Ila
“Kapan krisis akan berakhir?"


Ila bicara pada diri sendiri sambil terus menatap bayangannya dalam cermin. Berulangkali ia merapikan seragam hitam putih yang dikenakan. Sudah seminggu Ila menganggur setelah berhenti dari kantor tempatnya bekerja—sebuah perusahaan fashion yang merajai bisnis busana di negeri ini. Waktu itu Ila menjabat sebagai asisten bendahara di perusahaan bernama Anggoan. 


Ila membuka lemari baju, kemudian mengambil map berisi lamaran pekerjaan. Ia mempersiapkan mental untuk mencari tempat mengais rezeki lagi.


“Aku harus yakin. Inilah saatnya. Jika tidak, bagaimana aku bisa membiayai hidupku?”


Tak ada siapa-siapa dalam kamar kost berukuran 3x4 meter itu. Ila tinggal sendiri. Lima tahun lalu ia kabur dari keluarganya karena alasan ekonomi. Dalam kesendiriannya, gadis berusia dua puluh lima tahun itu sering bermonolog tentang kenyataan dunia ini yang ternyata jauh dari bayangannya.


Setelah memastikan berkas lamaran sudah lengkap, Ila berjalan ke luar rumah. Namun, langkah kakinya terhenti saat tiba di depan gerbang kost—ketika melihat seorang anak lelaki berusia lima tahun-an diturunkan bapaknya dari gendongan.


“Kembalikan uang milik Bu Rasti, Pak. Dia kelebihan membayar upah Bapak, “ kata anak itu.


“Diam, kamu. Jangan keras-keras bicaranya, nanti orang lain bisa dengar,” jawab si Bapak sambil menempelkan jari telunjuk ke bibir hitamnya. “Dengar, Nak. Bapak tidak mencuri. Salah Bu Rasti sendiri yang tidak teliti menghitung uang, jadi dia gak sadar kelebihan memberi Bapak upah.”


“Tapi dengan begitu artinya Bapak tidak jujur. Ayo kembalikan, Pak!” paksa si anak dengan begitu polos. Ia terus menarik ujung baju bapaknya sambil menunjuk ke rumah Bu Rasti—juragan cilok.


Ila mengenal Bapak itu sebagai tukang cilok pegawai Bu Rasti. Bapak itu tampak kesal dengan ocehan anaknya, lalu menjawab dengan berkata bohong, sekedar untuk menenangkan bocah yang kepalang cerdas itu.


 “Iya, iya, nanti Bapak kembalikan. Sekarang kita pulang dulu ke rumah,” kata si Bapak. Kemudian menggendong kembali anaknya. “Anak kecil mana tahu kesulitan hidup ini, bersikap jujur di zaman sekarang itu sulit, bisa-bisa miskin seumur hidup!” gumam pria berpakaian lusuh yang tadi berhenti tepat di depan Ila, dan kini berlalu.


Setelah menyaksikan percakapan anak dan Bapak itu, Ila cepat-cepat kembali ke kamar kost-nya sambil membanting pintu, tak jadi pergi melamar kerja. Percakapan Bapak dan anak tadi mengingatkannya pada permainan kotor di Perusahaan Anggoan, yang membuatnya terdepak dari daftar karyawan di sana.


“Dunia ini memang gak beres!”


Ila menggerutu dalam keragu-raguannya untuk tetap melanjutkan hidup di dunia penuh kecurangan ini.


“Alah, jangan sok suci kamu, La! Terima aja uangnya, terus tinggal tutup mulut. Beres, deh!”


Masih jelas terngiang kata-kata Bian yang menohok hatinya itu. Kilas balik kejadian tak menyenangkan selama bekerja di perusahaan Anggoan terus mengganggu pikirannya.


“Aku memang tidak suci. Tapi kalau membuat rugi orang lain, aku tak sampai hati,” jawab Ila kala itu.


“Udah deh, gak usah dibikin ribet. Kamu butuh uang untuk bayar tunggakan kost-anmu, kan?”


“Iya, tapi aku ingin cara lain, Bi. Aku gak mau memalsukan laporan untuk mencuri uang perusahaan. “ Ila teguh dengan pendiriannya, membuat Bian illfeel.


“Cara lain seperti apa sih, La? Gak ada cara lain untuk bertahan hidup di zaman serba sulit ini. Krisis keuangan akibat wabah yang melanda negeri kita, dan kebijakan perusahaan yang lebih mengedepankan ‘karyawan sedarah’, membuat kejujuran tak berlaku lagi di sini,” balas Bian. “Sudah lah, kalau kamu gak mau, uangnya buat aku aja. Tapi tetep kamu yang bikin laporannya, ya!” sungut Bian yang merasa jengkel dengan mental suci Ila.


Ila mengembuskan napas kasar lalu meraih nota penjualan dan duduk di depan komputer. Jemari lentiknya memencet tombol keyboard, saat itu pula angka dalam nominal rupiah yang telah dipalsukan berderet rapi pada tabel laporan keuangan di layar monitor. Ila tak punya pilihan selain menuruti perintah Bian—Kepala Keuangan di perusahaan Anggoan.


“Kalau kayak gini caranya, tetap aja salah. Aku memang tidak mengambil uangnya, tapi dengan membuat laporan palsu ini aku telah membantu Bian mencuri uang perusahaan,” batin Ila.


Gerak jarinya terhenti saat hati nurani memanggil. Ila cepat-cepat menghapus kembali nominal palsu yang telah diketiknya, kemudian mengganti dengan data yang asli.


“Inilah yang benar. Aku harus melakukannya. Seandainya nanti Bian marah dan memecatku, maka biarkan saja. Yang penting aku sudah berbuat benar.” Ila bermonolog.


Tak butuh waktu lama bagi Ila untuk menyelesaikan laporan keuangan yang asli itu. Dengan mantap ia meng-klik ikon bergambar printer pada layar, dan seketika laporan itu keluar dari mesin printer. Ila cepat-cepat menyusunnya kemudian beranjak menuju ruangan Tuan Lang—CEO perusahaan Anggoan.


Sial, Bian berhasil menghentikan langkah Ila yang berlari kecil di koridor gedung, padahal tinggal beberapa langkah lagi mencapai ruangan bosnya. Membuat jantung Ila terpompa lebih cepat, was-was jika Bian akan mengambil laporan keuangan itu.


“Sini, biar aku yang ngasih ke Tuan Lang,” ucap Bian seraya mengulurkan tangannya.


“Gak usah repot, ini tugasku. Aku yang akan memberikan laporan ini langsung pada Tuan Lang.” Ila berusaha menghindar, karena ia tahu Bian akan mengecek kembali laporan keuangan itu.


“Aku gak merasa kerepotan, kok. Mana sini,” paksa Bian.


“Ta—tapi—”


Belum sempat Ila selesai bicara, Bian sudah menyerahkan tumpukan berkas. “Ketik ulang berkas-berkas ini. Simpan dalam file Pdf. Deadline-nya siang ini,” titah Bian.


Ila berubah murung. Dengan terpaksa ia menyerahkan laporan keuangan itu dan menerima berkas yang diberikan Bian padanya. Firasat buruk mulai menggelayuti hati, Ila menebak Bian akan memalsukan laporan itu lagi sebelum memberikannya pada Tuan Lang. Namun Ila tak bisa berbuat apa-apa selain pasrah karena ia hanyalah seoran asisten yang dituntut untuk menuruti perintah Bian—atasannya.


Dering panggilan masuk di ponsel membuat Ila tersadar dari lamunan tentang detik-detik penendangannya dari perusahaan Anggoan itu. Ia menggeser tombol hijau pada layar ponsel.


“Ha—halo, Tuan Lang?”


Ila menjawab panggilan telepon dengan terbata.


“Kemarin kamu mengirim lamaran kerja ke perusahaan Kaen, kan?”


“I—iya, Pak,” jawab Ila.


“Jangan harap kamu akan diterima di sana. Bahkan aku berani jamin tak akan ada perusahaan yang mau menerimamu. Aku telah menyebar informasi tentang reputasimu yang buruk, Ila. Kamu telah memalsukan laporan keuangan perusahaanku!”


Suara bariton Tuan Lang menggema tepat di indera pendengaran Ila. Membuat gadis itu meneteskan air mata secara tiba-tiba. Ia dipecat karena fitnah, nama baiknya tercoreng, dan kini kesulitan lagi mendapat pekerjaan. Membuat kondisinya semakin sulit.


“Percayalah, Tuan. Bukan saya yang memalsukan laporan keuangan itu!”


Komentar

Login untuk melihat komentar!