PART 7
Tega sekali Bang Nizar kepadaku! Aku dari semalaman menunggui Rima sampai tidak terasa lagi kalau perutku lapar. Salahku juga sih. Aku tidak bilang pada Mas Nizar kalau aku minta di belikan makanan. Kata orang-orang lelaki itu tidak peka perasaannya, kecuali kita menyebutkan apa yang kita inginkan baru di belikannya. Benarkah begitu? Jadi ingat dengan Ayahku dulu, tanpa Bunda minta, Ayah selalu membelikan kami makanan jika beliau ada lebihan uang atau mendapatkan lemburan.

Aku berjalan menuju kantin rumah sakit. Sebenarnya aku tidak terlalu berselera makan, tetapi kalau aku tidak makan nanti aku malah sakit. Siapa yang akan menjaga Rima kalau aku sakit? Perutku juga lapar harus segera makan agar tenagaku terisi kembali. 

Aku memasan menu nasi ayam tepung, sayur capcay, dan juga teh hangat. Aku makan dengan lahap dan agak cepat. Bukannya aku tidak percaya kepada Mas Nizar yang menjaga Rima. Tetapi pada kenyataannya ketika di rumah saja, Mas Nizar ogah-ogahan menjaga Rima.

Ketika aku akan membayar kemalanganku. Tidak sengaja seseorang menyenggol hingga membuat tasku yang hanya berisi dompet terjatuh. Tidak sempat membawa peralatan makeup yang kupikirkan hanya keselamatan Rima.

"Maaf Mbak! Ini tasnya." Kata laki-laki itu mengambilkan tasku yang terjatuh akibat dia tabrak.

"Iya, ti... Loh kamu kan Robin? Kamu Robin bukan? Teman SMA ku?" Tanyaku kaget. Sudah lama aku tidak bertemu dia. Dia itu kawan nasibku, kami dulu cukup  akrab ketika SMA. Sering mengerjakan tugas bersama dengan teman-teman kami yang lain.

"Loh kamu Lisa kan? Wah kebetulan sekali bertemu kamu di sini Lis." Robin langsung menjabat tanganku. Walaupun dia terlihat gembira bertemu denganku, namun ada mendung di wajahnya.

"Apa kabar kamu Rob? Tumben sendiri aja kemari? Mana istrimu?" Tanyaku dengan banyak pertanyaan. Semenjak Robin menikah, kami memang tidak pernah bertemu lagi. Hanya sewaktu Robin menikah saja aku datang, itupun di temani Mbak Gita, kakakku. Mas Nizar tidak mau kuajak. Alasannya sibuk.

"Itu dia Lis." Robin tampak menggantungkan kata-katanya. 

"Memang kenapa Rob?" Tanyaku dengan polos. Karena aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Robin.

"Istriku baru saja meninggal setelah melahirkan anak perempuan kami tiga hari yang lalu. Alhamdulillah, anak kami dalam keadaan sehat dan selamat. Tetapi, sungguh malang. Nyawa istriku tidak dapat di selamatkan lagi." Jelas Robin dengan mata berkaca-kaca.

"Innalillahi wa innalillahi rojiun. Maafkan aku Rob, udah bertanya ini sama kamu." Jawabku kaget dan menyesal mengapa menanyakan perihal istrinya.

"Istriku meninggal gara-gara dia menderita darah tinggi tapi Ibuku memaksa dia melahirkan secara normal di bidan. Padahal dokter sudah menyarankan kami untuk melakukan operasi caesar. Akupun sudah menyetujui prosedur yang dokter minta dan aku juga sudah menyiapkan biayanya. Bagiku berapa pun biayanya tidak terlalu menjadi masalah. Tapi Ibuku yang bilang kalau melahirkan secara operasi caesar bukanlah wanita yang sempurna. Beliau memaksa agar istriku melahirkan secara normal. Istriku juga sudah mengalami kontraksi dan pecah ketuban. Aku sudah berencana membawanya ke rumah sakit ini. Namun kata Ibuku buang-buang uang saja kalau harus melakukan tindak operasi. Akhirnya aku menuruti apa kata Ibuku untuk membawa almarhumah istriku Tina ke bidan. Karena istriku mengalami pendarahan hebat, jadinya Bu bidan merujuk istriku ke rumah sakit ini. Tapi Allah berkehendak lain, Allah lebih sayang pada istriku. Akhirnya nyawa istriku tidak tertolong lagi. Sampai sekarang aku sangat menyesal karena menuruti apa kata Ibuku." Robin menjelaskan panjang lebar dan sambil sesekali mengusap air matanya yang mengalir. 

"Sabar ya Rob. Semoga almarhumah istrimu di ampuni dosa-dosanya dan arwahnya di terima di sisi Allah." Kataku pada Robin. Ternyata di dunia ini ada juga yang mengalami kisah mertua 'toxic' sepertiku dan sang suami mirisnya tidak mampu berbuat apa-apa.

"Aamiin ya Allah. Makasih ya Lis doanya. Oh iya, ada apa kamu ke rumah sakit ini? Kalau aku ingin mengurus segala administrasi perawatan almarhumah istriku." Robin bertanya balik padaku.

"Anakku Rima terkena usus tersumbat Rob. Gara-gara mertuaku memberinya makanan padat padahal umurnya masih empat bulan. Aku sudah menjelaskan kepada beliau agar Rima di beri ASI saja. Tetapi beliau malah memberikan Rima susu formula dan makanan padat dan mengatakan asiku tidak ada gizinya." Terangku.

"Loh bukannya selama ini kamu kan bekerja jadinya anak kamu di titipkan mertua? Bukannya begitu Lis?" Tanya Robin dengan heran.

Aku hanya tersenyum miris. Tidak mungkin aku menceritakan kalau Ibu mertua dan suamiku yang menyuruhku untuk bekerja. Mereka semua tidak tahu. Di kira karena keputusanku untuk bekerja jadi aku menitipkan anakku dengan Ibu mertua? Bukan! Bukannya seperti itu ceritanya!

"Heh katanya mau makan! Eh nggak tahunya malah kamu di sini! Ini di depan kamu siapa? Selingkuhan kamu kah Lis?" Entah kapan tiba-tiba Mas Nizar muncul dan menarik rambutku. 

"Mas, ini temanku. Si Robin, teman SMA yang kuceritakan dulu." Jawabku memegangi rambutku yang ditarik Mas Nizar.

"Oh jadi ini teman SMA kamu! Jadi kalian CLBK hah! Anak sakit eh Mamanya malah asyik-asyik mengenang cinta lama!" Kata Mas Robin dengan geram.

"Mas, jangan kasar-kasar dong dengan wanita!" Robin mencoba melerai kami.

"Diam!!! Kamu jangan pernah mencoba ikut campur dengan urusan kami!" Bentak Mas Nizar. Semua mata yang ada di kantin menatap kami sambil berbisik-bisik. "Ayo Lisa! Ikut! Jangan bikin malu kamu itu udah kedapatan selingkuh!" 

Mas Nizar menyeret tanganku dari kantin dan menuju ruang perawatan Rima. Namun ketika di lift.

Plak...

Mas Nizar melayangkan tangannya ke pipiku. 

"Astaghfirullah! Tega sekali kamu Mas menamparku!" Jawabku dengan penuh emosi.

"Itu balasan untuk wanita pelac*r macam kamu yang malam tadi sudah berani sekali menampar Ibuku dan mengatai Ibuku bod*h. Dan sekarang lihat! Ketahuan selingkuh malah nggak mau mengaku!"

"Mas, Robin itu teman lamaku! Siapa yang selingkuh Mas! Kami juga hanya mengobrol sebentar dan dia juga bilang kalau istrinya baru saja meninggal karena melahirkan." Jelasku tapi nampaknya Mas Nizar tidak mau mendengarkan penjelasanku.

"Halah berisik!" Sanggah Mas Nizar.

Kemudian kami sampai di depan ruang perawatan Rima.

Tiba-tiba Ibu muncul dari dalam ruangan Rima.

"Ada apa ini kalian ribut-ribut! Rima baru saja sadar. Dia tadi baru menangis kencang!" Ibu menjelaskan.

"Alhamdulillah." Jawab kami serempak.

"Lantas kenapa kalian bertengkar dan ribut-ribut?" Tanya Ibu lagi.

"Ini Bu, si Lisa kepergok sedang selingkuh. Mana dia nggak mau ngaku lagi! Bilangnya cuma sekadar teman lama!" Mas Robin kini malah memfitnahku di depan Ibunya.

"Benarkah begitu Lisa?" Ibu menatapku dengan tajam.

"Bukan begitu Bu! Itu emang teman lama Lisa, kami hanya mengobrol sebentar karena sudah lama juga tidak bertemu." Jawabku membela diri.

"Halah Bu. Mana mungkin maling mau ngaku! Udah ketahuan, pakai ngeles aja lagi." Mas Nizar malah mengompor-ngompori Ibu.

Ibu mendorong tubuhku. Hingga aku jatuh terjungkal.

"Dasar menantu kurang aj*r. Berani-beraninya kamu selingkuh di belakang anakku! Awas saja kamu! Setelah Rima sembuh, Nizar akan menceraikan kamu!" Balas Ibu dengan ketus.

Sementara aku hanya meringis memegang dan mengusap-usap punggung dan pant*tku yang kesakitan. Keterlaluan sekali mereka, usahaku untuk mempertahankan rumah tangga ini tiada artinya. 

"Baiklah kalau itu memang maunya Ibu dan Mas Nizar. Aku terima tantangan kalian!" Jawabku dengan wajah yang tak terima. 

"Wah dia nantang tuh Bu. Hahaha. Kita lihat saja nanti! Bisa apa dia nanti kalau cerai sama aku! Mau makan apa dia?" Sambung Mas Nizar sambil tertawa lebar.

"Betul kamu Zar! Lagian Lisa ini sombong sekali. Kemarin saja dia sudah berani menampar Ibu. Seharusnya bagaimanapun fatalnya kesalahan orangtua, bukan berarti dia dengan seenaknya melakukan hal itu! Orangtua itu harus di hormati! Dia lupa apa kalau syurganya anak lelaki di telapak kaki ibunya. Sudahnya Anak orang miskin, nggak ada akhlak lagi! Yuk ah masuk Zar, eneg lama-lama di sini melihat wajah dia." Ibu menimpali.

Tanganku mengepal dengan erat. Awas saja kalian berdua! 

(Bersambung)


Komentar

Login untuk melihat komentar!