Ila 6
Ila hendak masuk ke gerbang kost-nya ketika dari arah berlawanan Bu Sartika keluar dari sana. Pemilik kost itu memakai masker—tak seperti biasanya. Sepertinya virus kian mengganas, hingga semakin banyak orang yang mengenakan penutup hidung dan mulut itu.
“Punya nyali juga ya kamu, sudah berani keluar kamar? Sudah kebal rupanya pencuri sepertimu, hingga tak peduli lagi dengan pandangan buruk orang-orang yang bertemu denganmu di jalan,” sindir Bu Sartika.
Ila hanya menatap lurus ke depan. Matanya sudah panas, bukan karena ingin menangis, melainkan sudah tak sabar ingin memelototi wanita tambun yang rambutnya selalu disanggul itu. Beruntung, Ila bisa menahan gelora amarahnya. Jika tidak, tinjunya pasti sudah menghantam Bu Sartika sedari tadi.
“Kamu kenal Okta, penghuni kamar nomor 14?” lanjut Bu Sartika bertanya.
“Kenapa memangnya, Bu?” Ila bertanya dengan malas.
“Dia baru saja saya usir karena nunggak terus. Sama kayak kamu!”
Ila terkejut. Matanya beradu dengan manik hitam milik Bu Sartika yang menyorot tajam kepadanya.
“K—kasihan.” Ila terbata karena tak bisa membayangkan kemalangan nasib yang menimpa Okta.
“Kasihan? Tak perlu kamu merasa kasihan sama orang lain. Kasihani dirimu sendiri terlebih dahulu, karena sebentar lagi kamu akan bernasib sama dengan Okta. Ingat ya, waktumu hanya sebulan! Setelah itu, tak ada lagi ampun!” tegas pemilik kost itu.
“Kejam,” gumam Ila. Padahal ia merasa mengatakannya dengan sangat pelan, namun rupanya Bu Sartika dapat mendengar umpatan itu.
“Apa katamu? Kejam? Saya sudah memberimu keringanan pun, kau bilang saya kejam? Okta lebih parah darimu. Selain nunggak, dia juga terjangkit virus. Itulah kenapa saya tak mau memberi tenggat waktu dan cepat-cepat menyuruhnya pergi dari sini, sebelum semuanya tertular. Secara tidak langsung, saya ini sudah melindungimu!” kata Bu Sartika pada Ila.
Mendengarnya hati Ila entah kenapa merasa sakit. Seseorang yang terjangkit virus itu tidak akan menunjukkan gejala apa-apa, hanya pada saat kondisinya sudah mulai memburuk baru akan terasa sesak napas secara tiba-tiba.
Ila tak dapat membayangkan kondisi Okta saat ini, dia pasti tengah terlunta-lunta di jalanan sambil merasakan sesak napas. Barang-barang milik Okta masih teronggok di kamar kostnya, Ila dapat melihat tumpukan barang itu lewat jendela kamar nomor 14. Pintu kamar itu disegel, semua orang dilarang mendekat untuk menghindari penularan.
“Okta mau pergi ke mana, Bu? Dia sebatang kara. Kenapa Ibu tak menghubungi petugas kesehatan saja untuk menjemputnya ke sini, dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapat perawatan?” protes Ila dengan begitu geramnya.
“Ngaco, kamu. Siapa yang mau bayarin biayanya? Kalau saya melapor, saya harus menanggung semuanya, dong? Enak aja! Biarkan dia sendiri yang datang ke rumah sakit. Saya sudah menyuruhnya untuk pergi ke sana. Sesaknya belum terlalu parah, palingan juga dia kuat naik angkot dari sini ke rumah sakit,” jawab Bu Sartika sambil berlalu dengan langkah keras menghentak lantai. “Haduh, pusing kepala ini. Semua penghuni kost pada nunggak!” lanjutnya menggerutu.
Ila menutup telinga atas teriakan Bu Sartika. Pemilik mata indah agak sipit itu melanjutkan langkahnya menuju kamar, memutar kunci dengan sedikit bersusah payah sebelum akhirnya berhasil masuk ke ruangan pribadi tempatnya menumpahkan segala emosi dan ekspresi.
Tanggal 1 Juli 2021, pukul 13.00 WIB. Sambil merebahkan diri di atas kasur, Ila melihat keterangan tanggal dan waktu yang berkedip-kedip di layar ponselnya. Di bawah keterangan itu ada notifikasi riwayat panggilan dan beberapa pesan dari portal berita online langganannya. Ila memang senang membaca berita, hal itu dapat memberinya informasi dunia terkini.
Ila mengarahkan jari telunjuk ke notifikasi riwayat panggilan, dan menyentuhnya. Seketika layar ponsel menampilkan lima panggilan tak terjawab dari kontak bernama ‘Ibu’.
“Ibu ….”
Ila memanggil nama itu lirih. Nama seseorang yang lima tahun lalu berseteru dengannya, karena sosok yang dipanggil ‘Ibu’ itu terus-menerus menentang Ila untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas. Namun, Ila gigih memperjuangkan mimpinya untuk tetap mengenyam pendidikan ketimbang menerima tawaran ibunya untuk bekerja sebagai pramusaji di restoran pinggir pantai.
“Kuliah buang-buang duit, Ila! Mending kerja, menghasilkan!” paksa ibunya.
Entah kenapa waktu itu Ila melihat sosok wanita yang telah melahirkannya seperti monster menakutkan.
“Aku akan mencari beasiswa, Bu,” jelas Ila.
“Berapa lama waktu yang kamu butuhkan sampai tamat kuliah?”
“Empat tahun.”
“Buang-buang waktu saja! Kalau kamu bekerja di restoran pinggir Pantai Jimbaran, dalam waktu empat tahun itu kamu sudah bisa membangun gubuk kecil untuk tempat tinggal kita di sini. Restoran itu milik teman SMA Ibu, namanya Pak Galang. Dia menjanjikan kehidupan yang lebih baik untuk kita. Dia juga berjanji akan menjaga dan merawatmu dengan baik,” balas ibunya sambil tersenyum, menyodorkan selembar foto pria yang bernama Pak Galang itu. Ibunya membujuk Ila penuh harap.
Jelas, Ila menolak. Ia menduga ibunya tak hanya berniat mempekerjakannya di resoran itu, tetapi juga hendak menjodohkannya dengan Pak Galang. Seperti nasib salah seorang temannya, yang setelah lulus SMA langsung dijodohkan dengan pria kaya raya oleh orangtuanya.
“Aku tak mau merantau jauh ke Bali. Dengan siapa aku akan tinggal di sana?” tolak Ila.
“Kamu akan tinggal dengan keluarga Pak Galang. Ia memiliki seorang istri yang sangat baik, dan menginginkan sosok anak perempuan. Karena itulah ia meminta Ibu untuk mengizinkanmu tinggal bersama mereka. Namun, Ibu tak mau kamu hanya tinggal begitu saja di sana. Ibu ingin kamu bekerja, belajar mencari uang. Dan Pak Galang bersedia menempatkanmu sebagai pramusaji di restoran miliknya. Setelah kamu cekatan, kamu akan naik jabatan. Gajinya cukup besar untuk kita, Ila. Dengan mengirim setengahnya saja ke Ibu, sisa uang yang kau pegang akan cukup untuk biaya hidupmu di sana. Lagipula, urusan kebutuhan pokokmu akan ditanggung oleh Pak Galang. Dan uangmu akan Ibu tabung untuk membangun tempat tinggal kita di sini. Ibu sudah lelah hidup mengontrak. Apalagi sejak bapakmu meninggal, dari bulan ke bulan rasanya sulit membayar uang sewa.”
Ila menatap kasihan pada ibunya yang terbaring lemas di tempat tidur, dalam rumah kontrakan mereka. Sudah sebulan, wanita yang selama dua puluh tahun merawat dan membesarkan Ila itu tak bisa bekerja, karena kaki kanannya mengalami luka bakar akibat tersiram air panas saat bekerja di warung nasi. Itulah sebab ia berharap banyak pada Ila agar mau bekerja membantunya.
Ila menggeleng, menolak permintaan ibunya. Ia tetap memilih kuliah. Ia sangat ingin menjadi mahasiswa. Baginya mahasiswa adalah pembaharu, calon cendekiawan, dan penyangga keberlangsungan hidup masyarakat. Ila mendapatkan pemahaman ituketika membaca sebuah artikel dari koran bekas bungkus gorengan.
Seminggu kemudian, saat ibunya sudah kembali bekerja, Ila pamit. Ia memegang selembar brosur penerimaan mahasiswa baru.
“Ila pamit, Bu. Ila akan mendaftar ke Universitas Ekuilibrium di Bandung dan mengambil jurusan akuntansi lewat jalur beasiswa. Besok test-nya. Doakan semoga Ila berhasil. Oh iya, Ibu tak perlu mengirimiku uang. Sesampai di sana aku akan langsung mencari pekerjaan dan mengambil kelas karyawan.”
“Ila, kau mau meninggalkan Ibu sendiri di sini?”
“Apa bedanya, Bu? Aku kerja ke Bali atau kuliah ke Bandung, Ibu akan tetap sendirian, kan? Sekarang kan Ibu sudah bekerja lagi, jadi Ibu tak akan kesepian,” jawab Ila seraya menyerahkan kertas bertuliskan nomor telepon. “Ini nomor teleponku. Aku membeli kartu SIM dan handphone dari uang tabunganku. Simpanlah nomorku di kontak teleponmu, Bu. Aku pun sudah menyimpan nomor Ibu.”
“Jangan ke Bandung, Nak. Kamu tidak punya siapa-siapa di sana. Ke Bali saja, toh kamu juga bisa berkuliah di Bali, dengan begitu Ibu tenang karena ada keluarga Pak Galang yang menjagam—”
“Assalamualaikum.”
Tanpa mengindahkan kekhawatiran ibunya, Ila tetap berangkat. Semangat gadis berusia dua puluh tahun itu terlalu membara hingga tak sadar telah melukai perasaan wanita yang telah melahirkannya.
Dan hari ini tepat lima tahun setelah hari itu. Dan selama lima tahun pula Ila dan ibunya tidak pernah berkabar, apalagi bertemu. Ila terlalu bersemangat fokus meniti karir yang kini hancur di tengah jalan.
“Bu .... “
Air mata Ila menitik seraya bibirnya bergetar memanggil nama keramat itu. Lima tahun terlupakan, hari ini ia mendapat lima panggilan tak terjawab dari ibunya. Ila merasa rindu, akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi ibunya kembali.
Pulsa yang Anda miliki tidak cukup untuk melakukan panggilan ini. Silakan isi ulang kembali pulsa Anda.
Login untuk melihat komentar!