Pak Surya dan dagangannya
Jalan kaki Pak?" tanya Bu Lastri terkejut.

"Iya, Bu... Saya makan nggeh..." kata Bapak yang usianya sudah tidak lagi muda.

"Silahkan Pak...!" sahut Bu Lastri.

"Bapak dagangnya jalan kaki?" Bu Lastri masih penasaran dengan Bapak tersebut.

"Iya Bu, saya dagangnya jalan kaki," jawab Bapak itu lesu.
"Bapak memang dari mana? Sudah ada yang laku Pak?" tiba-tiba Bu Lastri menjadi seorang wartawan dadakan dan Bapak penjual kasur sebagai objeknya.

"Saya, dari pulau jawa Bu, saya kesini mau cari peruntungan. Dagang, saya baru tiga hari disini. Saya belum dapat tempat tinggal, saya ikut teman tinggal di gudang barang, dekat pelabuhan. Hari ini, belum ada yang laku Bu, mulai pagi tadi saya dagang." Bapak itu menjelaskan sambil tersenyum kecut.

Bu Lastri mengelus dada mendengar cerita dari Bapak itu. 'Ya Allah... Begitu kerasnya kehidupan orang-orang diluar sana,' batin Bu Lastri kembali bersuara. Tidak henti-hentinya beliau bersyukur masih diberi kesempatan hidup layak oleh sang pencipta.

"Nama saya Bu Lastri, bapak siapa namanya?" tanya Bu Lastri mencoba akrab.

"Saya Surya, Bu..." bapak itu lalu menghabiskan teh nya digelas.

"Berapa Bu?" tanya Pak Surya lalu berdiri.

"Nggak usah Pak... Saya Ikhlas," sahut Bu Lastri.

"Tapi..."

"Nggak apa-apa Pak... Anggap saya bersedekah," kata Bu Lastri lagi memotong kata-kata Pak Surya yang masib tertahan.

"Terima kasih Bu! Semoga Bu Lastri selalu dimurahkan rezekinya," kata Pak Surya yang hampir menangis. Dia merasa seolah dia orang yang dikasihani.

"Amiiin... Sama-sama Pak..." kata Bu Lastri.

Pak Surya lalu pergi keluar dan mengambil barang jualannya di samping warung. Pak surya menandu barang bawaanya yang tidaklah sedikit. Beliau lalu pergi meninggalkan warung kopi. Baru beberapa langkah, terdengar suara teriakan seorang wanita dari belakang.

"Paaaaak.... Paaaaak...." teriak wanita itu.

Pak Surya lalu menoleh ke belakangnya, mendapati Bu Lastri berdiri di depan warung sambil memanggilnya.

"Paaak..." teriak Bu Lastri lagi sambil melambaikan tangannya.

Pak Surya lalu berbalik mendatangi Bu Lastri yang masih berdiri di depan warung.

"Ada apa Bu?" tanya Pak Surya takut meninggalkan sesuatu di warung tadi.

"Pak, saya mau beli bantalnya, berapa?" tanya Bu Lastri.
Ada tawa mengembang dari wajah tua yang sudah banyak guratan keriput itu.

"Lima puluh lima ribu, Bu... Saya ambil upah sepuluh ribu buat jual," kata Pak Surya jujur.

Bu Lastri semakin pilu menatap Pak Surya. Usia yang sudah tua, yang seharusnya menikmati masa tua dengan berdiam diri di rumah, namun malah sebaliknya, banting tulang berdagang kasur dengan mengandalkan bahunya untuk mengangkat jualan yang diikat dengan tali, dan kedua kakinya berjalan menyusuri setiap jalan. Hanya untuk mendapatkan upah sepuluh ribu dari setiap jualannya. Dan itupun belum tentu akan laku setiap hari nya.

"Kasur karakternya berapa Pak?" tanya Bu Lastri lagi.

"Kalau yang ini, tebalnya sekitar lima senti, harganya dua ratus lima puluh. Harga modal dua ratus dua lima Bu. Kalau yang satunya lagi, tebalnya sekitar dua puluh lima senti. Harganya lima ratus tujuh puluh lima ribu. Modalnya lima ratus lima puluh." Pak Surya memperlihatkan barang bawaan dan menjelaskannya pada Bu Lastri.

"Pak, saya mau kasur karakter yang warna merah ini, dan bantal satu," kata Bu Lastri menunjuk kasur bermotif hello kitty berwarna merah dengan 2 bantal dan satu guling didalam kasur tersebut, dan bantal satu buah.

"Yang ini Bu? Ini dua ratus lima puluh ditambah bantal lima puluh lima ribu, jadi semuanya tiga ratus lima ribu. Tiga ratus ribu saja Bu, anggap mengganti Teh panas dan gorengan tadi." kata Pak Surya pada Bu Lastri. 

Bu lastri hanya diam sambil mengeluarkan tujuh lembar uang pecahan lima puluh ribu dan langsung memberikannya pada Pak Surya.

"Bu, kembaliannya saya nggak cukup?" kata Pak Surya sambil menghitung.

"Sudah, ambil saja. Anggap itu rezeki Bapak hari ini." kata Bu Lastri tersenyum.

"Tapi, kenapa Bu?"

Komentar

Login untuk melihat komentar!