Saka masih menatapku dengan khawatir. Aku bangkit dan berjalan menuju dapur sementara Saka mengekor di belakang. Kuambil botol air dari lemari pendingin dan meminumnya. Saka duduk dan menatapku sambil bertopang dagu.
“Uh, nyaris saja,” keluhku setelah duduk.
“Apa orang itu melihat wajahmu?” tanya Saka.
Aku terdiam sejenak. Mengingat mata kami sempat beradu, sepertinya orang itu melihat wajahku. Namun, semoga saja tudung hoodie yang kukenakan agak menyamarkan wajah.
“Entahlah,” jawabku akhirnya. “Yuk, banyak yang harus kita urus.”
Saka beranjak dari duduknya, lalu berdiri di belakangku. Ia meletakkan kedua tangannya di pundakku seperti bocah bermain kereta-keretaan.
“Ayo kita selesaikan!” seru Saka sambil tertawa.
Sedikit tersenyum karena ulahnya, aku berjalan menuju kamar dengan didorong Saka dari belakang.
Aku duduk di kursi menatap layar yang masih mengawasi target kami. Saka berdiri agak membungkuk di sebelah kananku.
“Kayaknya ada yang marah, nih.” Saka terbahak.
Aku menatap layar yang menampilkan Andreas menggebrak meja sementara ransel yang tadinya berisi tiga puluh ribu dollar tergeletak kopong di lantai. Sementara itu, Lucius mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah yang mengeras.
“Kirim foto dulu, gih!” seru Saka, tengil.
Aku mengambil gawai dan mulai mengirim foto dan video pada dua target kami. Kemudian mengetik kalimat kesukaanku.
[Saya bisa sebarkan foto dan video ini ke Pers, tapi mungkin ada kesempatan kedua untuk Bapak.]
Tring!
Kedua target mengambil gawai mereka masing-masing dan membacanya. Kontan wajah mereka memerah, menahan amarah.
“This is show time!” Saka tertawa tengil. Tangannya segera menekan tanganku yang masih memegang mouse untuk meng-klik sebuah tombol di perangkat canggih rakitannya.
Duarr!!
Kemudian kamera pengintai di hotel dan Porsche pun meledak. Jejak pun terhapus sempurna. Aku tersenyum kecil menatap Saka. Saatnya menentukan perburuan berikutnya.
***.
“Sunday morning rain is falling …
Steal some cover share some skin …
Clouds are shrouding us in moments are forgettable …
You twist to fit the mold that I am in …”
Suara Adam Levigne mengalun merdu dari gawaiku. Aku menatap jendela dan hujan sedang turun di luar sana. Hari minggu dan hujan adalah kombinasi yang pas untuk bermalas-malasan. Aku menarik selimut dan kembali meringkuk.
Tiba-tiba gawaiku berhenti memutar lagu, lalu bergetar terus. Dengan malas kulihat siapa yang menganggu sepagi ini. Saka memanggil. Huh!
Aku menempelkan telepon pintar ke telingaku dan bertanya dengan malas, “Ada apa?”
Terdengar tawa jahil khas Saka dari seberang sana.
“Ini udah siang, Non. Jam setengah sepuluh,” sahut Saka.
“Biarin, ada apa? Penting banget?” desakku tak sabar.
“Enggak, cuma ngecek aja, masih hidup apa enggak?”
Aku mendelik sebal, lalu mematikan sambungan telepon dan menyetel pada mode pesawat. Lagu favoritku kembali mengalun. Aku meregangkan tubuh dan sepertinya perut mulai keroncongan meminta jatah.
Aku terduduk di atas ranjang, menatap hujan yang turun semakin deras di luar sana. Dengan malas aku berjalan ke dapur untuk membuat susu cokelat. Beruntung, martabak sisa semalam masih ada, lumayan untuk sarapan.
***
Aku meninju samsak di depan tanpa ampun. Peluh menetes, membasahi tank top hitamku. Sesekali aku melakukan tendangan. Dengan kaki kiri sebagai tumpuan, kupusatkan kekuatan pada kaki kanan dan mulai menendang dengan sekuat tenaga. Samsak bergoyang tak terkendali. Tak terasa sudah setengah jam aku melakukan pemanasan.
Sore ini kondisi sasana tidak terlalu ramai. Hanya terlihat aku, seorang ibu muda dan dua lelaki yang sedang berlatih. Sudah menjadi rutinitasku untuk berlatih muay thai di sini. Selain untuk kebugaran, aku juga mempelajarinya untuk pertahanan diri.
“Cukup, Mika. Mau sparring?” tanya Mas Rio, trainer-ku. Lelaki dengan tinggi 175 itu mendekat dan memegang samsak di depanku.
Sambil mengatur napas, aku mengelap keringat di dahi dan segera mengangguk. Berjalan menepi, kuambil botol air dan menenggak habis isinya. Aku sedang membetulkan hand wrap ketika gawai yang berada di tas bergetar terus.
Lana memanggil. Keningku berkerut, bertanya-bertanya ada apa sampai dia meneleponku. ‘Biasanya dia selalu chat,’ pikirku.
“Halo, Lan,” sapaku.
“Halo, Mbak Mika. Ibu pingsan. Ini lagi di rumah sakit.”
Jawaban dari Lana membuatku terkejut.
“Apa? Ibu kenapa, Lan? Di rumah sakit mana?” Aku memberondong Lana dengan pertanyaan.
“Medika Sehat, Mbak.”
“Oke, aku ke sana sekarang.”
Aku menutup telepon dan mulai membereskan barang. Mas Rio menatapku karena mendengar percakapan barusan.
“Siapa yang sakit, Mika?” tanyanya setelah mendekat.
“Ibuku. Mas aku cabut dulu, ya.”
Mas Rio mengangguk. “Semoga ibumu cepat pulih, Ka.”
“Terima kasih, Mas.” Aku tersenyum dan segera berlalu.
***.
Setengah jam kemudian, aku telah tiba di Rumah Sakit Medika Sehat. Rumah sakit ini memang tidak terlalu besar, tetapi terlihat cukup nyaman. Aku mematikan mesin Honda Beat dan segera memasuki gedung rumah sakit.
Setelah bertanya di bagian informasi, aku segera menuju ruangan Rafflesia, tempat Ibu dirawat. Ruangan itu tidak terlalu jauh dari pintu depan. Aku mengetuk pelan pintu bertuliskan ‘Rafflesia 7’ dan segera membukanya.
Sekar tersenyum melihat kedatanganku. Gadis belasan tahun itu masih mengenakan seragam biru putih. Dia menghampiri dan segera mencium tanganku. Aku pun balas memeluk tubuh kecil itu.
“Di mana Mas Lana?” tanyaku pelan.
“Lagi sholat, Mbak.”
“Udah makan belum?” tanyaku lagi.
Gadis itu menggeleng pelan.
“Sekar baru pulang sekolah pas Ibu pingsan, Mbak,” sahutnya. Seketika wajahnya mendung.
Aku mengelus kepalanya yang tertutup kerudung putih. Aku membuka dompet dan mengangsurkan selembar uang padanya.
“Makan dulu sana,” saranku.
Dia tersenyum dan mengucap terima kasih.
Aku mendekati ranjang dan Ibu masih tertidur. Kulihat jarum infus di tangan kirinya. Tanpa sadar aku mengeluh dalam hati. Kuambil tangan kanan Ibu dan menciumnya perlahan. Sambil menggenggam tangan yang mulai berkeriput, aku menatap wajah perempuan yang telah membesarkanku itu. Betapa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin aku berlari ke pelukannya dan menangis meraung-raung.
Aku memandang sekeliling. Ruangan ini terdiri dari empat ranjang yang semuanya telah terisi. Di pojok dekat jendela ada seorang bapak ditemani wanita yang sedang mengupas sebuah apel. Wanita itu tersenyum dan aku membalasnya sambil menganggukkan kepala.
Melihat apel, aku merutuk dalam hati. Saking terburu-burunya ingin cepat sampai di sini, aku lupa membeli buah tangan untuk Ibu.
Jari Ibu bergerak lemah dalam genggamanku. Aku terkejut dan menatap Ibu yang tersenyum lemah.
“Mika …,” lirih Ibu.
“Ya, Bu. Mika di sini,” jawabku serak.
“Ibu nggak papa, cuma kecapekan aja,” ucap wanita itu sambil meremas lembut tanganku.
Aku tersenyum. Ibu selalu begitu, selalu berkata bahwa semua baik-baik saja. Darinya aku belajar bahwa wanita itu harus kuat.
“Ibuku memang orang yang paling bugar sedunia,” sahutku lembut.
Ibu tertawa pelan.
“Mika, apa kamu masih tidak ingin mencari orang tua kandungmu?”
Aku terdiam cukup lama. “Buat apa mencari orang yang telah membuang Mika, Bu,” jawabku mantap sambil menatap mata Ibu dalam-dalam.
Bersambung.