Kecelakaan


Helena Aurelia Jasmin, Selebritis yang pesonanya tidak pernah padam, sedari bintang cilik hingga dewasa seakan kehidupannya adalah santapan sarapan publik.

Lahan makan para wartawan, perempuan berkulit putih kemerahan bak ratu negeri Saudi itu mengeluarkan suara tangisan pertama kali di dunia tepat tiga puluh lima tahun yang silam. 

*Buka dulu topengmu biar kulihat wajahmu … 

Buka dulu topengmu …. *

Sepertinya gadis berlensa abu-abu itu sedang menikmati lagu yang pernah viral dan penyanyinya ikutan viral. Sesekali dentum musik membuat kepalanya geleng kanan-geleng kiri, menikmati perjalanan.

 Lima jam sudah ia dalam perjalanan, setelah dua puluh lima tahun sejak namanya terkenal di jagad nasional, Ia tidak merasa sebebas sekarang. Sesekali tersungging senyum lebar.  

Tujuannya satu--pantai Kahona di daratan pulau Mahoni. Sebuah pantaai indah sepi penghuni di sudut pulau Sulawesi. 

Di kelilingi hutan-hutan belantara, jalanan aspal mulus tanpa lobang, sebab medan jalan yang bagus.

 Helen-- begitu orang-orang memanggilnya.

Menginjak gas lebih dari biasa saat kemudikan kendaraan. Kiri-kanan rumah panggung mendominasi pemandangan, suatu santapan keindahan di netra berbulu lentik itu.

Setelah dua puluh lima tahun, sejak paparazzi menganggap wajah Helena komersil, akhirnya ia bisa bersiul di tengah rakyat biasa. 

Siapa tak kenal Helena, dari hal remeh hingga hal luar biasa, umum dan pribadinya semua diulek menjadi konsumsi para jelata dan lainnya. 

’Selamat datang di Mahoni Farm’

Helena memamerkan gigi-gigi putih pada kaca spion. Membaca palang papan pemberitahuan lokasi ia berada. Rasanya Ia seperti terlahir kembali, perdana melakukan perjalanan jauh tanpa asisten dan pengawal.

Menginjak rem. Membuka pintu mobil jadul tanpa remot dengan keras. 

Krek … 

Gesekan besinya terdengar jelas. Senyum Helena mengembang. Benar-benar serasa hidup walau hanya mendengar derit aus pintu mobil. 

Ingin segera menyiram kekeringan dahaga. Ia membeli air mineral, gadis itu sengaja tidak membawa bekal apapun untuk perjalanan. Selain kartu kredit dan handphone murahan, beberapa lembar uang tunai yang tidak seberapa.

“Air mineral, berapa?”

Penjual yang ternyata bisu memamerkan uang kertas berwarna coklat. Helena mengangguk memberikan kertas biru bernilai. 

Penjual menggeleng, memperlihatkan kaleng berisi sedikit duit pertanda kembalian tidak ada. Helena ingat, Ia sempat memasukkan uang seharga air mineral itu ke dalam tas—nya.

“Sebentar,” Ucapnya bergegas kembali ke mobil, sayang sekali, tas Helena tidak di tempat. Ia mencoba mengingat tinggal di mana. Rasanya tadi ada. 

Di tempat rental kah? Atau ada orang yang baru saja mencuri di mobilnya. Tapi, Helena tidak menemukan ada ciri-ciri dirinya kecurian. Gawai?

 “Ah!” teriaknya frustasi, Handphone pun tidak ada. Begitu menjelaskan musibah yang akan dihadapinya.

“Sial!******… tidakkah pencuri itu tau, aku hanya butuh beberapa hari.” Terduduk bersandar pada kap mobil.

Air matanya mulai luluh. Berlebihan kah permintaannya pada Tuhan? Sendiri menyesap sepi setelah ratusan hari siksa hati ia lewati. Helena menunduk, menyatukan kepala dan lutut, menyembunyikan wajah, mulai terisak pilu. 

Liquid yang berusaha ia sembunyikan dari mata para pemburu berita. Luluh tak ingin berhenti. Apa yang harus ia lakukan?

 Terdampar di jalanan dengan mobil butut hasil rental. Ia tidak boleh lemah apalagi kalah. Bagaimana jika tiba-tiba ada wartawan? Ah, tidak … tidak. Helena harus kuat. Ia bangkit, menyeka sisa air di sudut netra. 

Melihat sales tempat wisata menjelaskan alur pertanian, ide muncul tiba-tiba. Memikirkan ide gila yang mampir melintas di kepala. Helena berdiri menyeberang jalan menuju tempat sales berpakaian ungu itu sedang promosi.

Tepat saat gadis berambut coklat tua, lembut, lurus menjuntai indah sedang membayangkan dirinya menjadi seorang sales. Tiba-tiba …

Citttt … brak.

Suara decit rem, bersamaan umpatan serapah. Tubuh proporsional milik Helena terserempet, Sebuah truk dengan kecepatan pelan namun tetap saja melayangkan tubuh seorang gadis sekitar kurang dari satu setengah meter dari depan truk.

“Benar-benar kesialan yang ke sekian.” Umpat sang supir dengan tato ikan terbang di kanan bahu. Melihat sesosok wanita terbaring di depan truk miliknya.

 “Tidak mungkin mati.” Bhatinnya berharap. 

Pelan dan cepat menginjak rem meyakinkan diri bahwa gadis itu tidak mungkin mati. Pingsan? Bisa jadi.

Pria itu terbelalak kaget saat menyaksikan wanita yang baru saja ditabraknya.

Apakah ia bermimpi? Gadis itu bagai putri kayangan. Kulit putih kemerahan, rambut lurus menjuntai indah melewati bahunya.

Hidung mungil tidak terlalu mancung, tapi tetap bisa dikatakan mancung, bibir sensual, dengan cetak terbelah di tengah.

"Kau menabraknya?" Suara seseorang mengangetkan lelaki yang telah lima belas tahun tidak pernah mendetail menilai apalagi memindai fisik seorang wanita.

Gadis itu? Cantik sekali. Aku tidak ingin dia mati.

Umpat penabrak dalam hatinya.


#TBC


Komentar

Login untuk melihat komentar!