Tuutt ….
Tuan Lang memutus sambungan telepon sebelum Ila sempat membela diri lebih jauh lagi.
Gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke kasur dengan kedua tangan menutupi wajah dan kaki menendang-nendang udara. Merasa miris sekaligus kesal atas permainan kotor manusia, di saat Ila berusaha menyelamatkan perusahaan Anggoan dari laporan keuangan palsu yang direncanakan Bian, malah nasibnya sendiri yang tak terselamatkan! Sekarang nama baiknya tercoreng dan fitnah telah menyebar ke seluruh pelosok negeri ini.
“Kemana aku harus mencari pekerjaan lagi?” Ila bermonolog dalam isak tangisnya.
Tok, tok, tok!
Ila bangun dari rebahan malasnya. Ia cepat-cepat mengusap air mata yang basah di pipi, kemudian beranjak menurunkan gagang pintu.
Sesosok wanita seusia ibunya tengah berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Ila cukup paham maksud kedatangan Bu Sartika pagi-pagi begini, pemilik kost itu datang untuk meminta haknya. Dan hati Ila teriris saat merogoh dompet dalam saku celana. Isi dompet itu adalah nyawa terakhirnya, kalau dibayarkan kost-an, Ila tak akan bisa membeli makanan untuk menyambung nyawa.
“Sudah enam bulan kamu nunggak, jangan bilang kali ini mau nunggak juga!” bentak wanita pemilik rambut sintal dan mata belo itu.
“Ekhm.” Ila berdehem untuk mencairkan ketegangan dalam dirinya. “Saya baru saja dipecat, Bu. Sudah seminggu. Dan uang saya tinggal sisa sedikit,” ucap Ila meminta pengertian dan keringanan dari Bu Sartika.
“Halah, waktu masih kerja aja kamu nunggak sampai enam bulan! Sekarang alasannya ‘karena dipecat’! Dasar alasan aja, kamu!” balas Bu Sartika garang.
“Waktu itu saya memang kerja, tapi gaji saya kecil. Ibu tahu sendiri, saat ini apa-apa mendadak serba mahal, tak sebanding dengan gaji saya. Apalagi sekarang saya tak bekerja. Saya benar-benar sedang kesulitan, Bu,” ucap Ila lirih. Ia menunduk karena tak berani menatap wajah garang Bu Sartika.
“Emangnya gue pikirin?!” Bu Sartika meneriaki Ila. “Gue mau terima duit lu, bukan denger masalah lu!” lanjutnya.
Ila menelan ludah. Kepalanya semakin menunduk setelah tersentak kaget akibat teriakan itu.
“Beri saya waktu, Bu.”
“Waktu, waktu, waktu! Dari dulu kamu minta waktu terus. Bosan aku dengernya. Mau sampai kapan, hah? Memangnya kamu bisa dapat kerja lagi?”
Bu Sartika melempar Ila dengan selebaran berita. Ila menangkap selebaran itu dan membacanya.
“Bu, i—ini?”
Mata Ila membulat saat melihat fotonya tertera dalam selebaran itu, dengan disertai pemberitahuan.
Karyawan terburuk sepanjang masa. Telah memalsukan laporan keuangan perusahaan Anggoan. Sangat tidak direkomendasikan untuk menerima orang ini sebagai karyawan. Orang ini bernama ILA. Harap berhati-hatilah!
“Lihat, kamu tidak akan pernah dapat pekerjaan lagi. Selebaran ini sudah tersebar kemana-mana. Berani juga ya kamu mencurangi perusahaan sebesar Anggoan! Jadi, itulah alasan kenapa kamu dipecat? Pantas saja kamu selalu beralasan jika kutagih, emang dasar kamu orangnya gak jujur aja!”
“Bu, saya tidak—”
“Dengar, ya. Aku beri kamu waktu sebulan lagi. Kalau kamu masih tak bisa melunasi utang-utangmu, kamu harus angkat kaki dari kost-anku! Tak sudi aku nampung orang ‘berlabel’ buruk macam kamu, merusak nama baik kost-an ini!” hardik Bu Sartika seraya mendelik sinis, kemudian meninggalkan Ila.
Kedua kaki Ila mendadak lemas, ia pun dengan gontai masuk kamarnya lagi seraya tangan kanannya meremas-remas selebaran yang disebar Tuan Lang. Setelah selebaran itu membentuk bulatan, Ila melemparkannya ke tong sampah.
Ila duduk bersandar pada lemari pakaiannya. Lamat-lamat ia mendengar suara tangisannya sendiri.
“Bian sialan!”
Ila meneriaki biang kerok dari permasalahannya, seolah-olah orang itu berada di sana. Sudah jelas sekarang alur permainannya, Ila dijadikan kambing hitam sekaligus korban atas keserakahan dan ketidakjujuran Bian dan seluruh karyawan yang tergabung dalam tim ‘karyawan asing’ di perusahaan Anggoan.
“Bian sialan!”
Itu adalah teriakan terakhir yang dilontarkan Ila sebelum jatuh tertidur dalam lelah hati dan pikirannya.
*
Malam menampakkan bintang-bintang di langit gelap, bulan muncul setengahnya. Ila membuka mata dan pemandangan itulah yang pertama kali dilihatnya.
Sambil mengingat kembali kapan ia tertidur di lantai menghadap jendela kamar, Ila beranjak ke kasur. Tangannya memainkan layar ponsel dan berhenti saat mengklik sebuah siaran berita yang menarik perhatiannya.
Wabah virus penyakit yang belum diketahui namanya, kembali menyerang beberapa negara termasuk Indonesia. Virus ini tak hanya mematikan manusia, tapi juga mematikan sendi-sendi perekonomian. Banyak karyawan yang di-PHK serta usaha makro dan mikro yang yang gulung tikar. Hal itu membuat pendapatan dan daya beli masyarakat menurun. Beberapa perusahaan bahkan melakukan praktik nepotisme dengan cara mem-PHK karyawan lain yang bukan keluarga, kemudian menggantikannya dengan karyawan baru yang memiliki hubungan keluarga dengan para petinggi perusahaan, hingga tercetus istilah ‘karyawan asing’ dan ‘karyawan sedarah’. Selain itu, dampak dari wabah penyakit ini adalah harga-harga yang melonjak naik ditengah daya beli masyarakat yang kian menurun.
Suara reporter berita membuat Ila melek. Fenomena yang diceritakan oleh reporter itu memang nyata adanya. Apalagi fakta tentang ‘karyawan asing’ dan ‘karyawan sedarah’. Adanya kedua jenis karyawan itu dalam sebuah perusahaan, tentu berpengaruh terhadap kebijakan pimpinan yang akan lebih mendahulukan kepentingan ‘karyawan sedarah’ di atas segalanya. Misalnya dalam pemberian gaji dan insentif, ‘karyawan asing’ yang bukan anggota keluarga para petinggi, akan mendapat bagian lebih sedikit, hal itulah yang menjadi sebab 'karyawan asing' melakukan kecurangan-kecurangan.
Ila mematikan siaran berita itu dan menyimpan ponselnya di samping bantal. Ia memutuskan tidak akan keluar kamar selama beberapa hari untuk menghindari delikan mata orang-orang yang akan membuatnya down. Ila juga butuh waktu untuk menjernihkan pikiran, agar dapat berpikir bagaimana cara memulihkan nama baiknya.
“Kapan krisis akan berakhir?”
Ila bergumam dalam lelah hati dan pikirannya, hingga akhirnya tertidur lelap lagi.