bab 3. Jejak Mimosa


“Pantesan dibuang sejak bayi, adatnya jelek banget sih!”

“Nggak usah deket-deket dia. Troublemaker.”

Sejak kecil, aku sudah terbiasa mendengar ucapan menyakitkan seperti itu. Usia sekolah dasar, aku masih menangis meraung-raung, mengadukan perlakuan tidak menyenangkan dari teman-teman kepada Ibu. Beliau selalu memeluk dan mengusap punggungku, mengatakan semua baik-baik saja. Ibu selalu berkata bahwa Tuhan telah mengirimku untuk memberi warna indah dalam hidupnya. Mendengar perkataannya, aku selalu merasa lebih baik.

Memasuki usia SMP, aku mulai berontak. Tidak ada lagi yang berani mengintimidasi secara langsung, hanya bisik-bisik di belakang yang tak ada artinya untukku. Jika sampai ada yang berani, maka aku akan melawan, entah itu laki-laki atau pun perempuan.

Masa-masa SMP, Ibu selalu bolak-balik ke sekolah akibat kelakuanku. Pernah sampai berurusan dengan anak seorang pejabat daerah. Vinalah yang lebih dulu memulai pertengkaran dengan mengataiku anak miskin dan bau. Aku masih diam dan menatap tajam padanya. Namun, gadis itu terus mengoceh tentang sikap urakanku dan terakhir, tentang Ibu.

“Sampe sebengal itu pasti ibu pantinya nggak ngurusin tuh! Sama-sama nggak beres.” Ucapannya berhasil memantik api dalam dada.

Aku berdiri dari kursi dan dengan cepat mendorong bahunya ke tembok.

“Minta maaf, enggak?” desisku, marah. Kutarik kerah baju gadis itu.

Vina menatapku dengan pandangan yang tak setengil tadi.

“A-apa?” cicitnya.

“Kamu boleh mengataiku apapun, tapi tidak dengan ibuku!”

Vina melirik kawannya, sepertinya meminta bantuan. Namun, aku tak mau kalah cepat. Dengan sekali tarik, aku menjambak rambutnya ke belakang. Gadis itu mengaduh, kewalahan meladeni kekuatanku. Teman-teman satu gengnya berusaha untuk melerai, tetapi sia-sia.

Semua itu berakhir di ruang guru BK dengan hasil akhir dia menangis tersedu dengan rambut acak-acakan sementara aku diam membisu mendengar teguran dan wejangan dari Pak Guru. Ibu datang tak lama kemudian, memohon maaf atas perilaku barbarku. Kedua orang tua Vina yang merupakan pejabat juga datang. Marah dan tidak terima anak gadisnya telah kuacak-acak rambutnya, mereka hendak menuntutku untuk dikeluarkan dari sekolah. Namun, setelah mengetahui aku adalah salah satu anak panti asuhan, mereka membatalkannya. Mungkin, melawan rakyat jelata yang lemah bisa menurunkan pamor mereka.

Setelah itu reputasiku makin tidak jelas. Anak panti yang bermasalah. Mungkin itulah mengapa tidak ada yang mau mengadopsiku hingga besar. Entahlah. Namun, aku berusaha membayar kesusahan hati Ibu karena ulahku dengan mengejar nilai akademik. Aku belajar dengan serius dan membuktikan menjadi lulusan terbaik ketiga di sekolah.

“Nduk,” panggil Ibu, membuyarkan seluruh kenangan masa laluku.

“Ya, Bu.” Aku tersenyum dan memegang jemari Ibu.

“Rasanya baru kemarin, Ibu menimangmu. Menemukanmu dalam keranjang rotan—”

“Di suatu pagi berhujan. Iya, Mika udah sering dengar dari Ibu. Ada ya, hujan-hujan buang bayi. Untung aja aku nggak mati kedinginan,” selaku, kesal.

Tawa Ibu terdengar menenangkanku.

“Sebetulnya hari itu bukan Ibu yang memberimu pelukan hangat, tetapi kau yang menghangatkan hati Ibu yang beku,” ujar Ibu sambil menatapku penuh kasih. “Terima kasih Mika telah hadir dalam hidup Ibu,” imbuhnya.

Aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Selama ini, aku selalu bergantung pada Ibu.

“Bayi merah dalam keranjang, sebuah celemek warna biru dan kotak kayu berukir. Ibu nggak akan lupa pagi itu.”

Aku terkejut dan menatap mata Ibu. “Lho, celemek itu dari Ibu, ‘kan?”

“Iya, tapi itu Ibu temukan di keranjang bayimu,” sahut Ibu.

Aku terkejut ternyata celemek itu berasal dari orang tua kandung yang telah membuangku. Setahun yang lalu, aku sangat tertarik tentang kuliner dengan belajar membuat macam-macam kue dan masakan. Mendengar ceritaku, Ibu mengirim celemek cantik berwarna biru. Belakangan kutahu dari sakunya terdapat alat-alat yang ajaib. Aku jadi bertanya-tanya, siapakah jati diri orang tuaku?

Melihatku terdiam, Ibu tersenyum dan meraih tanganku.

“Lemari Ibu di kamar, laci paling atas. Ada kotak kayu kecil. Itu milikmu, Mika. Ambillah,” ujar Ibu lembut.

Aku masih terdiam menatap Ibu saat Lana dan Sekar kembali. Tak lama kemudian, datanglah Bu Sinta dan Mas Bagas. Suasana pun menjadi ceria.

***. 

Sudah jam setengah sembilan malam ketika aku tiba di depan panti. Sebuah papan kayu tua bertuliskan ‘Panti Asuhan Kasih Ibu’ berdiri tegak di halaman. Mendengar suara motorku, Pak Amin segera keluar dari pos jaganya.

Lelaki tua itu tersenyum setelah aku melepas helm.

“Eh, Mbak Mika. Dari rumah sakit, ya? Gimana keadaan Bu Kasih, Mbak?” tanyanya.

“Udah mendingan, Pak. Mungkin besok sudah bisa pulang,” jawabku.

“Oh, syukurlah.”

“Saya masuk dulu ya, Pak.” Aku berpamitan pada Pak Amin dan segera masuk ke dalam rumah.

Bu Robiah membukakan pintu dan memelukku. Sepertinya memang sudah lama aku tidak berkunjung ke panti. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai tenaga admin kantor dari pagi hingga sore dan ‘perburuan’ di malam hari bersama Saka.

“Adik-adik sudah tidur ya, Bu?” tanyaku setelah menyerahkan buah tangan pada Bu Robiah.

“Sepertinya sudah. Mika mau nginep di sini?”

Aku mengangguk. Sepertinya di panti sedang kekurangan orang dewasa karena Bu Sinta dan Mas Bagas harus menemani Ibu di rumah sakit. Setidaknya, aku harus membantu adik-adik di sini.

“Bu, saya mau ijin ke kamar Ibu. Tadi sudah bilang waktu di rumah sakit,” jelasku pada Bu Robiah.

Wanita itu mengangguk lalu berbalik ke kamarnya.

Aku memasuki kamar Ibu. Kasih Andara. Itulah nama Ibu, pemilik panti ini. Ruangan dengan nuansa krem itu tampak sederhana. Sebuah ranjang tertata rapi dengan sprei cokelat dengan motif bunga kecil. Di sebelahnya terdapat meja kecil tempat lampu tidur terpasang. Kemudian, di depan jendela ada sebuah meja kayu yang terlihat elegan. Di atasnya terdapat beberapa buku milik Ibu yang tertata rapi.

Aku melirik sebuah lemari kayu jati yang lumayan besar di pojok kamar. Lemari dua pintu itu tampak kokoh dengan ukiran di bagian atasnya. Sesuai pesan Ibu, aku membuka laci paling atas dan meraih sebuah kotak kayu. Berukuran kurang lebih 10x10 cm, kotak itu tampak klasik dengan ukiran di sekelilingnya.

Aku berjalan dan duduk di atas ranjang Ibu. Aku terdiam cukup lama memandangi kotak kayu yang masih tampak terawat itu, mencoba menebak isinya.

Dengan tangan sedikit bergetar, aku membukanya. Sebuah kalung dengan liontin berbentuk kunci terpampang di depanku. Aku mengambil kalung itu dan sebuah kertas pun jatuh. Sudah tampak tua, tapi masih terlihat jelas tulisannya.

“Sayangku,
Namamu adalah Mikaila.
Kau adalah malaikat kecil yang telah mengubah seluruh hidupku.
Jadilah seperti apa yang kau mau.
Tetaplah menjadi wanita yang kuat.
Ibumu,
Mimosa.”

Ada yang luruh dalam dada. Kesakitan, dendam, dan perasaan ditinggalkan seketika lenyap. Kali ini muncul sesal yang mendalam karena selama ini telah membenci orang tua kandungku. Aku menekuk lutut, membungkam mulut agar tangisan ini teredam.

Kata-kata dalam surat itu begitu lembut. Ada cinta yang terasa begitu kuat ketika membacanya. Tidak mungkin orang selembut ini membuangku tanpa alasan yang kuat. Apa yang terjadi, Ibu, hingga aku berakhir di panti asuhan kecil ini?