Tubuhku kembali bergetar. Saka terkejut melihatku. Dia bertanya apa yang terjadi. Namun, aku terus membisu dan menutupi wajah dengan kedua tangan.
Akhirnya lelaki itu merangkul dan mengelus punggungku. Aku menyurukkan wajah di dadanya, mencoba menenangkan diri.
“Mika, ini Saka.” Lelaki itu membisikkan kata-kata itu berulang kali di telingaku.
Beberapa saat kemudian, aku menjadi tenang. Sadar akan posisi kami yang berpelukan, aku langsung melepaskan diri dari Saka. Lelaki itu hanya diam dan mengamatiku.
“Mika, sebenarnya ada apa?” tanyanya pelan.
Aku merasa bimbang untuk mengatakan kisah ini padanya. Selama ini hubungan kami profesional, tak lebih dari sekadar patner berburu. Selama ini aku tak tahu tentang kehidupan Saka yang sebenarnya. Pekerjaan, keluarga, atau hal-hal lain di luar ‘perburuan’ kami. Yang kutahu, dia seorang jenius dalam bidang IT yang berpenampilan semaunya.
Aku jadi teringat saat pertama kali bertemu dengan Saka pada Juni tahun lalu. Kira-kira tak lama setelah kuterima celemek ajaib dari Ibu. Sore itu hujan turun tiba-tiba saat jam pulang kantor. Aku segera berlari ke halte bus. Tak lama kemudian, bus yang akan membawaku ke kontrakan pun tiba. Saat itu memang aku masih tinggal di kontrakan tiga petak yang membutuhkan waktu tempuh tiga puluh menit dari kantor.
Aku segera memasuki bus dan mencari tempat duduk. Beruntung, masih banyak kursi kosong. Kurapatkan jaket dan melipat tangan di depan dada, berusaha menepis rasa dingin. Tiba-tiba seorang lelaki duduk tepat di sebelahku.
Aku mengerutkan kening, mengamati sosoknya. Bercelana jeans lusuh dan jaket hitam yang basah karena hujan, lelaki itu mengenakan topi yang menutupi wajahnya.
Masih banyak kursi kosong, kenapa harus duduk di sini? pikirku sebal.
Merasa kuamati, lelaki itu menoleh dan tersenyum.
“Nggak papa duduk di sini, ‘kan?” tanyanya.
“Sebetulnya apa-apa, sih. Jadi sempit,” jawabku datar. “Lagian, masih banyak kursi kosong.”
Tiba-tiba ia tertawa keras. “Aku suka, nih cewek blak-blakan kayak kamu,” sahutnya kemudian.
Aku makin mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela.
“Hei, Nona. Aku suka gaya kamu.”
Demi kesopanan, aku menatapnya lagi. “Oh, terima kasih.”
Kemudian, aku mulai memasang head set dan bersiap memutar lagu dari gawai. Ia tertawa melihat tingkahku.
Setelah hampir sampai di tempat tujuan, kulepas head set dan bersiap turun dari bus. Dengan sopan, aku meminta izin untuk lewat pada lelaki aneh tersebut. Dia pun mengangguk, sama sopannya, untuk membiarkanku lewat. Namun, setelah aku turun dari bus, tiba-tiba ia mengikuti.
Aku berbalik dan menatapnya tajam, merasa terganggu akan sikapnya yang seperti seorang penguntit.
“Ngapain kamu?” tanyaku galak.
Lelaki itu menunjukkan cengiran jahilnya.
“Ada yang nyangkut tadi. Makanya aku ikut turun,” jawabnya ringan.
Aku segera memeriksa dan tak ada apapun miliknya yang tersangkut padaku. “Gak ada apa pun, tuh!” sahutku ketus.
“Emang ada yang nyangkut, kok.” Saka tersenyum. “Hatiku,” lanjutnya.
Akhirnya batas kesabaranku pun habis. Ingin rasanya kutampol mukanya yang cengar-cengir enggak jelas itu. Namun, yang kulakukan hanya melihatnya dengan tatapan yang datar dan segera beranjak pergi.
“Eh, tunggu.” Saka berlari mengejarku. Dia mengulurkan tangannya. “Aku Saka,” ujarnya.
“Oh,” sahutku singkat.
“Cuma ‘oh’?” Lelaki itu mengangkat alisnya.
Aku mengangkat bahu dan meneruskan langkah.
***
“Mi … Mika,” panggil Saka, membawaku kembali ke ruang kerja kami. Aku mengerjapkan mata, menatapnya.
“Lelaki itu dulu yang menyelamatkanku dari penculikan, Ka.”
Akhirnya kuputuskan untuk berbagi cerita dengannya. Saka mendengarkan semuanya dengan tenang. Sesekali ia menatap tajam padaku, entah apa yang ada di pikirannya.
“Jadi kamu mau ‘ambil’ ini atau tidak? Kalau enggak, aku aja yang pergi mengintai,” ucap Saka setelah aku selesai menceritakan semuanya.
Aku terdiam beberapa saat. “Aku yang pergi, Ka. Setidaknya untuk mengucapkan terima kasih telah menolongku saat itu.”
Saka tersenyum. “Aku mengawasimu dari sini, Mi.”
Aku mengangguk dan mulai bersiap untuk mengintai malam ini.
***
Baru pukul delapan malam ketika aku melintasi ruang dan waktu dan tiba di Jekardah. Kali ini aku muncul dari ujung gang sempit yang temaram. Kulangkahkan kaki menuju rumah milik Ratman Handoyo yang berada tak jauh dari sana.
Rumah mewah bergaya Mediteran itu tampak gagah, sangat cocok dengan pemiliknya yang merupakan seorang CEO kelas kakap. Sebuah taman bunga yang indah tampak di halaman depan yang sangat luas. Sebuah pos security tampak di pojok kanan, berbatasan dengan pagar besi yang menjulang.
“Tingkat pengamanannya tinggi, nih,” bisikku melalui head set.
“Tenang aja,” sahut Saka sambil tertawa. “Jalan terus ke sisi kiri. Pagar segitu bisa, ‘kan?”
Aku mengikuti panduannya. “Bisa dong.”
Di depan sana tampaklah pagar setinggi dada orang dewasa. Tubuh mungilku memudahkanku untuk melompatinya.
Hap! Aku mendarat mulus di atas rerumputan hijau di dalam rumah mewah itu. Saka memberitahuku untuk mengendap-endap melewati teras dengan pilar-pilar yang tinggi. Dindingnya yang berwarna putih kekuningan memberikan kesan natural. Sementara itu jendela-jendela tinggi dengan lengkungan setengah lingkaran di bagian atas, semakin memperindah tampilan rumah itu.
Di ruang tamu, pertemuan itu masih berlangsung. Pembicaraan mereka bisa dengan mudah Saka dengar. Tugasku adalah memasang kamera pengintai super mini ciptaan Saka pada mobil-mobil mereka. Hal ini sangat sulit karena dijaga ketat oleh para pengawal pribadi mereka.
Aku mengintip bagian garasi di mana mobil-mobil mewah itu terparkir. Sebuah Toyota Alphard, Lamborghini, dan Ferrari berwarna merah berdiri dengan gagahnya. Beberapa pria berperawakan tegap tampak mengobrol di dekatnya. Dari balik pepohonan, aku mengintip mencari celah mereka.
“Pertemuan itu udah selesai, Mika. Cepat beraksi!” seru Saka.
Samar terdengar suara-suara di belakang. Dengan segera kuraih stop watch dan menekan tombol merahnya. Aku segera berlari menuju mobil-mobil itu ketika waktu berhenti.
Aku membuka pintu Ferrari itu dan segera memasang kamera di bagian bawah kursi pengemudi. Kulakukan hal yang sama pada kedua mobil lainnya. Masih ada lima menit tersisa.
Segera aku berlari mendekati rombongan yang akan keluar dari rumah itu. Aku melihat pria dengan tato elang itu sepertinya mulai berjalan. Ratman Handoyo malah sudah hampir sampai di garasi sementara tamu yang lain mengikutinya di belakang.
Sekuat tenaga, aku menyeret tubuh pria penyelamatku ke titik yang tidak tersorot CCTV. Tubuhnya yang tinggi besar agak menyulitkan. Aku berhasil menahannya ke tembok dan menutup mulut pria itu tepat saat stopwatch-ku berbunyi. Pria itu tampak kebingungan.
Saka pun berteriak di kupingku, “Apa-apaan kamu, Mika?”
“Pak, saya mau berterima kasih kepada Bapak,” ucapku, perlahan melepaskan tangan dari mulut pria itu.
Pria itu bergerak waspada. “Siapa Anda? Mengapa bisa ada di sini?”
“Saya anak dari panti yang Bapak selamatkan dua puluh tahun yang lalu.”
“Panti?” tanyanya bingung.
“Iya, Panti Asuhan Kasih Ibu.”
Tiba-tiba ia memegang kepalanya sembari mengerutkan kening. Sepertinya ia kesakitan, tetapi kenapa? Terdengar keriuhan, mungkin mereka mencari pria bertatoo elang ini.
“Lari lewat sela-sela pohon itu, Mika! Aku retas CCTV sebelah situ. Langsung pulang dari situ, enggak usah nunggu keluar!” perintah Saka.
Bergegas aku melakukan perintah Saka, mencari gagang pintu ajaib dan segera mengacungkannya ke udara. Bersiap pulang.