Bab 7. Persiapan

Aku kembali ke apartemen dengan terengah-engah. Saka segera mendekat sambil tersenyum.

Good job, Mika. Kamu emang selalu nekad.” Saka menatapku penuh arti.

“Tapi seru, sih,” balasku sambil melepas ransel dan sneaker.

Perlahan aku menghampiri Saka yang telah kembali ke depan layar. Ia mengamati layar yang menampilkan dari Toyota Alphard yang ternyata milik wanita cantik bergaya sosialita yang belakangan kutahu bernama Melluna, pebisnis berlian yang berasal Singapura.

“Mereka mau nyelundupin berlian, Mi,” ujar Saka sambil terus mengamati.

“Wah, bling-bling.” Aku tertawa. “Oh iya, Ka. Uang yang kemarin udah kamu kirim ke panti-panti?” tanyaku.

Saka mengangguk. “Udah sebagian, tapi belum semuanya.”

Aku dan Saka memang sengaja berburu uang kotor dari para bedebah itu dan menyumbangkannya ke korban yang terkena bencana dan panti asuhan di seluruh negeri. Daripada memperkaya orang yang sudah kaya, mendingan dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkan, pikir kami.

“Waktunya udah ditentukan, tapi lokasinya belum, Mi. kita harus terus memantau pergerakan mereka,” ucap Saka.

Aku mengangguk.

Jam di dinding telah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Aku menatap Saka yang masih anteng menghadapi perangkat canggihnya.

“Kenapa? Aku cakep, ya?” tanyanya tanpa menoleh.

Aku tertawa sarkas. “Pulang sana, udah malem!” usirku padanya.

Ia melirik jam di pergelangan tangan kanannya, lalu menatap mataku. “Nggak bisa ya, aku nginep di sini aja?”

“Nggak,” tegasku sambil beranjak ke pintu dan membukanya.

Saka tertawa kemudian keluar. Sebelum pergi, lelaki itu pun jongkok dan mengelus Leonard yang mengikutinya.

Sebelum beranjak tidur, aku kembali memikirkan pertemuanku dengan lelaki bertato elang itu. Semakin dipikir, semakin aku merasa ada yang janggal. Kenapa ia tidak ingat pernah menyelamatkanku dari penculikan? Mengapa pula ia terlihat kesakitan saat aku menyebut nama panti. Besok aku harus menanyakan hal ini kepada Ibu.

***. 

Keesokan harinya, selepas jam kantor, aku segera meluncur menuju panti. Suasana panti yang ramai membuatku merasa hangat. Ibu menyambutku di teras depan. Adik-adik juga turut mendekat, terlebih si kecil Ayu yang langsung duduk di pangkuanku.

Setelah beberapa saat, Ibu memintaku mengikutinya ke kantor. Berbatasan sebuah meja kayu yang terlihat antik, Ibu menatapku lembut.

“Ada apa, Mika?” tanyanya.

Aku menggaruk rambutku yang tak gatal. “Mika mau tanya tentang lelaki bertato elang itu, Bu.”

Ibu mengangguk. “Tanyakanlah.”

“Siapa dia, Bu?” Aku menatap mata Ibu lekat-lekat.

“Namanya Mario.” Sekilas mata Ibu menerawang, seperti mencoba mengingat masa lalu.

“Orang yang sangat baik. Mau menyelamatkanmu dari penculik. Dia juga kadang datang berkunjung dan memberi sumbangan yang begitu banyak untuk Panti,” paparnya. Kedua tangannya menelungkup di atas meja.

“Sangat santun dan berwibawa. Saat kau berumur sepuluh tahun merupakan kunjungan terakhirnya. Sejak saat itu, dia tak pernah muncul dan memberi kabar.” Ada embun di kedua netra Ibu.

“Ibu mencintainya?” tanyaku setelah terdiam cukup lama.

Ibu tertawa pahit. “Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang dia, Mika?”

“Sepertinya aku bertemu dengannya, Bu.”

Ibu menatap mataku dalam-dalam. Entah apa yang ada di pikirannya, tetapi bibirnya hanya diam.

“Masih aku selidiki sih, Bu,” jelasku, berusaha menetralisir suasana.

Ibu tersenyum.

*** 

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam ketika aku tiba di pelataran apartemen. Saka menyusulku dari belakang dan mulai bercerita tentang banyak hal. Aku masuk dalam lift dan mulai menekan tombol angka tiga.

Aku segera membersihkan diri menggunakan shower air hangat, sementara Saka mulai ke ruang kerja. Setelah mengganti pakaian dengan satu stel piyama, aku segera menyusul sambil menggendong Leonard.

Saka terlihat serius menatap beberapa layar di hadapannya. Aku menarik kursi dan duduk di sebelah lelaki itu.

“Gimana perkembangannya, Ka?” tanyaku.

“Kayaknya Jum’at depan mereka beraksi, Mi.” Saka meregangkan tubuhnya sesaat. “Kamu pasti gak nyangka siapa rekanan Rahmat Handoyo,” imbuhnya.

“Siapa?” Aku mengangkat alis.

“Lucius Martin,” jawabnya singkat.

Aku menepuk jidat. Berurusan lagi dengan Pak Lucius, membuatku harus lebih berhati-hati. Hal ini karena pengawal pribadi orang itu sepertinya mengetahui wajahku.

“Kamu harus lebih hati-hati kalau ketemu Lucius, Mi.”

Aku mengangguk.

“Sepertinya mereka bergerak mulai Jumat sore ke pelabuhan. Kita harus mencegatnya di sana soalnya dari pelabuhan mereka akan menuju Pulau Batam,” jelas Saka sambil terus menatap layar.

“Kamu memantau terus mereka siang dan malam?” Tanganku menyentuh dagu dan menatap Saka penuh rasa ingin tahu.

“Siang malam lah,” jawabnya tanpa menoleh.

“Memang kalau siang gak kerja? Eh, sebenernya kerjaanmu di dunia nyata apa sih?”

Kali ini Saka menoleh padaku. Garis bibirnya perlahan terangkat.

“Kamu mulai penasaran dengan kehidupan pribadiku?” Saka balik bertanya sambil menatapku lekat.

Aku mengerjapkan mata dan segera memalingkan wajah ke perangkat di depanku.

“Enggak lah. Cuma tanya, kok,” sahutku.

“Gak sekalian tanya apa aku punya pacar atau enggak?” Nada suara lelaki itu sepertinya mulai meledekku.

“Hah, gak penting!”

Saka tertawa keras.

*** 

Jumat masih dua hari lagi. Kami memantau lewat gawai yang dihubungkan dengan perangkat canggih di ruang kerja. Oleh karena itu Saka tidak perlu datang ke apartemen. Waktu tenang ini aku habiskan untuk latihan muay thai di sasana. Jika berlatih, aku akan ijin untuk pulang cepat dan tidak lembur.

Seperti hari ini, sebelum bel pulang berbunyi, aku sudah membereskan pekerjaan dan meja kerja. Mbak Eva melongokku dari balik mejanya.

“Mau latihan ya, Mi?” tanyanya.

“Iya, Mbak.”

“Kamu nih bener-bener mirip adikku, Mi. Sukanya olahraga beladiri, gitu.” Mbak Eva tertawa.

Setelah bel berbunyi, aku segera melakukan finger print dan meluncur ke sasana dalam waktu lima belas menit. Mas Rio sedang melakukan pemanasan ketika aku tiba di sana. Kuganti baju dengan kaos pendek dan legging berwarna hitam. Tak lupa aku memasang hand wrap di kedua tangan.

Berolahraga membuat tubuh segar dan bersemangat. Saat aku meninju samsak yang diam tanpa daya, kulepaskan semua tekanan hidup. Ya, aku butuh pelepasan untuk melepaskan segala energi negatif yang terkadang mengungkungku. Keringat mengalir di sekujur tubuh, membuatku makin bersemangat untuk meninju dan menendang samsak.

Mas Rio mengajakku untuk sparring. Aku bersiap memasang sarung tinju, bantalan pelindung perut, dan lainnya. Setelah siap, Mas Rio mulai melancarkan pukulan lurus ke arahku. Aku menghindar, dengan kedua tangan siap di depan wajah. Tanganku mulai meninju wajah lelaki itu yang tentu saja dengan mudah ia tangkis.

Sambil melakukan pukulan, aku menekuk kaki dan menendang bagian perut Mas Rio. Lelaki itu mundur beberapa langkah, aku memutar badan kemudian menendang lurus ke arah wajahnya. Kami terus saling serang hingga beberapa menit.

Berolahraga memang sangat menyenangkan. Selain menyehatkan tentu saja.