PILIH AKU ATAU IBUMU, MAS?
PART 2
"Kamu keterlaluan Lis. Berani sekali menyalahkan ibuku. Seharusnya bagaimanapun orangtua yang salah, jangan sampai kamu menyalahkan mereka!" teriak Mas Nizar kepadaku.
"Maaf Mas, selama ini aku diam atas perbuatan jahat kalian kepadaku. Bukan berarti aku lemah," jawabku dengan mata yang berkaca-kaca.
Ibu mertuaku kemudian maju dan membela anaknya dengan menamparku balik. Aku hanya pasrah saja. Rasa perih menjalar di pipi kiriku. Tetapi tidak sedikit rasanya ketika anak sakit. Apalagi Rima sudah dalam kondisi fatal. Padahal selama ini aku sudah memberikan Ibu edukasi agar Ibu memberikan asi perah saja yang ku simpan di dalam freezer lemari pendingin. Tetapi ibu menolak alasannya repot memberikan asi perah, harus menghangatkan di air hangat lah dan harus menunggu lama lah, keburu Rima menangis. Aku juga sudah memberi tahu Ibu agar beliau jangan memberikan makanan padat sebelum Rima berumur enam bulan.
"Nizar, kamu ceraikan saja wanita durhaka seperti Lisa. Belum apa-apa saja sudah berani menampar kamu." Ibu mertua malah berbalik marah.
"Sudah-sudah! Bisa kan anda hentikan pertengkarannya. Di sini rumah sakit. Bukan tempat untuk ribut." Dokter Budi melerai pertengkaran kami.
Akhirnya kami bertiga diam. Tanpa berbicara satu patah kata pun. Ibu dan Mas Nizar duduk menjauhiku. Mereka sekali-kali menatapku tajam. Seolah-seolah aku lah yang pantas di salahkan atas kejadian yang menerima Rima.
"Maaf dengan Pak Nizar dan Bu Lisa," kata seorang perawat memanggil kami.
"Ya."
"Begini Pak Bu, kami akan segera melakukan operasi kepada pasien Rima. Ibu dan Bapak silakan nanti untuk menandatangi surat persetujuan operasi dan administrasi." Perawat itu menjelaskan dengan hati-hati.
"Apakah tidak ada jalan lain Sus, selain operasi?" balas Mas Nizar. "Saya keberatan kalau Rima harus di operasi."
Tiba-tiba seorang dokter menghampiri kami. Kulihat di tag nama bajunya bernama dokter Fitri.
"Maafkan kami Pak. Tidak ada jalan lain yang bisa kami lakukan. Hanya operasi saja," jelas dokter Fitri. "Beruntung kondisi umum pasien masih stabil karena belum terlalu banyak muntah."
"Baik dok, lakukan saja yang terbaik untuk Rima," jawabku sambil berderai air mata.
"Mengenai biaya bagaimana Lis?" bisik Mas Nizar sambil menyenggol lenganku. Hmmm, karena soal biaya saja dia mau berbicara kepadaku.
"Emang kamu nggak punya uang tabungan Mas? tanyaku balik.
"Mana punya aku tabungan Lis! Aduh kamu tahu sendiri kan uangku habis untuk biaya cicilan mobilku, untuk memberi Ibu, dan juga untuk membayar kuliah Raya, adikku.
Sudah kepepet begini saja baru dia bersikap sok baik kepadaku. Ketika aku minta uang belanja Mas Nizar selalu beralasan uangnya untuk di tabung. Sedangkan uangku untuk biaya keperluan sehari-hari dan keperluan si kecil Rima.
"Sudah nggak usah di pikirkan nanti aku akan pinjam kepada Mas Dani," jawabku ketus. Mas Dani kakak tertuaku, tapi dia baik dan royal. Sebenarnya malu meminjam uang kepadanya. Tapi mau bagaimana lagi.
Aku mengirimkan pesan Whatsapp kepada Mas Dani untuk meminjam sejumlah uang. Tring, tring. Bunyi notifikasi pesan kalau Mas Dani sudah mengirimkan yang kepadaku masuk. Alhamdulillah. Tentu saja aku belum bercerita kepada Mas Dani kalau uang ini untuk biaya operasi Rima. Kalau Mas Dani sampai tahu tentu saja bisa habis Ibu dan Mas Nizar di marahi.
Perawat dan dokter Fitri mengarahkan kami untuk menanda tangani surat persetujuan dan juga menyetujui biaya administrasi.
Beberapa menit kemudian, Rima di bawa ke ruang operasi di dampingi para dokter dan perawat.
Hati kecilku terasa sakit sekali. Nak, seandainya saja sakitmu bisa di pindahkan kepada Mama. Tak pernah terbayangkan dalam benakku, perut kecil Rima akan di belah. Ya Allah, perasaan kecewa tentu saja menggelayutiku. Sedangkan aku yang sudah dewasa ini, belum pernah di operasi dan di belah perut. Karena aku melahirkan secara normal. Bayangkan bayi sekecil Rima harus di belah perutnya.
Satu jam lebih kami menunggu di depan tuang operasi. Perasaan tak karuan yang kurasakan dan tak lupa zikir serta doa tanpa putus kurapalkan.
Akhirnya dokter Budi keluar dari dalam ruang operasi. Harap-harap cemas menunggu.
"Alhamdulillah operasi berjalan dengan lancar. Selama operasi di dapatkan usus halus sepanjang 30 cm masuk ke dalam usus besar. Alhamdulillah, usus halus dapat kami lakukan pembebasan dan tidak di temukan robekan. Namun kondisi usus masih sembab dan gerakan usus masih tampak lemah. Pasien harus tetap di observasi dulu selama beberapa jam. Hingga kondisi pasien stabil."
"Alhamdulillah," pekikku mengucapkan rasa syukur yang tak terhingga kepada Ilahi. Artinya kondisi bayi Rima tidak terlalu parah.
"Alhamdulillah," jawab Mas Nizar dan Ibu hampir bersamaan. Namun tentu saja Ibu masih menatapku sinis dan tak terima atas perbuatan yang kulakukan terhadapnya.
* * *
Ketika rasa bahagia itu menyelimuti dadaku, namun harus kalian tahu. Kalau di dunia ini tentu saja banyak yang tidak berjalan sesuai harapan.
* * *
(Bersambung)
Login untuk melihat komentar!