-2-

Safina

Bagian-2

***

"Fin, bokap setuju. Besok kita berangkat."

"Ok, tar malem gue ke rumah lo ya?"

"Gue dianter supir jemput lo ya, sekalian gue kepingin tau kostan lo."

"Kagak usah, ah. Gue bisa sendiri. Lagian, lo kan kudu siap-siap."

Jelas Safina menolak, ia tak mau sahabatnya itu tahu kalau kamar kost yang ia sewa hanya sebuah petak di lingkungan kumuh dan sempit.

Usai menutup telepon, Safina bersorak girang.

Rencana pertamanya berhasil.

"Bali, Om Bima ... i'm coming."

Ia niatkan dalam hati, akan berjuang dengan keras.

Safina akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, ia telah memiliki strategi untuk menjerat Bima dengan 1001 cara halus, yang tak terendus. Baik itu oleh Anjani, mama atau kakak lelakinya, Arjuna.

🍭

Piring di tangan Safina telah terisi dengan menu sarapan nasi goreng, dua potong sosis bakar dan telur mata sapi. Netranya berkeliling mencari meja kosong yang bisa ia tempati, untuk menikmati hidangan yang disajikan oleh pihak hotel tersebut.

Dari arah luar, ia melihat lambaian tangan seseorang yang ia kenal. Seorang wanita berkulit sawo matang, yang tidak lain adalah ibunda dari Anjani.

"Safina," panggilnya, seraya mengulas senyum memamerkan giginya yang putih.

Safina mengangguk, melangkahkan kaki menuju tempat makan outdoor yang menghadap langsung ke pantai Kuta.

Derap langkah terjeda sekejap, saat menyadari Bima berada di meja yang akan ia tempati.

"Sini, Fin!" ajak wanita itu lagi.

"Ba-baik, Tante Embun."

Dengan kaki gemetar, Safina berjalan menuju meja makan berbentuk persegi yang tingginya lebih rendah dibandingkan yang berada di dalam restoran hotel.

Ditaruhnya piring, lalu kemudian ia duduk di sisi sebelah kiri Bima, berhadap-hadapan dengan Embun.

"Jani mana?" tanya Embun.

"Jani ... Jani, masih tidur Tante."

"Duh-duh, itu anak gadis pemalas sekali. Bukannya bangun pagi nikmati matahari terbit sembari sarapan bareng, malah tidur panjang kaya putri tidur," sungut Embun.
Safina tertawa kecil, diliriknya Bima yang asik menyantap sandwich dengan telur mata sapi di atasnya, lelaki itu hanya tersenyum simpul mendengar ocehan Embun barusan.

"Kak Juna mana, Tante?" Safina celingukan mencari sosok pemuda, yang tidak lain adalah kakak dari Anjani.

"Arjuna pagi-pagi sekali sudah jalan, tadi teman kuliahnya menelepon mengabari bahwa dia sedang liburan di sini juga, jadinya mereka janjian untuk ketemu."

Safina manggut-manggut, suasana canggung pun dirasakan olehnya. Ketiganya tidak ada lagi yang berbicara, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring porcelain.

Beberapa saat kemudian, ponsel Embun berdering. Tidak membuang waktu, ia pun segera menjawab panggilan tersebut, "Halo Sayang, iya nih Fina ada di sini. Lagi sarapan sama kami."

"Wait, Mami ke sana ya."

Usai menutup telepon, Embun kemudian berpamitan kepada suaminya juga Safina untuk pergi ke kamar Anjani.

"Manja sekali anak itu," seru Bima, terdengar ketus.

"Kan gak ada si Mbak, jadinya Mami yang harus bantu dia."

Bima tidak menanggapi alasan pembelaan dari sang istri, ia kembali melanjutkan sarapan yang sempat terjeda.

"Safina, Tante tinggal dulu ya!"

"Iya, Tante. Silahkan ...."

Sepeninggal Embun, tinggallah Safina berduaan dengan Bima. Seketika gadis itu salah tingkah, diam-diam ia melirik lelaki berkaus putih polos yang tidak memalingkan pandangan dari piring di hadapannya. Ia memutar otak bagaimana cara untuk memulai percakapan dengan Bima, untuk beberapa saat ia berpikir berbagai hal yang mungkin bisa ia lakukan.

Tenggorokannya yang seret, memberikan ide yang dirasanya cukup baik untuk memulai suatu hubungan awal.

"Om, aku permisi dulu mau ambil minum."

Bima mengangkat wajahnya, lalu mengangguk tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Apa Om butuh sesuatu? Hmm, maksud aku Om mau nitip diambilin apa gitu? Jus jeruk atau kopi."

Lelaki itu menggeleng, lalu kembali fokus pada piringnya.

Safina yang kecewa pun berbalik badan, tapi baru beberapa langkah ia berjalan tanpa diduga Bima memanggilnya. Dengan penuh semangat, gadis itu menoleh.

"Jus buah naga," pinta Bima singkat.

Senyum membingkai wajah cantik Safina, giginya yang dihias behel pun tampak indah dipandang. Dengan penuh semangat, ia pun mengangguk.

"Yes!" gumam Safina, saat dirinya telah menjauh dari Bima.

Di dalam restoran hotel, Safina segera mengambil apa yang diperlukan. Dua gelas jus buah naga dibawanya.

"Ini Om," tutur Safina, mengangsurkan minuman berwarna merah muda keunguan itu ke hadapan Bima.

"Thanks." Bima menerimanya, dengan wajah yang lebih ramah.

Safina kembali duduk, menikmati pancaran sinar matahari yang hangat.
"Kamu suka jus buah naga juga?" tanya Bima.

"Suka, Om. Selain karena rasanya yang enak, buah naga punya banyak manfaat untuk kesehatan tubuh dan kulit."

"Untuk kulit juga bagus?"

"Bagus banget, Om. Buah naga bermanfaat untuk mengencangkan kulit, menangkal radikal bebas karena mengandung vitamin esensial yang membantu memperbaiki jaringan dalam tubuh dan menjaga kulit tetap sehat, kalau dipakai untuk maskeran buah naga bisa mengatasi jerawat yang membandel, terus ... buah naga dapat mencegah kulit dari kekeringan."

"Selama ini Om kira, buah yang warna dan bentuknya unik ini hanya bermanfaat untuk tubuh saja."

Safina tersenyum sekilas, membuang pandangan ke arah pantai yang biru.

Angin sepoi yang berembus tiada henti, membuat rambut setengah basah Safina yang dibiarkan tergerai itu menguarkan bau harum yang memanjakan indera penciuman.

Lelaki itu menghidu wangi aroma bunga dan buah segar, yang berasal dari rambut Safina yang panjang, hitam legam, tebal nan indah.

Melihat sikap Bima yang mulai bersahabat, membuat Safina mantap melakukan pedekatan. Ia menaruh kedua tangannya di atas meja, mengapit gelas berisi jus yang tinggal setengah.

"Om sering ya ke Bali?" tanya Safina basa-basi.

Bima menyandarkan punggungnya di bahu kursi makan kayu berwarna coklat tua, memandang Safina dengan tatapan berbeda dari sebelumnya yang dingin.

"Sering, tapi kalau untuk liburan kaya gini, jarang sekali. Bisa dihitung dengan jari di sebelah tangan ini."

"Oh gitu, banyaknya untuk urusan bisnis ya Om?"

"Ya, sangat membosankan kalau ke sini untuk urusan bisnis. Karena waktu diisi dengan meeting dengan klien."

"Kalau aku, baru pertama kali ke Bali, Om. Ternyata Bali itu indah ya, sangat indah."

"Ya, sangat indah. Keindahannya terkenal sampai ke mancanegara. Bali adalah sebuah pulau di Indonesia yang dikenal karena memiliki pegunungan berapi yang hijau, terasering sawah yang unik, pantai yang indah, dan terumbu karang yang cantik."

"Di Bali juga banyak tempat wisata religi seperti Pura Uluwatu yang berdiri di atas tebing. Di Selatan, kota pesisir pantai Kuta menawarkan wisata hiburan malam yang tak pernah sepi, sementara di Seminyak, Sanur, dan Nusa Dua dikenal dengan suguhan resort yang populer. Pulau Bali juga dikenal sebagai tempat untuk relaksasi dengan yoga dan meditasi."

"Om Bima wawasannya luas banget, sampai hafal dengan detail. Jangan-jangan Om pernah jadi tour guide di Bali, hehe."

Bima tertawa dengan kelakar yang Safina ucapkan barusan.

Suasana pun mencair, Safina bercerita tentang banyak hal.

Bima sangat antusias menanggapi bahan obrolan yang diutarakan oleh gadis itu, tersemat rasa kagum atas kecerdasan Safina.

"Anjani memang gak bohong," sela Bima, di tengah obrolan.

"Maksudnya, Om?"

"Anjani gak bohong bilang kamu smart, kamu memang pintar dalam segala hal."

"Anjani lebay, terlalu berlebihan, hehe."

"Dari obrolan kita ini, Om bisa menilai. Kamu enak diajak bicara, gak ngebosenin."

"Maksud Om, kita nyambung?"

"Ya, begitu lah."

"Om bisa aja, hidung aku terbang loh."

Safina tertawa, lalu ia memberanikan diri menyentuh dan mengguncang pelan lengan Bima yang bertumpu di atas meja.

Lelaki berkacamata itu terkejut dengan reaksi yang dilakukan oleh Safina, tapi entah mengapa ia tidak dapat melakukan penolakan atas apa yang terjadi barusan.

"Om, aku gak nyangka Om orangnya ramah. Aku kira --"

"Om galak?"

"Hehe, maaf ya Om. Aku salah menilai, ternyata apa yang nampak di luar, gak sama dengan apa yang ada di dalam. Om ternyata seorang pribadi yang ramah. Selain itu Om juga ...."

"Juga apa?"

Safina tersenyum penuh pesona, kemudian ia mengelus punggung tangan Bima dan memandang lelaki itu dengan tatapan yang nakal.

Bima salah tingkah, jakunnya terlihat naik turun. Ia menelan saliva berkali-kali, demi bisa meredam rasa aneh yang tiba-tiba menyeruak di dalam dada.

"Tampan," pungkas Safina dengan suara dibuat mendesah, penuh godaan.

"Jani ... Mami Jani," seru Bima, menarik dan menjauhkan tangannya.

Safina menoleh ke arah belakang, dilihatnya Anjani dan Embun muncul dari dalam restoran.

"Next time, kita ngobrol lagi ya, Om!"

Bima mengangguk kikuk, dengan tangan gemetar ia segera mengambil ponsel, bertingkah seolah-olah sedang menghubungi seseorang, ia bangkit lalu pergi menjauh dari Safina.

🍭

Bersambung