sekarang udah pergi.”

“Pergi ke mana, Nyi?” tanya Kak Nini kepo.

“Ya pergi sama laki-laki lain, alias gak setia,” jawab wanita tua itu.

“Wadduh! Tapi Nyai tenang aja, si Nana ini gak akan mungkin begitu. Kami jamin!” Kak Nini bicara sok meyakinkan. Sialan!

“Nyai percaya, Neng Nana anak baik. Aki Mustopa belum punya anak laki-laki dari semua istrinya, jadi semoga aja Neng Nana bisa kasih anak laki-laki supaya ada yang jadi pewaris usaha kami.”

“Nyai gak cemburu?” lagi-lagi Kak Nini yang kepo. Perias yang sedang memasangkan lipstick di bibirku jadi ikut senyum-senyum.

“Enggak, atuh, malahan saya seneng. Soalnya, si Aki masih butuh perempuan, meskipun udah bangkotan begitu. Sementara saya udah tua begini, ya kaga bakalan mungkin punya bayi lagi. Hihihihi ….” Si Nyai tertawa memamerkan deretan giginya yang sudah tak utuh lagi.

“Tuh, kamu beruntung, Na! kamu dipilih jadi istrinya Ki Mustopa, istri terakhir lagi! Di luar sana masih banyak perempuan-perempuan lain yang gak lolos seleksi jadi calon bininya si Aki. Iya, kan, Nyai?” Kak Nini masih saja jadi kompor.

“Nah, bener. Yang mau sama aki teh banyak, Neng. Tapi Aki gak mau sembarangan lagi cari istri. Kamu yang lolos seleksi!” Nyai Masruroh bicara sambil membelai pundakku.

‘Wadduuh … dikira tes CPNS kali, yak? Pake lolos seleksi segala! Ya Allah … setelah akad nanti, aku relakan Aki Mustopa lolos seleksi untuk menghadap kembali ke pangkuanMu. Eh, Astaghfirullah ....'


Komentar

Login untuk melihat komentar!