Mbak Eva tertawa, lalu pergi meninggalkanku. Aku berjalan menghampiri Saka dengan malas.
“Ada apa?” tanyaku, to the point.
“Jemput kamu, lah. Motormu masih di panti, ‘kan?” Saka menaiki motornya, bersiap mengenakan helm. “Lagian aku juga belum nengok Ibu,” lanjutnya.
Lagi-lagi aku menguap lebar dan menyahut, “Kayaknya biar besok aja. Sekarang yang paling kubutuhkan adalah tidur.”
Saka segera berdiri dan mendekatiku. Tubuhnya yang tinggi agak membungkuk sementara matanya menatapku penuh selidik. Tanpa sadar aku menahan napas, mencoba menepis desiran halus dalam dada.
Tiba-tiba Saka mendorong pelan dahiku menggunakan jari telunjuknya, lalu naik ke atas motornya lagi.
“Ya udah, kuantar pulang. Cepetan naik!” ucapnya.
Hhh …. Aku menghembuskan napas, sedikit lega, tetapi juga kesal.
“Gak ah, naik angkot aja. Bonceng kamu, sport jantung mulu!” tolakku. Kecepatannya di atas dua roda dan kemampuan meliak-liuk di jalanan, membuatku pusing.
“Masa, sih?” Saka tertawa lebar.
Betul, karena hanya dengan memeluk pinggangmu, bikin dag dig dug enggak karuan, batinku.
“Kali ini gak ngebut. Janji,” ujar Saka sambil menunjukkan kedua jarinya yang membentuk huruf V.
Agak sangsi, aku membalikkan badan dan berusaha kabur dari lelaki itu. Namun, dengan cepat ia memegang tangan kiriku.
“Hei, gak percaya janjiku?” tanyanya dengan wajah serius.
Aku terdiam beberapa saat. Akhirnya aku memakai helm dan kembali duduk di belakangnya.
“Jangan lupa pegangan!”
Saka selalu membuktikan janjinya. Ia melajukan motornya perlahan dan membuatku nyaman. Kedua tanganku memeluk pinggang lelaki itu. Semilir angin sore yang membelaiku, membuat semakin mengantuk. Tanpa sadar, aku bersandar di punggung Saka dan mulai memejamkan mata.
“Jangan tidur!” teriak Saka sambil menoleh ke belakang.
“Mika!” panggilnya lagi.
Aku membuka mata dan segera menegakkan tubuh. Baru kutahu bahwa punggung Saka ternyata senyaman itu. Tentu saja pikiran itu membuatku malu.
Saka langsung pulang setelah menurunkanku di depan pelataran apartemen. Benar-benar bad boy! batinku.
***
Selepas Salat Isya, aku segera ke kamar dan membuka kembali kotak kayu peninggalan ibu kandungku. Jariku menyentuh kalung dengan liontin berbentuk kunci yang terlihat manis. Perlahan, aku memasangnya. Terlihat pas di leherku yang jenjang.
Leonard mengeong meminta perhatian. Sambil memejamkan mata, aku mengelusnya.
***
Matahari tampak bersinar hangat pagi itu. Aku berlarian di halaman depan panti untuk mengejar kupu-kupu. Mulutku terus berceloteh riang memanggil makhluk cantik yang beterbangan itu. Kemudian, ada boneka kelinci kecil yang melompat-lompat mendekatiku. Aku tersenyum melihatnya dan segera mengejar benda lucu itu.
Kelinci kecil itu melewati pagar panti. Tentu saja hal itu makin membuatku penasaran untuk mendapatkannya. Benda itu terus melompat hingga ke ujung jalan kecil. Kaki-kaki kecilku semakin cepat berlari. Tiba-tiba kelinci itu melompat ke dalam mobil jeep berwarna hitam. Aku menengok ke belakang, merasa ragu karena telah berada jauh dari panti.
Mendadak, ada tangan besar yang membekap mulutku dan membopong masuk ke dalam mobil itu. Sekuat tenaga aku meronta dan berusaha untuk teriak, tetapi kekuatan seorang bocah tak ada artinya dibandingkan laki-laki dewasa yang semuanya mengenakan topeng hitam.
Air mata mulai mengalir di kedua netraku, seiring ketakutan yang merambat ke seluruh tubuh. Mobil itu segera melaju dan aku semakin keras menangis tak berdaya. Belum terlalu jauh, mendadak mobil itu berhenti. Hal terakhir yang kuingat sebelum pingsan adalah tangan besar yang terulur padaku dengan gambar tato burung elang.
Aku terbangun dari tidur dengan keringat menetes di dahi dan tubuh gemetar. Aku memeluk kedua kaki dan menyurukkan wajah ke lutut. Air mata mulai mengalir deras. Menangis, adalah langkah awal untuk menyembuhkan. Segala kesakitan berangsur hilang jika kita ikhlas untuk menjalaninya.
Aku, gadis yang selamat dari percobaan penculikan, dua puluh tahun yang lalu. Namun, ingatan buruk itu masih membekas dalam ingatan dan terkadang hadir kembali dalam mimpi di malam panjangku. Satu hal yang pasti, bahwa lelaki pemilik tato burung elang itu adalah penyelamatku.
***
Pagi ini aku terbangun dengan mood yang buruk. Setelah sarapan dan menyiapkan makanan kering untuk Leonard, aku segera menuju panti untuk mengambil sepeda motor. Kulihat kondisi Ibu sudah membaik. Wajahnya tersenyum melihat kalung dengan liontin anak kunci menggantung di leherku.
“Ada apa, Mika?” tanyanya.
“Gak ada apa-apa, Bu,” elakku.
“Jangan memendam sendiri perasaanmu. Berbagilah. Seperti kau yang suka berbagi untuk adik-adikmu di sini.” Wajah Ibu tampak menyelidik. Naluri seorang ibu memang sangat mengerikan. Ada sedikit saja yang salah dengan anaknya, pasti ibu akan menyadarinya.
“Mika mimpi buruk lagi, Bu,” jawabku pelan sambil menunduk.
“Mimpi seburuk apa sampai kau yang sudah sebesar ini jadi takut?” Ibu tersenyum.
“Pria dengan tato burung elang, Bu.” Aku menatap Ibu.
Wajah Ibu berubah. Wanita itu langsung memeluk dan mengusap punggung seperti yang biasa ia lakukan dulu untuk menenangkanku.
“Oh, Sayang …,” keluhnya.
“Pria itu memang penyelamatku kan, Bu?” tanyaku.
Ibu mengangguk. Ia menatapku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan.
“Dia penyelamatmu. Dia benar-benar orang baik, Mika.”
Aku mengangguk-angguk.
“Oh iya, semalam Saka ke sini,” ujar Ibu sambil berdiri, mengecek bunga anggreknya.
“Oh,” sahutku singkat.
“Dia lelaki yang baik, Mika.” Ibu tersenyum simpul, mencoba meledekku.
Aku meraih tas dan mencium tangan Ibu. “Sudah ya, Bu. Mika pamit mau berangkat kerja.”
“Lah, malah kabur!” Ibu tertawa makin keras di belakangku.
***
[malam ini mulai berburu, yuk!] Aku mengirimkan pesan lewat aplikasi kepada Saka.
[siap. Mau dibawain apa nanti malam?] Saka segera menjawab, tak lupa ia menyertakan emoticon tawa terbahak-bahak.
[apa aja yang penting bikin kenyang]
[ok, partner]
Partner? Memangnya kau mau disebut apa, Mikaila? Teman? Lebih dari teman? Aku menertawakan kebodohanku sendiri.
***
Pukul tujuh malam, Saka tiba. Dia membawakanku nasi goreng yang langsung kulahap.
“Kamu mau?” tanyaku.
Setelah melepas jaket, Saka duduk di hadapanku. “Enggak, ah,” jawabnya.
“Ya udah kuhabisin sendiri.”
“Iya soalnya aku udah kenyang lihat kamu makan.”
Aku mendelik melihatnya tertawa lebar. Tiba-tiba ia menghentikan tawanya.
“Kalungmu baru?” tanyanya.
“Ini warisan dari ibu kandungku, Ka. Ternyata celemek ajaib itu juga.”
Saka membelalakkan mata. Aku segera menceritakan semua padanya.
“Wow!” Saka berdecak. Entah apa yang ada di pikirannya.
“Sepertinya, ibu kandungmu sama ajaibnya seperti kamu, Mi.”
Aku melempar bantal kursi ke mukanya yang tengil.
Selesai makan kami segera ke ruang kerja. Saka menyalakan perangkatnya dan layar menunjukkan tampilan dari CCTV di sebuah rumah yang tampak mewah. Dari profil yang dikirim Saka kemarin, aku langsung mengenali Ratman Handoyo. Pria itu berada di antara seorang wanita dengan tampilan bak sosialita dan seorang lelaki yang tampak biasa-biasa saja. Di belakang mereka berdiri seorang pria yang berdiri tegak dengan sikap waspada.
Tiba-tiba dadaku berdetak kencang. Ada tato burung elang di lengan kanan pria itu! Aku menutup wajah, ingatan buruk itu kembali melintas.