Ibu Kontrakan
"Sudah sampai Bu..." Mang Udin lalu menurunkan barang bawaan Bu Lastri dari becak.

"Eh, dah sampai!" Bu Lastri yang masih melamun terkejut.

"Ini Mang!" memberikan satu lembar pecahan sepuluh ribu. "Nggak ngopi dulu?" Bu Lastri menawarkan kopi.

"Nggak Bu, terima kasih! Lain kali saja. Saya narik dulu...." Mang Udin lalu pergi mendorong becak setelah menerima lembaran uang dari Bu Lastri.

BRAAAAKKK...


"Woooiii... Gimana sih! Kamu kapan bayar kontrakan!" 

Bu Lastri yang baru masuk ke warung terkejut mendengar suara orang menggeprak meja. Disana ada dua orang wanita di dalam warungnya. Wanita yang usianya sekitar empat puluhan itu menatap kesal dengan wanita yang lebih muda di depannya.

"Astaghfirullah aladziim... Bu Wulan, sabaar... Ada apa to!" mencoba menengahi antara mereka.

"Ini loh, Bu Lastri! Si Ifah, sudah dua bulan nggak bayar kontrakan!" kata wanita itu ketus.

"Bukan saya nggak mau bayar Mbak, tapi saya memang belum ada uang." perempuan muda yang bernama Ifah itu menjawab.

"Aaalaaah.... Alasan saja kamu Fah! Bilang saja uangnya habis buat kamu poya-poya, memang gajih kamu sebagai buruh pabrik nggak cukup?" wanita bernama Mbak Wulan itu makin mengamuk dengan jawaban Ifah.

"Bu Wulan, tenang dulu! Bawa duduk." Bu Lastri menarik tangan Mbak Wulan untuk duduk.

"Kita dengerin dulu, alasan Ifah... " sambung Bu Lastri lagi. Mbak Wulan hanya menurut.

"Mau minum?" tanya Bu Lastri mencoba mencairkan suasana.

"Nggak usah Bu! Aku udah nggak haus dengar jawaban dia," jawab Mbak Wulan yang masih emosi sambil menunjuk wajah Ifah.

"Ifah, kasih Mbak Wulan alasannya," lalu beralih pada Ifah yang masih tertunduk menahan malu dan air mata.

"Maaf Mbak Wulan! Emak Ifah di kampung sedang sakit, sebenarnya awal bulan tadi Ifah mau bayar." Ifah tediam.

"Tapi adik Ifah telepon katanya Emak masuk Rumah Sakit dan untuk biaya pengobatan Emak nggak ada. Karena sawah Bapak belum panen. Jadi uang buat kontrakan Ifah kirim buat biaya berobat Ibu dikampung." jelas Ifah tertunduk

"Terus kapan kamu bisa bayar?" tanya Mbak Wulan yang kemudian melunak namun intonasi bicara masih tinggi.

"Insha Allah, awal bulan depan Mbak... Saya janji!" jawab wanita itu mendongakkan kepala pada Mbak Wulan.

"Beneran ya! Awas kalau nggak, kuusir kamu bulan depan dari kontrakan!" ancam Mba Wulan yang masih kesal. 

"Kalau dijelasin gini kan enak! Dari pada main kucing-kucingan kek beberap hari lalu," sambung Mbak Wulan ketus.

"Iya Mbak, maafin Ifah... Ifah takut kalau Mbak marah," jawab ifah tertunduk.

"Oke, aku tunggu awal bulan depan, ya udah aku mau ke pasar dulu. Maaf ya Bu Lastri!" sambil pergi keluar dari warung.

Bu Lastri hanya geleng kepala melihat kelakuan tetangga kampungnya. Mbak Wulan itu sebenarnya orang yang baik, mungkin sifatnya saja yang garang serta nada bicaranya yang ketus dan blak-blakan. 

"Ifah, sudah! Berhenti nangisnya. Kalau ada apa-apa bicara sama Ibu, Ibu memang nggak bisa bantu apa-apa, tapi Ibu cuma bisa kasih saran sedikit-sedikit." kata Bu Lastri menbuat Ifah tersenyum kecut.

"Kamu mau minum dulu?" tanya Bu Lastri menghibur Ifah.

"Nggak Bu, Ifah mau balik kerja aja dulu. Maaf ya Bu, ngerepotin Ibu. Makasih juga, sudah bantu Ifah." Ifah lalu berdiri kemudian pergi meninggalkan warung.

Bu Lastri masih duduk terdiam di kursi depan. Dihatinya penuh rasa bersyukur kepada Allah SWT karena masih diberikan tenaga di usianya yang senja itu, untuk bisa membantu sesama, walau tidak berupa materi. Bagi Bu Lastri, banyak orang di luar sana yang masih kesulitan menjalani kehidupan. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!