Pernah dengar dengan kalimat ini sebelumnya? Ya, kalimat traumatik. Kesan yang ditimbulkan dengan membaca kalimat tersebut pasti identik dengan pengalaman yang tidak mengenakkan. Siapa yang pernah merasakan traumatik? Saya yakin setiap orang pasti pernah mengalaminya. Namun yang membedakannya adalah mengenai titik balik masing-masing diri untuk mengatasi rasa traumatik tersebut.
Saya pernah menjumpai kawan yang satu sekolah dengan saya. Ia adalah seorang laki-laki berkulit sawo matang, agak tinggi, pendiam, dan sering dibully oleh teman-temannya di sekolah. Hal tersebut berjalan selama kurang lebih tiga sampai bulan kemudian.
Saya yang melihatnya pun tidak tega. Walaupun guru-guru sudah memperingati yang lain, tapi tetap saja yang namanya anak-anak selalu mengulanginya lagi. Saya pun hanya bisa menengahi ketika aksi pembulian itu terjadi. Ucap saling ucap namun kesannya meledek. Sampai-sampai ia tidak punya teman laki-laki di sekolahnya.
Jarang sekali yang mau mendekat hanya untuk mengobrol dengannya. Maaf, karena memang dia sedikit bau dan giginya tonggos. Dasar anak-anak selalu saja tidak belum mengerti rasa empati kalau bukan orang tuanya dulu yang mengajari.
Seiring berjalannya waktu ia hanya bisa diam dan diam ketika mendapatkan perlakuan kata yang tidak mengenakkan dirinya. Jujur saja ia akui bahwa memang dirinya bukan dari kalangan yang berada. Hidup bersih saja tak ada yang mengajari. Ia hanya hidup dengan seorang ibu dan adik. Entah ayahnya kemana. Pada saat itu saya belum berani mengulik pribadinya.
Lambat laun saya mulai paham dengan kehidupannya. Ia sangat prihatin dan sabar. Jarang sekali saya melihat dirinya jajan di sekolah pada saat jam istirahat tiba. Ia hanya senang menghabiskan waktu duduk sendiri di bangku panjang depan kelas. Terkadang saya tak sungkan untuk mendekati dan mengobrol dengannya. Namun tak jarang respon yang saya dapatkan hanya sebuah senyuman dan balasan kata singkat ketika ditanya.
Seiring lambat launnya waktu, kejaiban itu datang kepada Hamba-Nya yang sabar. Dan hal itu terbukti benar. Ketika hari perpisahan sekolah dasar tiba, teman-teman yang selainnya sibuk mendaftarkan diri ke masing-masing SMP favoritnya. Sedangkan ia memilih untuk bekerja.
Entah bekerja aja saja yang penting halal. Sudah saya bujuk kalau ia harusnya lanjut sekolah SMP, namun dirinya menolak dengan alasan biaya. Ya, lagi-lagi perekonomian yang jadi alasannya. Dari sini saya dan ia tak pernah mendengar kabar lagi. Saya berhasil masuk ke SMP yang saya mau, sedangkan ia entah bekerja dimana.
Ketika sore hari tiba saya pun sedang mengendarai sepeda motor melaju dengan sangat hati-hati diantara para pengendara lainnya. Namun betapa terkejutnya saya pada saat berhenti di lampu merah saya menoleh ke sebelah kiri jalan. Saya menemukan teman lama saya sedang bekerja di salah satu perusahaan motor.
Pada saat itu saya langsung terhenyak bahwa luar biasa sekali selang beberapa bulan lamanya, ia sudah berhasil kerja di salah satu perusahaan motor yang bisa dibilang lumayan baik. Dari situlah saya percaya bahwa bukan tidak mungkin orang-orang yang dahulunya pernah dibully itu bisa menjadi seorang manusia yang bernilai di masa depannya.
Dan contoh nyatanya sudah ada di depan mata. Ia yang dulu sempat sabar dan tak banyak bicara dalam menghadapi kata-kata cemoohan dari teman-temannya, namun saat ini ia mampu membutikan kesuksesannya. Sempat trauma? Ya jelas sangat. Namun ia mengartikan semua rasa traumanya dengan semangat yang lain.
Ia harus sukses. Dan semua itu terbukti dengan selalu berusaha keras dan berdoa. Tidak banyak bicara melainkan banyak bertindak. Satu hal inilah yang saya dapat dari teman satu sekolah dasar ini. Terima kasih teman.