Ternyata menepati janji tak semudah mengucapkannya. Ila menarik kembali janjinya untuk tak keluar kost dalam beberapa hari. Hanya berdiam diri di dalam kamar membuat rasa jenuhnya hampir memecahkan kepala, ia memutuskan untuk menghirup udara segar. Di belakang kampus tempatnya kuliah dulu, ada hamparan lapang yang dipenuhi rerumputan. Dan hari ini Ila ingin pergi ke sana, kebetulan letak kampus itu tak jauh dari tempat kost-nya.
Memakai sepatu hitam satu-satunya, gadis malang itu berjalan menyusuri gang yang dibatasi dinding-dinding bangunan di kanan-kiri. Tangannya memegangi tali tas yang terselempang di depan dada. Sementara itu, matanya sibuk melihat-lihat selebaran dirinya yang ditempel di dinding sepanjang gang itu. Kali ini, ia tak merasa terkejut, seolah sudah beradaptasi dengan kertas berisi fitnah tentang dirinya.
“Tuan Lang pasti sengaja menyuruh orang untuk menempelkan selebaran itu di sekitar tempat kost-ku! Ia ingin membuat mentalku jatuh!” ucapnya pelan, sepelan mungkin bahkan angin pun tak dapat mendengarnya.
Tiba di ujung gang, Ila maju sekitar sepuluh langkah kemudian berhenti di pinggir jalan raya sambil menoleh kanan-kiri. Dan saat tak ada kendaraan melintas, ia menyeberang dengan langkah sedikit berlari. Meskipun dikelilingi banyak pasang mata yang menatap tajam menuduhnya ‘pencuri’, namun Ila tak peduli. Ia tetap melangkah.
Ila merasa kekhawatiran dan rasa takutnya selama ini tak terjadi, ternyata ia mampu menghadapi pandangan negatif orang-orang terhadap dirinya. Dan sekarang ia menemukan rumus untuk menghadapi kesulitan hidup:
Satu-satunya cara untuk bangkit adalah melawan rasa khawatir dan ketakutan yang bersemayam dalam diri.
Seandainya saat ini Ila masih mengurung diri di kamar, sampai kapan pun ia tak akan punya keberanian untuk melanjutkan hidup.
“Terserah mereka mau percaya selebaran itu atau tidak, aku tetap akan bangkit dan bernapas,” batinnya. Semangat hidupnya kembali bergelora, setelah beberapa waktu lalu sempat pesimis dan ingin mengakhiri hidup.
Ila telah sampai di tempat tujuan—sebuah lapangan luas yang ditumbuhi rerumputan. Ia melepas sepatu dan menjadikannya alas duduk. Tangannya merogoh isi tas kecil yang sedari tadi diselendangnya.
Tak butuh waktu lama bagi Ila untuk mengeluarkan ponsel hitamnya dari tas. Ila menyentuh gambar kamera di layar dan seketika lensa itu membidik hamparan rumput yang tingginya sekitar 30cm, bertunas panjang dan bersisik, serta pucuknya meruncing seperti duri. Sekuat tenaga ia memetik setangkai rumput itu, hingga tangannya sedikit terluka, namun tak menghentikan rasa ingin tahunya pada tanaman gulma tersebut.
Ila memotret rumput itu dan mengunggah fotonya pada website pencarian gambar. Sebuah artikel muncul berkaitan dengan foto rumput itu.
Imperata cylindrica (L.) Raeusch adalah nama latin tanaman tersebut, di Indonesia dikenal dengan nama ilalang.
Ila tersenyum miris, rumput itu memiliki nama yang sama dengan dirinya.
“Namamu Ilalang.”
Ila terkenang ke masa saat ia berusia tujuh belas tahun. Saat itu, ia bertanya pada ibunya tentang arti namanya.
“Bibimu yang memberikan nama itu. Karena kamu lahir ketika Ibu dan Ayah menumpang di rumahnya. Saat itu hidup kita melarat, terpaksa harus numpang pada bibimu yang seorang pengusaha. Waktu bayi, kamu banyak menghabiskan uangnya. Karena itulah bibimu memberi nama ‘Ilalang’. Sama seperti nama rumput yang tumbuh ketika seseorang menanam padi, kau lahir saat usaha bibimu berjaya.”
“Jadi, Bibi menganggapku sebagai gulma?” tanya Ila.
“Kau bisa simpulkan sendiri, Ila!”
“Lalu, di mana Bibi sekarang? Aku belum pernah melihat sosoknya.”
“Bibi dan pamanmu dipenjara. Mereka menggelapkan uang para investor perusahaan senilai ratusan juta rupiah. Dan berdalih pada semua orang, bahwa mereka melakukannya demi menghidupi keluarga kita, terutama kamu yang waktu itu masih bayi. Kamu memang sering sakit-sakitan dan keluar-masuk rumah sakit,” jelas ibunya.
“Jadi, Bibi dan Paman melakukan perbuatan curang itu karena aku?”
“Tidak, Ila. Mereka memang membayar hidup kita. Tapi kita bukanlah penyebab mereka melakukan perbuatan itu. Mereka hanya menjadikan kita sebagai ‘kambing hitam’ saja. Penyebab yang sebenarnya adalah, karena paman dan bibimu sudah tak punya lagi kejujuran dalam hati nuraninya.”
Ila mengangguk paham. Di usianya saat itu, penjelasan ibunya dapat dengan mudah dicerna. Namun ada satu hal yang ia tak mengerti.
“Bu, kenapa Ibu membiarkan Bibi memberiku nama itu?” Ila bertanya.
“Karena dia yang membiayai hidup kita, kita harus menurut. Tak sopan jika menentang. Tak baik melawan orang yang memberi kita makan. Itu adalah nilai yang dianut keluarga kita sejak dulu.”
“Tapi aku tidak setuju, Bu! Kalau orang itu menyuruh kita melakukan hal yajg tidak baik, bagaimana? Kita harus berani melawannya!” protes Ila.
“Tentu saja. Untuk itu, kamu harus janji sama Ibu, kelak ketika dewasa kamu akan hidup berkecukupan sehingga kamu tak perlu menumpang dan hidup di bawah telunjuk orang lain. Satu pesan Ibu, jaga hati nuranimu. Jangan seperti paman dan bibimu yang merugikan orang lain akibat hati nuraninya mati. Ilalang, tidak ada satu pun ciptaan Tuhan yang sia-sia. Baik kamu atupun rumput ilalang, pasti ada gunanya. Kau akan mengerti saat dewasa nanti, dan kau akan bersyukur memiliki nama itu.”
Setangkai ilalang yang patah—yang tangkainya berwarna cokelat gelap—terbang tertiup angin, menerpa pipi lembut Ila yang merona. Membuatnya mengerjap dan pikirannya kembali ke masa kini, di mana ia duduk menghadap hamparan ilalang yang bergoyang merunduk diterpa angin.
Ila terkejut saat seorang menepuk pundaknya dari arah belakang. Pria paruh baya memegangi setangkai ilalang yang baru saja menerpa pipi Ila. Ketika menoleh, Ila menemukan senyum khas yang tak asing.
“Biasanya ilalang kokoh walau tertiup angin. Ia tak akan mudah patah,” ucap pria itu seraya menyodorkan setangkai ilalang yang dipegangnya pada Ila. “Sepertinya, kali ini ilalang sedang rapuh. Ah, bukankah setiap hal punya sisi kelemahan? Tak selamanya yang kuat akan tetap kuat, sesekali pasti ia akan rapuh, bukan?”