Hari itu badanku terasa letih dan lelah sekali. Setelah seharian beraktifitas di luar rumah, kesana kemari mencari pembeli yang mau membeli dagangan kuenya.
'Hufft, ingin rasanya aku menyerah. Namun, perjalanan hidupku masih panjang. Ini baru awal belum seberapa. Ayo semangat' batinnya. Sejak awal memang aku berusaha untuk melakukan apapun demi hidup ini. 'Selama itu halal mengapa tidak' pikirnya.
Mengeluh memang hal yang sudah biasa namun jangan sampai menyerah pada kehidupan. Apapun hasilnya teruslah usahakan. Aku hanya merenung di pinggir jalan mengamati orang yang lalu lalang. Sudah hampir tiga tahun lamanya aku berjuang bersama dengan nenekku. Jauh dari orangtua serta kerabat. Tanpa ada yang tahu apa yang sedang aku rasakan dan aku inginkan.
'Berjuang sendirian itu memang tidak enak ya. Kita harus berusaha mati-matian untuk menghidupi diri sendiri' batinnya.
Aku selalu merenungkan tentang hal-hal yang terkadang inginku impikan.
'Kapan ya aku bisa seperti mereka? Yang mau apa saja tinggal minta, tinggal bilang ke orangtua.' 'Kapan ya aku juga bisa merasakan kasih sayang secara utuh dari kedua orangtuaku.' ' Kapan pula aku bisa membawa nenekku pergi berobat ke dokter yang bagus'.
Semua batinnya segera ia tepis. Mengingat segala keluhannya hanya akan meruntuhkan semangat hidupnya. Syukuri apapun pemberian-Nya.
'Melihat ke atas hanya akan membuatku menjadi pasrah dan menyerah. Coba lihat kebawah masih banyak yang tak seberuntung diri kamu' batinnya.
Aku berjualan kue keliling setiap harinya setelah pulang dari sekolah. Hal ini aku lakukan semata-mata untuk membayar cicilan uang sekolahku. Bukan untuk foya-foya apalagi makan enak di restoran. Bagiku satu hari bisa makan saja sudah cukup dan harus disyukuri. Meskipun aku tinggal bersama dengan nenekku tapi aku tidak mau merepotkannya.
'Kasihan nenek sudah tua' lirihnya.
Selama aku berjualan beberapa orang terkadang menanyakan hal yang sama kepadaku.
"Kelas berapa dek? Masih sekolah kan ya?" tanya seorang pemuda yang membeli kuenya. "Kenapa tidak membuka stand atau lapak saja dek, supaya tidak cape keliling, atau bisa memanfaatkan media sosial untuk berjualan" saran pemuda lainnya.
Menurutnya itu adalah ide yang bagus. Selama ini aku memang tak pandai dalam memanfaatkan media sosial. Gudget aku saja tak semahal orang-orang. Ya, hanya bisa untuk telepon dan mengirimkan pesan saja. Wajar saja karena orangtuaku pun tidak pernah mengirimkan aku uang untuk jajan atau biaya sekolah.
Tapi ide ini patut dicoba. Berjualan lewat media massa.
'Mungkin akan lebih cepat laris dan tak cape pula' batinnya.
Selama beberapa bulan kedepan akhirnya aku giat berjualan demi membeli sebuah gudget canggih. Ya paling tidak bisa untuk memposting daganganku di media massa. Selama dua bulan lamanya aku mengumpulkan uang dari hasil jualan untuk membeli gudget. Dan alhamdulillah usahaku tidak sia-sia.
Aku berhasil membeli gudget dengan harga yang terbilang cukup murah. Tidak sampai satu juta rupoah. Dari sini aku terus belajar, banyak membaca buku-buku perihal cara memasarkan dagangan yang menarik, dan belajar dari teman-temanku yang juga seorang pedagang online. Akhirnya lambat laun aku bisa menguasai teknik berdagang yang lihai.
"Dari hanya satu tumbuh seribu" ucapnya.
Aku sangat senang bisa terus belajar dan menemukan titik terang. Walaupun hasil jualanku tidak seberapa yang penting aku sudah berusaha secara maksimal.
Tekun, kerja keras, dan berdoa adalah kuncinya. Dari berdagang kue ini aku bisa membantu menghidupi nenekku yang sudah sakit-sakitan ini. Merawatnya dan membelikannya obat serta makanan. Orangtuaku sudah benar-benar tidak peduli lagi padaku. Sejak mereka mempunyai anak kedua, aku malah di nomor duakan dan mereka menitipkanku bersama dengan nenekku.
Sekarang hanya nenekkulah satu-satunya orang yang aku punya. Selalu cari titik terang. Jangan menyerah pada keadaan apalagi sedih berkepanjangan.
'Nek doakan aku sukses ya agar aku bisa membawa nenek berobat ke dokter' lirihnya. "Cari titik terang" katanya.