“Pak Wijaya?”
Ila memastikan orang di hadapannya itu benar Pak Wijaya—dosennya saat masih menjadi mahasiswi di kampus itu. Pria itu melepaskan masker yang menggantung di lehernya, kemudian memasukkan dalam saku celana.
“Apa kabar, Ila? Saya melihat semangat berkobar dalam dirimu. Kobarannya sangat ganas. Hati-hati, jika berlebihan semangatmu itu malah akan membakar dirimu sendiri,” sapa Pak Wijaya seraya duduk di samping Ila.
“Begitu, ya?” respon gadis yang setahun lalu lulus dari jurusan akuntansi di kampus Ekuilibrium itu. Ila lulus cum laude dan kini hanya menjadi pengangguran.
Tangan Ila terulur menerima sebotol air mineral yang diberikan dosen ekonomi berusia 50-an itu.
“Saya tahu bagaimana bergejolaknya hatimu menghadapi kesulitan saat ini, terutama ketika menyaksikan perilaku sebagian besar orang yang ‘melenceng’ dari nilai dan norma. Di mana hati nurani mati, hampir semua orang melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kamu gemas dengan semua itu, kan?” tebak Pak Wijaya. “Praktik kotor seperti itu bukan sekali ini saja terjadi, sejak dahulu hal-hal semacam itu sudah ada. Hanya saja kali ini termasuk yang terparah, orang melakukannya secara terang-terangan, tanpa rasa malu, dan tanpa merasa berdosa.”
Ila menyimak seksama, dan mengangguk paham. “Kenapa Bapak bisa tahu saya merasa gemas dengan situasi sekarang?” tanyanya.
“Kamu ini empat tahun jadi mahasiswa saya. Saya hafal karaktermu,” jawab Pak Wijaya sambil tertawa kecil.
Ila tersenyum. Sekilas ia teringat saat duduk di kelas dan mendengarkan Pak Wijaya menyampaikan materi perkuliahan.
“Bukan sekali ini dunia mengalami krisis, meski sepertinya krisis sekarang tak separah belasan tahun lalu. Namun rupanya kita menghadapi jenis krisis baru saat ini, Ila,” lanjut Pak Wijaya. “Kau tahu berapa harga sebotol air mineral 600ml ini?”
Ila mengernyitkan dahi sebagai jawaban.
“Sepuluh ribu rupiah! Naik tiga kali lipat.” Pak Wijaya menjawab pertanyaannya sendiri. “Mengerikan, bukan?”
“Ada yang lebih mengerikan lagi, Pak,” cetus Ila.
“Apa itu?”
“Krisis mental!”
Keduanya berpandangan, lalu tertawa bersamaan. Tawa yang rerdengar miris dan getir, bahkan hamparan ilalang di hadapan mereka pun merinding mendengarnya.
Sekelebat angin menyibak rambut panjang Ila dan memejamkan mata Pak Wijaya untuk sekejap.
“Itulah yang saya maksud tadi. Dalang dari semua ini adalah virus varian baru, yang bahkan para virolog pun tidak tahu itu virus apa. Virus ini menyerang saluran pernapasan manusia,” kata Pak Wijaya.
“Dan menyerang dompet manusia juga, Pak!” tambah Ila, membuat gelak tawa memeriahkan suasana di antara keduanya. “Virus itu masih dalam penelitian, Pak. Para virolog dan farmasis saat ini masih berjuang untuk mengungkap cara memusnahkan virus itu dan menemukan obat bagi para pasien yang terjangkit,” lanjut Ila.
“Iya. Rumah sakit saat ini penuh. Pemerintah menambah utang negara untuk membeli peralatan medis lebih banyak lagi, dan juga untuk menggaji tenaga kesehatan.”
“Bukankah sudah ada bantuan dari negara lain, Pak?”
“Mana cukup? Mereka juga sama terjangkit virus ini.”
Ila mengangguk paham.
“Akibat dari merebaknya virus ini, roda perekonomian macet. Dampaknya, banyak perusahaan gulung tikar, pemutusan hubungan kerja, angka pengangguran dan kemiskinan meningkat. Baik pemerintah maupun masyarakat, kesulitan memenuhi kebutuhan belanja mereka,” lanjut Pak Wijaya.
“Tapi, Pak. Krisis ini mungkin tak separah itu, ya walaupun sebagian besar ada benarnya juga. Tapi sepertinya masih cukup banyak pelaku usaha yang bertahan. Buktinya, kemarin saya membeli sarapan dari tukang lontong sayur keliling, saya juga masih bisa melihat para pedagang kecil berjajar di depan kampus ini. Itu artinya, krisis ekonomi saat ini tak separah bayangan kita. Justru krisis mental lah yang lebih memprihatinkan. Para pedagang itu mencurangi dan menipu pembeli. Padahal apa susahnya berkata jujur, tinggal bilang harga sekian porsi sekian,” protes Ila menggebu.
Pak Wijaya tersenyum seraya menjawab, “betul. Yang bertahan akan bertahan dengan caranya masing-masing. Kau tahu, Ila, jangankan para pedagang kecil itu, para karyawan yang berpendidikan saja, saat ini menghalalkan segala cara untuk tetap bertahan agar tak kena PHK. Bahkan, baru saja kemarin salah satu dosen di kampus ini disingkirkan oleh temannya sendiri,” jawab Pak Wijaya.
Ila melempar pandangan ke hadapan. Rumput ilalang merunduk tertiup angin, namun setelah itu kembali ke posisi semula. Ia begitu memperhatikan pergerakan tanaman hama tersebut, berkali-kali tertiup angin namun tak membuatnya patah atau tercabut dari tanah.
Perhatian Ila kembali pada Pak Wijaya, berpikir yang dikatakan dosennya itu benar. Saat ini semua orang tengah memperjuangkan hidupnya, bertahan dengan cara kotor sekalipun.
“Kapan krisis akan berakhir, Pak?” tanya Ila kemudian. Ia memandangi wajah Pak Wijaya yang sudah mulai dipenuhi keriput. Tampak sekilas gurat kesedihan dan beban pikiran dalam senyum yang tersungging di bibirnya. Rupanya, dosen yang pernah meraih predikat ‘teladan’ di kampus itu pun tengah merasakan kesulitan hidup.
“Entahlah, Ila. Tapi daripada bertanya seperti itu, lebih baik kamu memikirkan bagaimana caranya bertahan saat ini, dan bangkit dari masa sulit,” jawab Pak Wijaya.
“Bagaimana caranya?”
Suara riuh mahasiswa dari arah kampus, juga derap langkah mereka yang berlarian, menandakan jam istirahat telah selesai sekaligus mengakhiri percakapan antara Ila dan Pak Wijaya. Dosen ekonomi itu bangkit dari duduknya dan menepuk-nepuk pundak Ila. “Lain kali kita bertemu lagi, saya akan beritahu caranya. Sekarang saya harus kembali mengajar. Oh iya, Ila. Saya sama sekali tak percaya dengan selebaran itu,” ucapnya sambil mengganti maskernya dengan yang baru, kemudian terus berlalu seiring embusan angin, meninggalkan Ila yang masih diliputi banyak pertanyaan.
Kenapa orang-orang berbuat curang, apakah begitu caranya bertahan?
Apakah berbuat curang dan tidak jujur dibenarkan saat krisis seperti sekarang?
Sayang sekali Pak Wijaya sudah berlalu. Ila hanya bisa menelan pertanyaannya mentah-mentah. Dari semua percakapan dengan dosennya barusan, satu hal yang menarik perhatian Ila ialah ketika Pak Wijaya berkata bahwa kobaran semangat Ila yang mengganas dapat membakar diri sendiri.
“Apa maksudnya itu?” tanya Ila, yang hanya terdengar oleh angin lalu.
Gerakan tangan Ila sangat cekatan memasang kembali masker yang sempat dilepasnya saat bercakap dengan Pak Wijaya. Kemudian meraih tas yang tergeletak disampingnya dan menyelempangkan ke tubuhnya yang mulai kurus. Ia membenarkan sepatu yang kempes bekas diduduki, lalu memakainya kembali untuk berjalan pulang.