Safina
Bagian-4
***
Safina dan Bima beradu tatap, keduanya takut kalau aksi yang tadi dilakukan ketahuan oleh Anjani atau Embun.
"Kok ninggalin aku, sih?" Suara wanita itu terdengar kembali, Safina menoleh ke belakang.
Ia menghela napas, wajahnya terlihat lega, lalu ia menepuk pelan lengan Bima dan menunjuk ke arah di mana wanita itu berada.
Dilihat oleh Bima, seorang gadis muda berperawakan gemuk dengan rambut keriting sedang bersungut kepada dua rekannya yang sedang asik dikepang.
Sama halnya dengan Safina, Bima pun merasa lega.
"Aku kaget," ujar Safina, menempelkan kedua telapak tangan ke dadanya.
"Om juga!"
"Gak kebayang kalau Tante Embun atau Anjani yang mergokin, bisa amsiyong."
"Kenapa gitu?" Bima mulai memancing.
"Ya sedih aja, aku gak akan bisa deket sm Om lagi. Secara, aku nyaman banget sama Om, berasa ...."
"Berasa lagi disayang sama papa kamu?"
"Gak gitu, papa aku udah tua. Usianya hampir tujuh puluh, sedangkan Om masih muda, masih gagah dan macho. Jadinya aku berasa lagi disayang sama ... cowok aku."
Jari telunjuk Safina mencolek hidung Bima, lelaki itu tertawa, merasa di atas angin dipuji seperti itu.
Safina yang selama ini selalu bersikap jual mahal terhadap laki-laki, pun mau tidak mau memurahkan dirinya di hadapan Bima. Semua ia lakukan demi bisa mencapai tujuan.
"Ah kamu, bisa aja. Tar Om khilaf terus ngajak kamu jalan, kamunya malah ngehindar lagi."
"Seriusan Om mau ngajak aku jalan?"
"Emangnya kamu mau?"
"Akan ke mana kita?" Safina menantang dengan blak-blakan.
Bima terdiam, ia tampak sedang berpikir.
"Om, kok diem?"
"Sudahlah, Fin. Hentikan ucapan Om tadi."
"Om gak suka kalau aku kepingin deket sama Om?"
"Bukan gitu, Om gak keberatan sama sekali. Tapi—"
"Tapi, apa Om?"
"Ada orang-orang yang harus kita jaga perasaannya, kamu pasti tahu apa maksud Om."
"Aku paham, sangat paham. Untuk itu kita diam-diam saja, Om. Jadi, kita bakalan jalan?"
"Rahasiakan semua ini dari ...."
"Don't worry, Om. Bunuh diri namanya kalau kita gak main aman. Sekarang masukin no hape Om di ponsel aku."
Dengan cepat, lelaki itu memasukkan sepuluh digit nomor handphonenya.
"Done."
"Thanks, Om."
Bima mengangguk meski ragu dan tidak tahu apa yang kini sedang dilakukannya.
🍭
"Kamu, beneran gak mau ikut jalan-jalan?" Embun cemberut karena Bima menolak diajak jalan-jalan bersama kedua putra-putri mereka.
"Kamu saja, sama Jani dan Juna."
"Kamu kok kayak gini terus, Mas? Mau sampai kapan?" tanya Embun dengan raut kecewa.
"Sudahlah, jangan bahas hal itu lagi!"
"Gimana aku gak bahas, kalau kamu gak mau temenin kami jalan."
"Gak usah aneh-aneh, aku ada janji dengan teman lama, mana tau ada peluang bisnis di sini. Aku tertarik bangun sebuah villa atau join saham hotel."
"Yakin karena alasan itu?"
Bima mendekati istrinya yang sedang duduk di kursi rias, wanita berusia 40'an lebih itu tengah merias wajahnya yang masih terlihat kencang terawat.
Lelaki itu berdiri tepat di belakang Embun, menatapnya lewat pantulan cermin.
"Apa yang aku lakukan sama kamu, Jani, dan Juna selama ini aku rasa sudah lebih dari cukup. Tolong ingat itu!"
Embun berbalik, ia mendongak.
"Aku sudah belajar berubah, aku harap kamu mau melupakan hal itu."
"Ya semoga berubah betulan, tidak hanya omong kosong. Dua kali kamu bikin aku kecewa dan hampir bikin nama keluarga besar aku rusak juga malu."
"Please, Mas! Jangan buat suasana liburan keluarga ini jadi gak nyaman," sungut Embun.
"Aku melakukan semua ini, semata-mata demi Jani yang lagi ulang tahun. Aku mau dia bahagia," pungkas Bima kemudian berlalu.
"Kamu gak punya perasaan, Mas!"
Gumaman Embun menguap begitu saja, entah Bima mendengarnya atau tidak.
Embun kembali menghadap cermin, menatap kosong sejenak pantulan wajahnya lalu membuang napas kasar.
Kejadian demi kejadian yang kelam di masa lalu terlintas, membuat jantungnya berdegub semakin kencang.
Tak ingin membuat suasana hatinya semakin kacau, akhirnya Embun memutuskan untuk berpamitan pada Bima yang tengah duduk di balkon.
Embun berlalu meninggalkan kamar, segera ia menjemput Anjani di kamarnya.
"Safina?" tanya Embun kepada sang putri, yang ternyata sudah siap untuk berangkat.
"Masuk angin dia, kaget kali kemarin pakai bikini di pantai, haha."
"Norak deh, gitu aja masa iya sakit."
"Huum, Mam. Lihat aja sendiri."
Anjani menuntun sang mama memasuki kamarnya, tampak Safina tengah terbaring berselimut hingga batas leher.
"Mau berobat?" tanya Embun, menghampiri Safina duduk di pinggir ranjang.
"Aku udah minum paracetamol, Tante. Aku bawa di dalam tas," jawab Safina pelan.
"Ada-ada aja, liburan kok pakai sakit segala."
Mendengar ketusnya gerutuan Embun, Anjani mencolek pundak sang ibu.
"Eh maksud Tante kalau kondisi kamu drop, segera hubungi Papi Jani ya, jangan sungkan. Takutnya Tante dan Jani pulang larut. Karena rencana mau ke tempat sepupu Tante, keluarga lagi kumpul di sana."
"Iya, Tante. Aku akan baik-baik saja, selamat berjalan-jalan, Tante." Meski sempat sedih diumpat sebegitu kasarnya meski nada suaranya sangat lembut, tapi Safina tetap bersikap ramah.
"Baiklah kalau gitu, Tante jalan dulu."
"Gue juga pamit, ya, Fin!"
Safina mengangguk lalu memejamkan matanya.
"Jani, temen kamu itu nyusahin aja. Diajak liburan kok malah sakit, duh."
"Ih, Mama. Jangan gitu ah, namanya juga penyakit."
Keduanya berkasak-kusuk hingga saat berjalan keluar dari kamar.
Setelah suara pintu yang tertutup terdengar, Safina bangun. Ia duduk dan menggumam, "Ogah banget gue ikut sama kalian, mendingan sama Om Bima. Pedekate sama dia, biar gue bisa mandiri gak jadi jongosnya si Anjani lagi. Capek dihina terus. Tante Embun juga baik di depan doang, kayaknya kalau gue gak cerdas mustahil dia ngebiarin anaknya deket sama gue."
Gadis berkaus putih itu mengambil ponsel di atas meja, lalu mencari kontak Bima dan meneleponnya.
"Halo, Om."
"Jangan telepon! Kamu, 'kan lagi sama Tante Embun dan Jani."
"Tenang, Om. Aku gak ikut, kok. Aku malas, aku mutusin tinggal waktu tau kalau Om juga gak ikut."
"Loh, kok gitu? Om ada urusan bisnis sama teman lama, rencana mau ke Ubud makanya mutusin untuk gak ikut."
"Yah, Om. Aku bete sendirian, dong!"
Bima terdiam, ia bingung harus menjawab apa.
Di dalam hati kecil, lelaki itu senang saat tahu bahwa Safina ternyata tidak ikut bersama Anjani dan sang istri yang kini sedang pergi berjalan-jalan sekaligus berkunjung ke rumah saudaranya.
Namun, ia juga bingung karena sudah kadung buat janji akan bertemu dengan kawan lama untuk membicarakan bisnis property yang ingin ia jalankan di Bali.
"Om ... kok diem aja?"
"Om bingung, Fin. Janji dengan teman lama, mustahil dibatalkan. Karena itu menyangkut nominal uang yang tidak sedikit, bisnis. Tapi ...."
"Tapi apa?" Nada suara Safina terdengar kesal.
"Tapi ... Om juga kasian sama kamu."
Mendengar jawaban seperti itu, wajah Safina kembali cerah, dengan cepat gadis itu memiliki sebuah rencana yang terdengar gila.
"Om bilang, akan ketemuan sama teman Om di Ubud, 'kan?"
"Iya, kenapa gitu?"
"Jarak Ubud dan Kuta, 'kan kurang lebih 35 km, itu cukup jauh, jadi rasanya aman kalau aku ikut sama Om."
"Riskan, Fin. Nanti Om jawab apa kalau teman tanya siapa kamu?"
"Aku gak akan ikut Om ke restoran, aku tunggu Om di hotel. Check in-in aku kamar di Ubud."
"Are you sure?"
"Yes, don't leave me alone in here, please ...."
Bima sejenak terdiam, memikirkan ide yang diutarakan oleh Safina barusan.
"Gimana, Om?"
"Baiklah," jawab Bima, terdengar pasrah.
"Yes!"
"Satu jam lagi, ketemu di mobil Alphard putih yang Om sewa ya, Fin!"
"Ok, Om."
Safina melompat kegirangan, dirinya tak menyangka kalau Bima akan semudah itu ia taklukan.
Dengan semangat'45, gadis berambut panjang itu segera masuk kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ia merendam tubuhnya sejenak di bathtub, bermandikan busa sabun dengan wewangian bunga yang menenangkan jiwa.
Lima belas menit kemudian, ia membilas tubuh dan segera bersiap untuk kencan perdana.
Gadis berparas cantik itu mematut dirinya di depan cermin, dress selutut polos berwarna hitam membalut tubuhnya yang ramping.
Usai memoles wajah dengan makeup tipis, ia pun segera menyisir rambut panjangnya, tak lupa menyemprotkan hair mist agar berbau harum. Tidak sampai di situ, diraihnya sebotol parfum wangi musk pemberian Anjani, lalu disemprotkannya ke bagian tubuh yang dirasa penting; tengkuk, dada, belakang telinga dan kedua punggung serta pergelangan tangan.
"Perfect!" gumamnya memuji kecantikan diri sendiri.
Di akhir, ia menambah keindahan kaki jenjangnya dengan memakai sepasang high heels berwarna senada dengan dress yang dikenakan.
Tak ketinggalan, sebuah tas kecil bertali rantai dibawanya turut serta, diisi dengan handphone, parfum, bedak padat, dan lipstik.
"Om Bima, i'm coming ...."
🍭
Bersambung