Bab 1. One Mission


Aku membetulkan letak kacamata, lalu menatap fokus pada layar televisi. Leonard—kucing anakan anggora—mendengkur malas di pangkuanku. Aku mengelusnya, merasakan kelembutan setiap bulu-bulunya. Di layar datar berukuran empat puluh inci itu, tampaklah seorang politikus kondang sedang berbicara dengan penuh percaya diri. Aku tersenyum, muak. Ada yang perlahan menggelegak di dalam perut menatap kelihaian orang itu berorasi. Kutekan tombol ‘off’ pada remot kontrol ketika mendengar ketukan di pintu.

Aku melangkah ke pintu depan dan membukanya. Seorang lelaki berdiri dengan cengiran nakal menghiasi wajahnya. Dia mengenakan kaos putih di balik kemeja kotak-kotaknya dan celana jeans dengan sobekan di bagian lutut. Dialah Saka, seorang jenius yang merupakan patnerku.

“Malem banget, sih?” sungutku sambil berbalik. “Jangan lupa kunci pintu!”

“Iya, antri martabak dulu, nih,” jawab Saka.

“Buruan udah malem, nih!” seruku mulai tak sabar.

Mendengar kedatangan Saka, Leonard langsung melompat dan mengeong menyambutnya. Sepertinya kucing putih itu menyukai Saka. Lelaki itu tersenyum dan mengelus Leonard. Aku mendengkus sambil menuju sebuah ruangan.

“Saka!” Aku berteriak memanggil lelaki itu. Samar kudengar sahutannya.

Tak ada yang aneh dengan ruangan itu. Hanya sebuah ruang kerja minimalis dengan nuansa abu-abu tua. Sebuah meja kayu besar berada di tengah ruangan dengan tiga buah layar berderet di atasnya. Di depannya, terdapat rak panjang penuh buku koleksiku. Sambil menunggu Saka, aku berjalan menuju jendela dan membuka sedikit tirainya. Dari lantai tiga apartemen ini, kulihat cahaya berpendar di bawah sana. Tanpa sadar aku menghela napas.

Aku berjalan menuju meja dan menyalakan tiga buah layar itu sekaligus. Saka masuk dan berdiri di belakangku sambil menenteng piring berisi martabak yang baru dibelinya.

“Mau?” tanyanya sambil menyodorkan piring. Aku mengambilnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar di depanku.

Layar pertama menampilkan seorang pria perlente di dalam sebuah mobil mewah sedangkan layar kedua menunjukkan si politikus kondang sedang menonton liputan tentangnya di sebuah ruangan hotel. Tatapanku beralih pada layar ketiga yang menampilkan sorotan CCTV di berbagai tempat yang berhasil ‘dikuasai’ Saka. Tiba-tiba gawai si politikus berbunyi. Dengan sigap aku menekan sebuah tombol untuk mendengar suaranya.

“Halo, selamat malam, Pak. Iya, saya sudah di ‘titik nol’. Oh, tenang saja. Saya lagi nggak sibuk, kok.”

Aku tersenyum menatap Saka. “Saatnya OTT.”

Lelaki itu hanya mengangguk-angguk sambil menunjukkan ibu jarinya.

Aku menoleh ke kiri dan menatap sebuah pintu kayu dengan banyak ukiran klasik di sekelilingnya. Tidak terlalu besar, tetapi tampak gagah dan elegan. Di sebelahnya, tergantung sebuah celemek berwarna biru dengan hiasan sulaman cantik di bagian sakunya.

Dengan cepat, kukenakan hoodie warna hitam dan sneaker favorit. Aku mengambil celemek cantik itu dan memasukkannya ke dalam tas punggung. Kusentuh gagang pintu berwarna kuning emas itu, lalu perlahan membukanya.

“Jekardah,” ucapku pelan.

Pintu pun terbuka. Kupejamkan mata sesaat karena cahaya menyilaukan netra. Aku melangkahkan kaki dan menutup kembali pintu itu. Kutarik gagang pintu dan memasukkannya ke dalam saku hoodie. Perlahan, pintu itu pun lenyap dari pandangan.

Aku berjalan santai, keluar dari sebuah taman kota. Suasana hiruk pikuk Jekardah pun menyambutku.

***
Aku memasuki kafe yang berada tepat di seberang sebuah hotel bintang lima. Kupesan segelas espresso dan mencari kursi di dekat jendela karena itu merupakan spot favoritku. Aku sedang memasang wireless headset ketika sebuah Porsche putih memasuki pelataran hotel itu. Tak lama kemudian, seorang pria tambun dengan tampilan perlente berjalan memasuki lobi. Seorang pengawal pribadi tampak mengikutinya sambil menggendong ransel di punggung.

“Target udah masuk.” Kudengar suara Saka di telinga.

Aku menghirup aroma espresso dan menyesapnya. Menikmati setiap tetesnya yang melewati kerongkongan dan membuat mataku tetap nyalang di gelapnya malam. Mataku beralih ke telepon pintar dalam genggaman. Di layar berukuran 5,5 inci itu, tampaklah si pria tambun sedang bersalaman dan berbasa-basi dengan politikus kondang yang duduk di kursi Dewan itu.

“Pokoknya Pak Andreas tenang saja. Yang penting tolong pastikan tender itu diberikan pada perusahaan kami. Fee 15% buat Bapak,” ucap pria tambun itu sambil tertawa.

Orang yang dipanggil ‘Pak Andreas’ pun tampak berpikir sejenak. Cepat-cepat kutekan tombol untuk merekam.

“Kalau 20% gimana Pak Lucius?” tanya Pak Andreas mulai bernegoisasi.

“Jangan lah, Pak. Ini saya bawakan tiga puluh ribu untuk Bapak. Dollar Amerika.” Pria tambun itu kembali tertawa lebar.

Mata Pak Andreas tampak berbinar. Ia tertawa renyah, lalu menjabat tangan Pak Lucius.

“Deal.”

Aku menggelengkan kepala, menahan muak dalam dada. Berjalan ke luar kafe, aku disambut gerimis kecil yang tiba-tiba turun.

“Pakai tudungmu, sepertinya hujan,” ucap Saka dari seberang sana.

Aku berlari menyeberang jalan sambil mengenakan tudung hoodie dan berpapasan dengan Porsche putih yang meninggalkan hotel.

Aku berlari menuju parkir bawah tanah hotel itu, menghindar dari jangkauan CCTV. Tentunya dengan arahan Saka. Kunaiki anak tangga menuju lantai tiga, tempat target berada. Sudah beberapa hari terakhir ini, aku selalu memantau pergerakannya yang tampak mencurigakan. Ternyata dugaanku terbukti hari ini.

Aku mengeluarkan celemek cantik ketika sampai di lantai tiga. Kuraba bagian sakunya dan mengambil sesuatu yang menyerupai stop watch. Aku menekan tombol warna merah di bagian atasnya. Mendadak waktu berhenti. Stop watch itu mulai menghitung mundur. Aku segera berlari menuju kamar target. Waktuku hanya sepuluh menit untuk beraksi.

Kubuka pintu kamar bertuliskan angka 305 itu. Pak Andreas masih duduk di sofa sementara sang ajudan berdiri tegak di belakangnya. Mataku mulai memindai di mana ransel berisi tiga puluh ribu dollar Amerika itu. Ternyata ransel itu ada di atas nakas, dekat ranjang. Aku pun bergegas memindahkan uang itu ke dalam tas punggungku. Semuanya.

Aku segera berlari setelah dollar terakhir berhasil masuk ke dalam tas punggung. Di depan pintu lift, tiba-tiba aku terjatuh karena tali sepatu yang terlepas. Dengan sigap aku berjongkok dan mengikat tali sepatuku dengan cepat.

Aku masih berkutat dengan tali sepatu ketika stop watch di tanganku berbunyi, tanda sepuluh menitku yang berharga berakhir. Tiba-tiba pintu lift terbuka dan tampaklah si pengawal pribadi Pak Lucius di sana. Mata kami bertemu. ‘Sial, kenapa dia balik lagi ke sini?’ rutukku dalam hati.

“Whoaa! Cepat lari, Mika!” Saka berteriak di telingaku.

Tatapan tajam dari si pengawal pribadi yang ternyata masih muda itu membuatku sedikit gusar. Aku pun segera berlari menuju tangga. Derap langkah kaki di belakang mengikuti, tetapi aku terus berlari menuruni anak tangga.

“Dia mengikutimu, Mika!” Aku mendengar Saka berteriak lagi. Sepertinya, ada kepanikan dalam suaranya.

“Damn!” umpatku kesal di antara napas yang tersengal.

Aku mendongak, melihat lelaki muda itu mengejarku. Napasku tersengal seiring degup jantung yang mulai menggila. Sambil terus berlari, tanganku menelusup di saku hoodie mencari gagang pintu.

Akhirnya aku sampai di pelataran parkir bawah tanah dan mencari titik aman. Dengan segera, kuacungkan gagang pintu ajaib itu.

“Pulang!” seruku.

Aku membuka pintu, melangkahkan kaki dan segera menutupnya. Dadaku masih bergemuruh. Tubuhku merosot di depan pintu berukir. Baru kali ini aku hampir tertangkap.

Saka berlari mendekat. “Mika, kamu nggak papa?”

“I’m okay,” ujarku pelan.