Safina
Bagian-1
•
•
Safina tidak punya pilihan lain, dirinya rela menjadi sugar baby seorang pengusaha property dan otomotif yang tajir, demi bisa hidup di tengah kerasnya kehidupan ibukota.
Bima Mahendra—sang sugar daddy, usianya 45 tahun, namun tampilan lelaki itu tak setua umurnya.
Harta Bima? Jangan ditanya, kekayaannya tidak akan habis dimakan tujuh turunan.
Semenjak dekat dengan Bima, Safina—gadis yang baru saja lulus S1 perhotelan tersebut, hidup dengan fasilitas bak putri raja, perhiasan berlian, pakaian branded, sepatu mahal dan juga tas merk luar bukan kaleng-kaleng, ia punya.
Safina mulai menjalani kehidupan layaknya di surga, saat usianya belum genap 20 tahun. Waktu itu, ia masih kuliah semester empat.
Berawal, dari seringnya Safina berkunjung ke rumah Anjani—putri Bima.
Di mana Safina dan Anjani, bersahabat sejak mereka menimbal imu di semester kedua. Lebih tepatnya semenjak Anjani tahu kalau gadis yang tak pernah membuka jati dirinya tersebut adalah seseorang yang berotak cerdas.
Kepintaran Safina, dimanfaatkan oleh Anjani. Tak sedikit tugas kuliahnya, rampung dengan nilai yang memuaskan.
Lalu, Safina? Sifat royal Anjani, membuat dirinya rela menjadi jongos berkedok sahabat.
Mengapa Safina disebut sebagai jongos? Karena terkadang bila mood Anjani sedang tidak baik atau sedang ada dalam masalah, maka Safina akan menjadi pelampiasan kekesalannya. Disuruh-suruh seenaknya dengan bahasa yang kasar dan menyakitkan.
Safina melawan? Tentu saja tidak, sebisa mungkin ia tahan caci maki Anjani asalkan gadis itu tetap royal padanya. Uang dari Anjani sangat dibutuhkan untuk mencukupi biaya hidupnya selama kuliah.
Keduanya dekat, dengan motif simbiosis mutualisme.
Namun, muncul ketidak puasan di hati Safina. Safina merasa apa yang didapatkannya dari hasil menjual isi otaknya itu tidak sebanding.
Melihat sahabatnya hidup bergelimang harta, membuat Safina gelap mata.
Muncul ide gila, saat pertama kali berjumpa dengan Bima, saat dirinya menginap di rumah Anjani.
Kala itu, Bima sedang kurang enak badan, jadi ia rehat dari segala rutinitasnya di kantor, beristirahat di rumah.
Safina, yang selama hampir dua tahun bersahabat dengan Anjani, baru kali pertama berjumpa dengan Bima. Selama ini, ia hanya memandang potretnya saja di dinding ruang keluarga.
'Gila, bokapnya si Jani, masih gagah ternyata,' batin Safina, berdecak kagum.
"Pap, ini loh yang namanya Fina, sahabat yang sering aku ceritain itu," ucap Anjani, saat makan malam bersama di rumahnya.
"Halo, Om. Salam kenal, saya Safina," tutur Safina, santun, penuh dengan pencitraan.
"Halo juga, Fina. Makasih ya, selama ini sering bantu Jani."
"Jangan sungkan, Om. Saya sudah menganggap Jani, saudara sendiri. Karena selama ini, Jani juga sangat baik terhadap saya."
"Syukurlah, semoga persahabatan kalian selalu terjalin dengan baik."
"Aamiin," jawab Safina dan Anjani, bersamaan.
Diliriknya Bima oleh Safina, bibir gadis muda itu tersenyum penuh arti.
Ia berpikir keras, bagaimana cara agar memiliki waktu luang dan bebas untuk bisa merayu Bima.
Hingga pada suatu hari, ia memiliki sebuah gagasan agar Anjani mengajak keluarganya untuk liburan.
"Bokap sibuk banget, Fin. Mustahil deh bisa ikutan," ujar Anjani, suatu siang di kantin kampus.
"Katanya, lo mau ngerayain ultah dengan suasana yang beda. Gak serulah, kalau celebratenya diadain di rumah, pesta gitu-gitu doang, monoton tau. Lebih asik kalau kumpul keluarga, hangat dan akrab, Jan."
"Iya sih, tar deh gue bilangin nyokap, supaya bisa bujuk bokap. Kalau Kak Arjuna, kayaknya dia gak ada masalah. Liburan, memang hobinya doi."
"Nah gitu dong, gue mesti bayar tiket gak nih?"
"Haha, bayarnya pake otak lo aja, Fin. Selama otak lo masih berguna buat gue, selama itu pula lo akan jadi sahabat gue."
Jleb!
Safina menelan saliva, ucapan Anjani barusan terasa menyayat sanubari. Sejatinya memang ia hanya gadis miskin.
"Siap'86 kalau gitu, Jan." Sebisa mungkin Safina menegarkan diri.
"Oh iya, bokap nyokap lo ikut kan? Biar kenal, Fin. Momentnya pas."
Air muka Safina seketika berubah, selama ini ia tak pernah berterus terang perihal asal-usul keluarganya. Malah sangat tertutup.
Sengaja imenutup diri karena gengsi, tak mau ketahuan Anjani, bahwa dirinya hanyalah seorang anak dari seorang petani.
"Lupain! Mama dan papa, gak mungkin mau. Mereka terlalu sibuk sama urusan masing-masing. Lo tahu? Mereka itu, lagi renggang dan nyaris cerai."
"Maafin gue, gue gak tahu. Lo yang sabar ya," hibur Anjani, mengelus punggung sahabatnya.
"I'm ok, thanks."
"Udah, ah. Jangan sedih, gimana kalau kita nonton?"
"Lo yang traktir ya?"
"Tenang, yuk!"
Safina mengangguk, dan keduanya berlalu dari kantin, menuju pelataran parkir kampus.
Di mobil mewah Anjani, yang dikemudikan sopir pribadi, keduanya bersolek tipis. Peralatan makeup brand luar negeri nan mahal, berjejer rapi di beauty case silver berukuran sedang.
Belum lagi parfum mahal, yang jika dicuci baunya tidak hilang.
Semua itu, Safina ingin memilikinya, bahkan lebih dari itu.
🍭
Bersambung