Curhatan rakyat
"Di zaman sekarang ini, orang ka makin kaya, dan orang miskin, makin miskin." ucap lelaki berperawakan tambun tersebut sambil duduk menyeruput secangkir kopi.

"Iya, betul itu! Apalagi ekonomi negara kita yang sekarang makin carut marut. Apa-apa, dijadikan uang, dijadikan bisnis! Entah bagaimana nasib rakyat kecil seperti kita." lelaki yang bertopi lusuh disampingnya menjawab sembari menghisap sebilah rokok ditangan.

Siang itu kondisi warung cukup ramai dengan pengunjung, Ada yang hanya bersantai setelah setengah hari berjuang hilir mudik mengantar penumpang, namun banyak pula yang menikmati nasi bungkus dan gorengan sebagai pengganjal perut yang sedang lapar.

"Bu Lastri, kopi satu... " kata lelaki bertopi lusuh itu.

"Kopi hitam? Kopi susu?" tanya Bu Lastri.

"Kopi hitam gula satu sendok teh," sahut lelaki bertopi lusuh itu lagi.

"Nggak makan Mang Ali? Gorengan? Mumpung masih panas," Bu Lastri datang membawa secangkir kopi dan meletakkannya di atas meja.

"Nanti Bu.... Terima kasih," sahut lelaki itu lagi.

Dia, Mang Ali. Seorang buruh angkut barang di pasar pagi. Terkadang beliau ke warung kopi Bu Lastri untuk istirahat makan siang atau hanya sekedar menumpang beristirahat setelah pulang dari pasar.

"Kondisi sudah susah, kok makin dibuat susah!" kata lelaki tambun itu.

"Mang Kadir, dibawa bersyukur... Masih bisa makan itu rezeki." Ibu Lastri ikut menimpali pembicaraan mereka.

"Bukannya kami tidak bersyukur Bu, ini masalah kondisi. Kalau pendapatan kita sebagai rakyat kecil saja sudah terbatas, sedangkan pengeluaran kebutuhan sehari-hari makin banyak. Apalagi kalau harga-harga kebutuhan pokok makin meninggi, lalu bagaimana nasib kita nantinya?" kata mang Kadir mengeluhkan kondisi perekonomian saat ini.

"Ya, mau gimana lagi Mang, kita rakyat kecil cuma bisa nerima." sahut Mang Ali.

"Mang Kadir nggak usah mikir! Yang harus mikir itu wakil rakyat, yang cuma duduk dan tertidur disaat rapat paripurna." Pak Wisnu datang dari luar warung sambil menepuk pundak Mang Kadir.

Mang Kadir lalu menganggukan kepalanya tanda setuju. Benar yang dikatakan Pak Wisnu. Buat apa susah-susah memikirkan, masih ada di atas sana yang bertanggung jawab dengan rakyat kecil dibawah. Mereka terpilih karena rakyat, mewakili aspirasi rakyat.

Namun terkadang, ketika manusia sudah berhasil pada tujuannya. Dia akan lupa dengan niat dari tujuan yang sudah dia capai. Entah itu sudah hukum alam yang nantinya akan berubah menjadi hukum karma.

"Pak... Bantu Ibu..." teriak Bu Lastri dari dalam, sambil menyiapkan beberapa gelas kopi.

Pak Wisnu lalu bergegas masuk kedalam membantu sang istri, meninggalkan percakapan antara Mang Kadir dan Mang Ali.

Siang itu begitu merepotkan untuk Bu Lastri. Namun dia masih bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menikmati rezeki dari Tuhan. Bu Lastri mulai membersihkan gelas-gelas kopi dari atas meja. Pengunjung sudah mulai berkurang, walau masih ada satu atau dua orang yang masih menikmati secangkir kopi.

Mang Ali sudah pulang setelah membayar kopi, disusul Mang Kadir, yang kemudian melanjutkan aktifitasnya sebagai sopir angkutan kota.

"Permisi Bu, boleh menumpang istirahat?" tiba-tiba Bu Lastri sedikit terkejut karena lamunannya, yang mendengar suara dari depan warung.

"Boleh Pak! Masuk... Mau minum apa?" tanya Bu Lastri Lagi.

"Air putih saja Bu," sahut Bapak itu, lalu meletakan dagangannya di samping warung.

Bu Lastri paham betul, ketika melihat kondisi Bapak tersebut. Beliau lalu masuk ke dalam warung dan membuatkan segelas teh panas.

"Ini Pak, diminum dulu!" kata Bu Lastri sambil meletakan gelas ukuran besar berisikan teh panas di atas meja.

"Bu, saya cuma pesan air putih," kata Bapak itu masih terkejut.

"Nggak apa-apa Pak! Diminum," lalu meletakan piring berisikan dua biji pisang goreng disamping gelas teh tersebut.

"Maaf, Bu... Saya tidak pesan..." 

"Nggak apa-apa Pak, dimakan saja. Bapak pasti capek," kata Bu Lastri lagi.

Ada perapaan iba ketika Bu Lastri melihat Bapak tersebut menatap teh panas dan gorengan yang diberikan tadi. Bapak tersebut mengambil gelas teh panas di meja, dan meminumnya pelan.

"Bapak jualan apa?" tanya Bu Lastri membuka pembicaraan.

"Saya jualan kasur, bantal, sama guling Bu," sahut Bapak itu.

"Jalan kaki Pak?" tanya Bu Lastri terkejut.

Komentar

Login untuk melihat komentar!